Selama berabad-abad, sejak abad VI hingga XXI Masehi, Islam dikenal dengan tradisi lisan (hafalan) dan tradisi tulis tangan. Tradisi hafalan dibuktikan dengan adanya tradisi taḥfīz al-Qur’ān yang hingga kini masih terjaga, sementara tradisi tulis pada masa awal Islam dikenal melalui tradisi tulis tangan Musḥaf al-Qur’ān dan kitab-kitab hadis. MM. Azami (2005) dalam bukunya, The History The Qur’anic Text From Revelation To Compilation, dengan lugas mengungkap bahwa tradisi tulis tangan Musḥaf al-Qur’ān secara filologis mampu mematahkan berbagai argumen para orientalis.
Tradisi tulis, terutama dengan cara menyalin Musḥaf al-Qur’ān dan Hadis, berkembang pula di Nusantara. Musḥaf al-Qur’ān kuno di Nusantara mempunyai keunikan tersendiri, mulai dari iluminasi, ilustrasi, hingga pemanfaatannya. Tradisi tulis tangan Musḥaf al-Qur’ān di Nusantara merupakan salah satu cara muslim Indonesia dalam mengajarkan Alquran, selain ilmu-ilmu Islam lainnya seperti tauhid, fikih, tasawuf, dan bahasa Arab.
Meski demikian, literatur berbasis naskah kuno hampir tidak pernah digunakan dalam proses belajar-mengajar di lingkungan pendidikan Islam di Indonesia; mulai dari Raudhatul Athfal (RA), Bustanul Athfal (BA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Ma’had Aly, hingga Perguruan Tinggi Islam atau Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Padahal, naskah kuno di Indonesia sangat berlimpah. Hampir di setiap kota, kabupaten, dan propinsi di Indonesia terdapat naskah kunonya sendiri. Galibnya, naskah kuno juga dijadikan referensi untuk pengajaran di pondok pesantren atau madrasah diniyah. Tetapi kenyataannya tidak. Pertanyaannya: mengapa naskah kuno keislaman Nusantara tidak menjadi sumber primer dalam pendidikan Islam di Indonesia?
Urgensi Naskah kuno keislaman Nusantara bagi Bangsa Indonesia
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu arti penting naskah kuno Nusantara, terutama naskah keislaman bagi bangsa Indonesia. Penulis ingin memulai bahasan ini dari kajian yang sudah ada selama ini tentang naskah kuno Nusantara.
Para pengkaji naskah kuno keislaman Nusantara pada awalnya adalah para orientalis. Beberapa di antaranya, T.S. Raffles, History of Java, [London, 1817 dan 1830], Ph. S. van Ronkel, De Roman van Amir Hamzah, [Leiden, 1895], D.A. Rinkes, Abdoerroef van Sinkel [Heerenveen, 1909], B. J. O. Schrieke, Het Boek van Bonang (“The Book of Bonang”) [Utrecht, 1916], dan G.W. J. Drewes, The Admonitions of Seh Bari [Brill, 1969].
Sementara pengkaji naskah kuno dari Indonesia, diawali oleh Hoesein Djajadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten [Leiden, 1913], terj. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, [Djembatan, 1983], S. Soebardi, The Boof of Chebolek [Nijhoff, 1971], terj. Serat Cebolek: Kuasa, Agama, Pembebasan (Pengadilan K.H. A. Mutamakin & Fenomena Shaikh Siti Jenar)[Nuansa, 2004], Achadiati Ikram, “Hikayat Sri Rama: Telaah Amanat dan Struktur”, [Disertasi, 1978], Sulastin Sutrisno, “Hikayat Hang Tuah, Analisa Struktur dan Fungsi”, [Disertasi, 1979], dst.
