Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

‘Luput Sembur’ Covid-19

2 min read

Suatu ketika saya bertemu dengan tukang servis laptop dan berbincang: “Gimana, tetap ramai? Ya, alhamdulillah ada saja. Sampeyan bagaimana? Oh, sampeyan PNS ya?!, wah enak sampeyan luput sembur, biarpun ada Corona tetap bayaran”. Lama tidak mendengar kata itu, kemunculannya cukup menggelitik untuk mengupasnya lebih jauh.

Kata ‘Luput Sembur’ adalah kata metafora yang egaliter. Penggunaan kata itu menunjukkan eksistensi budaya lokal dalam kehidupan modern yang global. Manusia modern dengan kecanggihan teknologi yang dihasilkan menjadikan manusia terhubung satu sama lain sehingga yang jauh menjadi dekat. Kata pepatah: “Dunia tidak selebar daun Kelor”, menjadi tidak relevan kini. Sebab dunia kini benar-benar kecil dan ada dalam genggaman gawai yang sekarang sedang dipakai untuk menulis artikel ini.

Informasi dunia yang berseliweran di layar gawai menjadikan manusia menyatu dalam pikiran, gaya hidup, dan budaya atau yang lazim disebut globalisasi. Budaya lokal dan nasional menjadi kehilangan daya cengkeram, karena semuanya berada dalam mobilitas lintas budaya. Sadar akan rawannya kepunahan budaya lokal, dunia mengangkat apa yang disebut dengan Local Wisdom atau kearifan lokal agar manusia jangan mengorbankan budaya aslinya lantaran terbawa arus tren global. Ini juga menunjukkan munculnya kesadaran bahwa fenomena globalisasi justru memiskinkan manusia dari sisi budaya. Untuk itu budaya lokal harus dihidupkan dengan jargon Kearifan Lokal.

Luput Sembur; ‘luput’ berarti lolos; ‘sembur’ sama dengan dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Apa yang dipancarkan (disemprotkan) dari mulut (seperti kunyahan obat-obatan untuk mengobati orang sakit atau untuk mengusir roh jahat). Arti sembur di sini sangat menarik karena sangat jarang orang sekarang memakai mulut untuk menyemprotkan sesuatu. Zaman dulu alat semprot ya mulut.

Baca Juga  Tetanggamu Yang Beda Agama Pun Punya Hak Atas Mu

Hingga tahun 90-an, di Mesir, tukang laundry kalau menyetrika dia terlebih dahulu menyemburkan air dari mulutnya ke baju yang disetrika biar licin. Mahasiswa Indonesia di Universitas al-Azhar Kairo yang melihatnya gak bisa nahan untuk tidak ngedumel sambil bayangin jigong yang menempel ke baju.  Gegara munculnya alat semprot, akhirnya mulut kehilangan fungsi yang satu ini.

Dulu dengan jompa-jampi bacaan surah al-Fatihah lalu disemburkan ke air untuk diminum orang yang sakit, orang menjadi membaik kondisinya. Juga dengan semburan surah al-Falaq dan al-Nas (al-Mu’awwidzatayn) untuk menangkal atau mengusir roh jahat dalam diri manusia. Hilangnya praktik sembur dan tergerusnya ia dari fungsi mulut menandai peralihan budaya bahkan peradaban manusia dari tradisional ke modern. Minimal dalam dunia pengobatan, ia telah berpindah secara total dari penyembuhan  berbasis doa [tanpa menafikan keberadaan jamu ramuan tradisional] ke medis. Dari pengobatan rohani ke jasmani atau lebih jelasnya perubahan dari keyakinan bahwa sumber penyakit ada di aspek rohani atau psikis ke aspek jasmani atau fisik. Atau kalau dalam filsafat, pergeseran dari paradigma metafisika ke fisika atau materialisme; pergeseran dari Idealisme Plato ke Realisme Aristoteles.

Pengutamaan fisik dari pada ruh juga nampak pada pepatah Latin: Mens Sana in Corpore Sano: dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Meski modernitas tidak menolak kerohanian dan bahwa pepatah Latin itu tidak untuk memungkiri kebalikan makna bahwa dalam jiwa yang sehat terdapat badan yang sehat, tapi setidaknya paradigma modern memang mengedepankan basis empirisme indrawi daripada non-indrawi. Aspek rohani dan kejiwaan lebih bersifat sekunder daripada primer. Perkembangan zaman dan kejenuhan serta kebosanan akan materialisme membuat manusia kembali melirik pengobatan alternatif di mana praktik Sembur kembali muncul dalam pengobatan alternatif dan ruqyah serta pengobatan zaman Nabi. Orang Barat pun coba beralih ke spiritualisme di mana Yoga laku keras dan meditasi dipraktikkan sebagai metode self healing.

Sembur dengan demikian kembali meraih momentumnya setelah sekian abad mati suri. Ia muncul lagi dalam krisis Covid-19 kali ini, di mana doa-doa dilantunkan untuk menghentikan merebaknya wabah yang terparah sepanjang sejarah ini. Wirid “Li Khamasatun Utfi Biha” (artinya: “Saya memiliki lima yang dengannya bisa memadamkan api wabah yang ganas: al-Mustafa [nabi Muhammad], al-Murtada [Ali b. Abi Talib], kedua anaknya [Hasan dan Husain] dan Fatimah) dikumandangkan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di televisi sebagai ikhtiar batin. Di Jerman salah satu mesjid untuk pertama kalinya diizinkan untuk mengumandangkan azan dengan pengeras suara keluar karena mereka berharap dengannya bisa menangkal wabah. Ternyata wabah Corona mampu menarik ekstremitas materialisme ke posisi moderat setidaknya seperti yang nampak pada contoh terakhir di Jerman.

Baca Juga  Bolehkah membaca Alquran tanpa Irama?

Kembali ke Luput Sembur pada paragraf pembuka tulisan ini, maka semburan Covid-19 benar-benar telah menjangkau semua belahan dunia. Hingga kini dari 193 negara di dunia barangkali hanya tinggal 10 yang belum terjangkit Covid-19. Semuanya (selain Korea Utara) kalau namanya disebut, besar kemungkinan tidak dikenal. Semburan Covid-19 mengakibatkan lumpuhnya perekonomian dunia sehingga sektor swasta lumpuh total dan orang kecil kelimpungan mencari pemasukan untuk keseharian mereka.

Selain mereka yang tergolong orang mampu, barangkali Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk yang lolos dari semburan api bencana ini alias Luput Sembur. Mereka aman-aman saja meski di antara mereka yang bekerja di sektor kesehatan, mereka berjuang mati-matian di baris terdepan melawan Covid-19. Tentang amannya kondisi ekonomi PNS, Emha Ainun Najib pernah bergumam: “Di dunia ini semua makhluk hidup ditanggung hidupnya oleh Tuhan kecuali PNS; yang menanggung mereka dua: Tuhan dan pemerintah”. “Kalau begitu kamu punya dua Tuhan!”, kata teman asal Korea Selatan yang tinggal di San Francisco Amerika saat mendengar itu. [MZ]

Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *