Kabar dari kampung halaman itu membuat Mim lunglai seketika. Tangan kanannya gemetar seperti terserang tremor. Handphone yang menempel di telinga berkali-kali hampir meleset jatuh dari pegangan.
“Kapan, Pak?”
“Tadi malam.”
“Sakit apa?”
“Bapak Enggak tahu.”
Lalu terdengar bunyi Nging…dan suara kemresek dari seberang.
“Siang ini rencananya dimakamkan.”
Nging lagi. Rupanya sinyal telepon sedang buruk. Obrolan lewat telepon itu terputus seketika.
Mim tidak kuasa lagi menahan gelombang kesedihan dari dalam dadanya. Buncah. Beberapa detik selepas telepon seberang ditutup, ia menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan duka, rasa bersalah, rindu, dan entah apa lagi. Kepada Ranti.
Puas menangis, Mim mengambil binder note biru muda di mejanya. Ia mencari sebuah nomor telepon yang sudah sejak beberapa bulan lalu ia hapus dari phonebook, tapi diam-diam masih disimpan di binder note.
Hilang sudah semua perasaan gengsi yang selama ini ia pendam. Ia singkirkan jauh-jauh keengganan untuk memulai lagi komunikasi dengan Alif. Beberapa waktu lalu ia yang menutup pintu. Sekarang ia juga yang akan kembali membukanya. Dengan kunci yang sama. Kunci sempat akan ia buang ke ujung dunia paling jauh agar tidak bisa ditemukan kembali.
Mim memencet nomor-nomor itu dengan pelan. Setiap gerakan tangannya beradu cepat dengan degup di dada. Puncaknya… Ketika nada itu tersambung ke seberang, disusul suara bariton seorang laki-laki yang mengucapkan salam. Tetabuhan di dada Mim makin menjadi-jadi. Riuh seperti pertunjukan rock-opera yang baru dimulai.
“Halo… ini siapa ya?” Alif mengernyitkan dahi. Ingin menebak tapi tidak berani. Ingin menduga tapi khawatir salah.
“Halo…?”
“Ya, halo. Ini aku.” Mim tidak melanjutkan.
“Aku siapa?”
“Mim…”
_______________
Dari Alif, Mim tahu semua kisah tentang Ranti. Tentang apa yang diderita sahabatnya itu. Kata Alif, Ranti diserang penyakit Lupus. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit automium itu menerjang Ranti selama beberapa bulan terakhir. Sistem imun dalam tubuh Ranti yang seharusnya melindungi dari infeksi atau cedera, berfungsi secara kebalikan. Sistem imun itu justru menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat.
Ranti tidak pernah sungguh-sungguh merasakannya. Lupus is the silent killer. tidak mudah didiagnosis. Juga tidak bisa disembuhkan. Gejalanya beragam dan bisa berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya. Ranti tidak pernah mengeluhkan apa-apa sebelumnya. Sampai kemudian ia tiba-tiba merasa beberapa kali diserang demam, dan mengeluhkan sariawan yang sering datang.
Mim merasa berutang banyak kepada Ranti. Sahabatnya inilah yang membuatnya bisa dekat dengan Alif. Ranti lah yang menjadi konsultan asmara, kurir, juru damai, bahkan wasit dalam hubungan Mim dan Alif yang timbul tenggelam.
Ada setumpuk tebal perasaan bersalah. Keputusannya menjauh dari Ranti dan tidak mengabarinya saat berangkat ke Jakarta, tak dimaksudkan untuk tidak menganggap Ranti sebagai sahabat. Mim hanya ingin Ranti tak punya bahan informasi untuk diceritakan kepada Alif.
Mim tidak ingin Alif tahu kemana ia pergi dan menemukannya. Paling tidak dalam bulan-bulan pertama ia di Jakarta. Mim ingin merapikan dulu apa yang sudah porak poranda di dalam hatinya. Ingin fokus dan mengerjakan apa yang selama ini ia impikan. Namun, rencana Tuhan siapa yang tahu. Takdir berjalan tanpa perlu diumumkan terlebih dahulu. Ranti pergi untuk selama-lamanya. Tanpa pesan apa-apa.
Rasa kehilangan itu merajam ulu hati. Sekali lagi Mim merasakan dadanya sesak. Karena patah hati.
Mim ingin pulang. Secepatnya.
_______________
Di kantor, Mim berusaha memasang tampang seperti biasa. Ia tidak mau orang-orang di kantor tahu segala renik urusan hatinya. Bahkan, sejak peristiwa binder note biru mudanya disentuh “entah oleh siapa” Mim berusaha tetap bersikap wajar. Seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.
Beberapa kali berada dalam satu forum meeting bersama Arfan, Mim sebisa mungkin menunjukkan sikap profesional seorang bawahan kepada atasan. Meskipun sebenarnya ia sangat kesal dengan laki-laki itu. Laki-laki yang tidak bisa menghargai rahasia orang lain.
Mim baru akan menyeruput susu kotak coklat yang ada di tangan saat Nora datang ke mejanya sambil menunjukkan sebuah amplop.
“Surabaya menunggu. Lusa Big Bad Wolf Book Sale dimulai. Panitianya mengundang kita untuk jadi narasumber dalam salah satu sesi diskusi. Dikau yang diminta berangkat. Itung-itung agar kamu bisa pulang kampung, kata Bos,” Nora menyerahkan amplop itu sambil mengerlingkan mata kirinya.