Dari para pengkaji naskah kuno Nusantara di atas, sekilas dapat diambil benang merah bahwa melalui kajian filologi bangsa Indonesia dapat mengetahui kekayaan khazanah keislaman sejak berabad-abad yang lalu. Berdasarkan naskah kuno Nusantara, kita dapat menyakini adanya Wali Songo pada abad ke-15/16. Begitu juga dengan fakta sosial lainnya. Dengan demikian, naskah kuno Nusantara sangat penting bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.
Bahasa dan aksara dalam naskah kuno Nusantara sangat beragam, mulai dari bahasa Jawa, Melayu, Arab, atau bahasa lokal lainnya. Begitu juga dengan aksaranya, semisal aksara Arab, Jawi, dan Pegon. Bahasa dan aksara lokal inilah yang menjadi tulang punggung eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dasar Negara Pancasila.
Bahasa dan aksara Arab, dengan sistem pendidikan Islam di Indonesia sekarang, bukanlah sesuatu yang asing, sulit dan aneh. Tetapi bahasa Jawa, Melayu, Madura atau bahasa lokal lainnya (seperti halnya aksara Jawi, Jawa, dan Pegon) tentu menjadi persoalan tersendiri, karena tidak menjadi kurikulum atau kajian wajib. Atas dasar itu, kiranya penting memasukkan bahasa dan aksara lokal dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia.
Pentingnya Kajian Naskah Kuno di Lingkungan Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama dan Keagamaan telah merespon penelitian naskah kuno sejak tahun 1994, melalui kehadiran buku katalog naskah kuno bernafaskan Islam di Indonesia. Dalam buku itu disebutkan terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang mempunyai naskah kuno, seperti Daerah Istimewa Aceh atau Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Sejalan dengan geliat Balitbang di atas, di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) juga bermunculan para peneliti naskah kuno keislaman di Indonesia. Di antara pengkaji naskah kuno untuk kali pertama di PTKI adalah Nabilah Lubis, dengan karya disertasinya, Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makassari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia (Mizan, 1996) dan Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke-17 (Mizan, 1999).
Program pernaskahan tersebut dilanjutkan dengan pola pendidikan dan pelatihan fungsional peneliti naskah agama dan keagamaan, pada tahun 2006. Direktorat Perguruan Tinggi Islam Ditjen Pendis juga membuka program beasiswa magister dan doktor untuk bidang filologi dan sejarah sejak 2009. Kini, para doktor dan magister filologi sudah bertebaran di PTKI, baik UIN, IAIN, STAIN serta Balitbang Agama dan Keagamaan di Indonesia.
Untuk menjadikan naskah kuno sebagai sumber primer di lingkungan pendidikan Islam di Indonesia lainnya sebenarnya cukup sederhana. Dengan fakta-fakta Sumber Daya Manusia terkait naskah kuno dan filologi di atas, sudah saatnya para pengambil kebijakan berani melakukan inovasi pembelajaran dengan mengubah sedikit kurikulumnya, guna memasukkan naskah kuno sebagai sumber primer dalam pembelajaran.
Sumber primer pembelajaran dari naskah kuno keislaman itu dapat berupa cerita-cerita, seperti hikayat, wawacan, serat, ataupun dalam bentuk puisi, tembang, dan suluk. Lingkungan pesantren bisa kembali kepada karya-karya ulama Nusantara, seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, KH. Saleh Darat as-Samarani, Mbah Mutamakkin al-Kajeni, dan KH. Hasyim Asy’ari.
Karya ulama Nusantara perlu dikaji oleh bangsa dan umat Islam Indonesia. Indonesia harus menjadi tuan rumah kajian Islam Nusantara. Berawal dari sini pula langkah destinasi kajian Islam Indonesia di dunia mulai ditanamkan. Semoga upaya menjadikan naskah kuno sebagai sumber primer dalam pendidikan Islam di Indonesia menjadi usaha untuk menghargai para ulama dan mengembalikan kejayaan Islam Nusantara. Wallāhu a’lam. [AS, AH]