Polemik tentang perjumpaan Islam dengan peradaban lain merupakan proses penting untuk dikaji. Selama ini cukup jelas terlihat bagaimana maraknya proses arabisasi di tengah masyarakat yang dibungkus dengan narasi kesalehan. Pemandangan yang terlihat seolah Islam bersifat kolonialistik yang merusak sistem budaya tatkala berjumpa dengan budaya natif.
Dalam diskursus politik, sistem khilafah seolah merupakan tafsir final dalam membangun institusi politik, atau negara. Benarkah demikian? Sebelum menjawabnya, Hassan Hanafi, menemukan sebuah pola epistemik menarik ketika produk ilmiah asing masuk dalam dunia akademik Islam. Para ulama berusaha mengkonstekstualisasikan produk budaya asing sebelum dicerna dan dijadikan jamuan ilmiah.
Mantiq, filsafat, astrologi, kimia, dan ilmu eksak lainnya, diolah dulu sebelum disajikan. Lahirlah filsafat atau mantiq yang berbaju Helenistik namun telah bernegosiasi dengan instrumen ilmiah Islam lainnya. Pola epistemik ini disebut Hassan Hanafi sebagai al-tasyakkul al-kāżib, atau kamuflase palsu. Dalam hal ini, saya akan melihat pola epistemik ini dalam transformasi politik Islam di tanah Bugis, khususnya dalam Lontara Latoa.
Lontara Latoa merupakan kitab politik yang berisi tentang petuah, ajaran, protokoler dan bahkan arahan bagi para pejabat negara Bugis. Latoa dikodifikasi oleh Arung Pancana Toa Colli’ Pujie pada tahun 1872. Walaupun kehadiran Latoa secara lisan telah ada pada zaman raja Bone Ketujuh Arung La Tenrirawe Bongkangnge. Naskah tersebut dihadiahkan kepada B.W.F. Matthes lalu dikumpulkan dalam antologi Boeginesche Chrestomathie yang ditulis dengan aksara lontara dan tanpa komentar atau penjelasan.
Mattulada dalam disertasinya, mentransiliterasikan dan menerjemahkannya. Posisi Latoa sebagai kitab politik yang mendapatkan pengaruh Islam terlihat jelas dalam penempatan sara (syariat) sebagai sendi kelima dalam sistem pangngadêrrêng (pranata kemasyarakatan dan politik). Selain itu, pesan moral dan politik Rasulullah sebanyak dua alinea dan Lukmanul Hakim sebanyak sembilan alinea yang dinukil dalam Latoa.
Perjumpaan politik Islam dalam Latoa berlangsung harmonis, tanpa ada tendesi hegemoni ataupun dominasi wacana dari Islam. Tidak resistensi antara nalar lama dengan produk baru yang ditawarkan oleh Islam, bahkan perjumpaan ini berusaha dibuatkan keakraban dalam sebuah narasi perjumpaan antara Sawerigading dengan Rasulullah, “mallinrungi Sawerigading mompoi Nabitta”.
Dalam diskursus politik keharmonisan itu juga tetap terlihat. Islam tidak mendestruksi sendi peradaban Bugis yang telah mapan. Struktur ontis yang membangun negara dalam perspektif filsafat politik Islam dibangun dari tiga aksioma dasar.
Pertama, hifẓ al-baqā, (menjaga kehidupan) dari perang yang mampu merusak dan menghancurkan benih kehidupan yang lahir dari perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan bisa melahirkan permusuhan antar-individu lalu bereskalasi kepada permusuhan antar-kelompok. Eskalasi dan tensi permusuhan meningkat karena tiap manusia selalu berlindung dibalik spirit komunal yang telah melekat dalam dirinya sejak lahir.
Sehingga, diperlukanlah pemimpin yang mengatur dan mengkoordinir kutub kepentingan yang bertentangan. Ulama menagartikulasikannya dengan kewajiban mengangkat pemimpin masyarakat (wujūb naṣb al-imām).
Kedua, al-ta’āwun, hasrat untuk saling menolong dalam mewujudkan keinginan dan kehendak hidup individu, yang dituangkan dalam ketaatan kepada bangunan dan institusi sosial. Aksioma kedua ini oleh para terisi politik Islam juga disebut dengan “madanīyyun bi al-ṭab’”, makhluk secara naluriah berjiwa sosial.
Ketiga, negara dibentuk sebagai instrumen untuk mencapai kesempurnaan manusia (nayl al-kamāl al-insānī). Konsep ini digagas oleh al-Fārābī dalam bangunan negara idealnya (al-Madīnah al-Fāḍilah). Konsep dan gagasan tersebut diterjemahkan secara rapih oleh Latoa.
Kitab Latoa mengandaikan negara atau sistem tata kelola pemerintahan sebagai keniscayaan politik dan mesti ada dalam sebuah bangunan masyarakat. Dalam disebutkan Latoa tula pattaungeng (sial tahunan), sebuah entropi kosmik yang merusak tatanan semesta, matinya ternak, gersangnya kebun, gagalnya panen padi, atau gugurnya kandungan. Tula pattaungeng terjadi ketika masyarakat hidup tanpa adanya institusi yang mengatur.
Masyarakat yang hidup tanpa koordinasi pemimpin yang cakap akan mendapatkan laknat dan nista dari alam semesta. Mereka akan dibuang dalam sejarah, sebagaimana dilupakannya masyarakat yang hidup pada masa pitu pariamang (tujuh masa kelam).
Masa Pitu Pariameng merupakan trauma politik yang menakutkan. Hukum tak bermarwah (têkkêbicara). Adat tak bertaji (têkkêadê). Kondisi alam tak menentu dengan kilatan petir dan guntur yang menyambar selama seminggu lamanya, (nasianre billak e lette wero e), adalah dampak dari krisis dan anarkisme politik yang melanda masyarakat Bugis saat itu.
Latoa juga menempatkan relasi antara rakyat dan pemerintah adalah realitas politik yang sangat penting. Tak ada jalan mereka dapat hidup terpisah satu sama lain. Sebab ketika raja yang tak peduli lagi dengan rakyatnya, maka konsekuensinya adalah: pertama, Arung (raja) akan ripalesso (diturunkan) dari jabatannya jika tekanan sangat berat.
Kedua, Arung akan dijallo (diamuk) di depan khalayak ramai yang merusak sirinya; dan ketiga, rakyat akan meninggalkan negerinya, sehingga akan merusak citra dan siri kerajaannya.
Latoa memberikan legitimasi dan membenarkan tindakan itu, yang diistilahkan sebagai massappa onrong laing (mencari negeri lain). Bagi seorang Arung yang kehilangan kepercayaan dan ditinggal pergi oleh rakyatnya adalah sebuah kegagalan dan kehilangan siri yang sangat memilukan. Namun, rakyat yang tak menaati perintah dan memenuhi kewajiban arung akan ditimpa musibah yang berkepanjangan seperti masa Pitu Pariameng yang menimpa masyarakat Bugis di masa lalu.
Dengan demikian, Latoa tidak hanya mengafirmasi wujūb naṣb al-imām, akan tetapi mengeleborasinya lebih jauh dan bahkan menambahkan wujūb hifẓ al-ra’iyyah, (kewajiban menjaga kesejahteraan rakyat). [AA]
Bersambung… [Bagian 2]