“Apaan sih?” Mim mengancamkan tinjunya kepada Nora. Yang diancam malah mengulang lagi kerlingnya makin nakal.
“Karyawan kesayangan bos. Uhuukk…uhuuuk…” Nora pura-pura batuk, lalu tertawa dan berlari menuju kembali ke ruangannya.
Mim celingak-celinguk melihat sekeliling. Berharap tidak ada seorang pun yang mengetahui aksi ngawur Nora.
_______________
Sehari setelah membereskan tugasnya di Surabaya, Mim pulang ke rumah. Pulang adalah cara terbaik untuk mengisi ulang energi diri yang mulai payah. Setiap manusia menyimpan rasa rindu asali untuk mencium aroma tanah, air, dan udara kampung halamannya. Panggilan pulang adalah teriakan suara hati.
Itu hari Kamis sore. Turun dari angkot yang membawanya dari terminal Lumajang ke kampung halaman, Mim berjalan menuju Manigit. Bukit kecil di pinggir danau itu menjadi tanah pekuburan bagi warga di desanya. Makam Ruqayah, ibu Mim, ada di situ. Begitu juga dengan Ranti. Mim ingin menziarahi keduanya.
Beberapa orang yang dijumpai di situ menyapa Mim dengan ramah. Sekadar berbasa-basi menanyakan kabar dan kapan tiba di kampung halaman. Itu sapaan standar orang kampung kepada siapa saja perantau yang sedang pulang. Basa-basi macam begitu ada juga faedahnya. Kepada penjaga makam yang menyapanya di gerbang ia bisa bertanya di mana makam Ranti.
Mim berjalan menuju makam ibunya. Duduk beberapa lama di situ. Mengaji, berdoa, dan mengadukan segala yang ingin ia adukan. Bercerita seolah ibunya bisa mendengarkannya langsung. Mim tidak ingin menangis. Ia hanya ingin bercerita, bukan menambahi beban orang yang ada di dalam kubur.
Setelah merasa cukup, Mim bangkit berdiri menuju makam Ranti. Ia berjalan hampir seratus meter menjauh dari makam ibunya. Setelah mencari beberapa saat, Mim menemukan makam sahabatnya. Ia merinding membaca tulisan di batu nisan itu. Miranti Fatimah.
Tanah kuburnya masih merah. Sisa bunga melati dan wangi pandan samar-samar menyapa penciumannya. Mim seketika terduduk di situ. Berkali-kali ia mengusap matanya yang membasah. Beberapa kali bacaan Surah Yasin yang ia baca tersendat karena harus meredakan isaknya sendiri.
Umur tidak ada yang tahu, Ran. Aku minta maaf. Tidak bisa menjadi sahabat yang menemani di hari-hari terakhirmu. Seharusnya aku ada, tapi aku malah pergi menghindar. Semestinya aku dekat, tapi malah pergi menjauh. Maafkan aku. Dibanding semua yang ada di dunia ini, Allah lebih menyayangimu. Baik-baik di situ, Ran.
Mim bangkit berdiri. Memutar badan untuk meninggalkan pusara Mim.
“Astaghfirullahaladziem….” Mim terlonjak kaget mengetahui ada orang lain berdiri tak kurang satu meter di hadapannya. Rupanya orang itu sudah berdiri di belakang Mim beberapa waktu saat Mim mengaji dan berdoa.
Alif memandang Mim dengan perasaan khawatir. “Maaf… membuatmu terkejut.”
Mim balas memandang Alif. Memastikan mencoba mencari tahu pedalaman yang paling mungkin dari lelaki di hadapannya. Sebegitu lama tidak bertemu, apa yang masih bertahan dan apa yang sudah berubah. Alif meminta Mim menunggunya sebentar. Ia berdoa di pusara Ranti, sementara Mim berdiri menunggu di belakangnya. Setelah Alif selesai, keduanya berjalan bersisian menuju ke rumah.
“Kenapa kamu pergi, Mim?”
“Lawan dari cinta itu bukan benci. Tapi tidak peduli.”
“Kamu tidak pernah memberiku kesempatan meminta maaf.” Alif menatap Mim lekat-lekat.
“Sudah kumaafkan sejak saat itu,” Mim membalas tatapan Alif.
“Maaf,” Alif meminta sekali lagi.
Mim mengangguk. “Ranti sudah menyampaikan maafmu berkali-kali.”
“Ranti berkali-kali memintaku segera melamarmu.”
“Bukannya kalian hendak dijodohkan?”
“Kamu tahu?”
“Bapak pernah bercerita kepadaku. Ia pernah mendengar dari orang-orang bicara selepas salat di musala. Kalau sampai itu terjadi aku ikut bahagia.” Mim melirik Alif.
“Ranti tidak mau,” jelas Alif.
“Kenapa?”
“Karena kamu sahabatnya. Dia menyayangimu.”
Langkah Mim terhenti. Ia menatap lekat-lekat wajah lelaki di hadapannya. Alif mengikutinya berhenti.
“Mim…pengabdian pertama seorang calon ayah kepada anak-anaknya adalah memilihkan calon ibu yang baik buat anak-anaknya nanti. Aku ingin memilihmu…”
Mim menunduk. Lalu… perlahan-lahan mengangguk. (AA)
TAMAT