Said Hoedaini Pemimpin Redaksi TV9 dan Penikmat Sastra

Alif Dan Mim (7): Cinta Kadang Menyebalkan

2 min read

Alif berkali-kali memencet nomor itu. Ia berusaha menghubungi Mim. Namun seberapa kali mencoba, seberapa kali itu juga ia gagal. Mim tidak mengangkat teleponnya. Juga tidak membaca dan membalas pesan-pesannya.

Alif menghela nafas. Berusaha membuang sesak yang mengimpit dadanya. Jauh-jauh datang dari Jogja hanya untuk gagal hadir menghadiri wisuda gadis pujaan. Hubungan percintaan yang gelagatnya bakal rumit karena ayahnya terang-terangan menyalakan lampu merah tanda stop. Dan sekarang ditambah kemarahan Mim kepadanya. Lengkap sudah. Empat susah lima sempurna.

Seperti tidak ada sinar terang di ujung lorong. Alif merebahkan tubuhnya di kasur yang entah sudah berapa lama ia tinggal merantau. Menatap kaligrafi di dinding kamarnya. Doa Nabi Sulaiman, yang diabadikan dalam Surah An-Naml : 19. Ditulis dengan gaya Kufi Murabba di atas papyrus. Itu hadiah dari ayahnya sepulang ayahnya dari sebuah lawatan ke Mesir. Alif suka gaya kuno khat kubus dengan karakter geometris itu. Agak kaku tapi indah. Tegas tapi manis. Suka merajuk tapi cantik. Alif tersenyum sendiri oleh pikirannya yang melantur.

Alif mencoba memejamkan mata. Berharap bisa tertidur sebentar dan melupakan masa depan macam apa yang bakal dihadapi nanti.

_______________

Setelah salat Asar di masjid depan rumah Alif kembali masuk kamar. Ia tahu yang harus dilakukan. Keputusannya sudah bulat. Pagi besok ia akan berangkat ke Surabaya. Menemui Mim. Diam-diam saja, tidak usah berpamitan kepada ayah dan ibu. Agar tidak mencurigakan ia akan berangkat naik motor saja. Kalau berangkat pagi-pagi, dan segala urusannya di Surabaya lancar jaya, sore dia sudah bisa kembali sampai di rumah.

Alif segera mengambil handphonenya di meja. Memencet sebuah nomor. Ranti. Kepada sepupunya ia memastikan alamat kos yang pernah Mim berikan benar dan yang bersangkutan belum pindah kontrakan.

Baca Juga  [Cerbung] Bukan Cinta Cleopatra - Bagian Pertama

“Kang Alif mau ke Surabaya?.”

“Iya. Rencananya besok pagi.”

“Makin cepat makin baik, Kang.”

“Oke. Terima kasih, Ran. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Hati-hati, Kang.”

_______________

Di dalam kamarnya Mim sedang berkemas. Memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tasnya. Ia berencana pulang besok sehabis Subuh. Siapa tahu segala kekacauan hati bisa lebih redam jika ia pulang. Meski tidak tahu nanti di rumah akan mengerjakan apa saja, yang penting Mim ingin menyibukkan diri. Orang yang sibuk tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal lain.

Selain pakaian, Mim juga memasukkan beberapa buku untuk menemani hari-harinya di rumah. Ia berharap peperangan melawan gundah gulana ini bisa dimenangkannya dengan gemilang. Mim mengambil binder note biru untuk dimasukkan juga ke dalam tas. Sejenak ia timang di tangan, lalu diletakkannya kembali ke atas meja. Jangan bawa apa yang bisa menambahi pilu menjadi lebih pilu. Tinggalkan saja.

_______________

Pagi itu Alif hanya berpamitan kepada ibunya. Ayahnya belum pulang dari mengisi kuliah Subuh di masjid kampung sebelah.

“Kalau ayahmu tanya, ibu bilang kamu ke mana?”

“Bilang saja ke rumah teman, Bu.”

“Kamu tidak ke Surabaya kan, Le?”

Alif pura-pura tidak mendengar pertanyaan ibunya. Ia buru-buru menghidupkan mesin motornya lalu berangkat. Ibunya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Ketika ayahnya datang satu jam kemudian, Alif sudah menuju ke barat, menikmati deru dan debu jalan raya. Melintasi Probolinggo, Tongas, Grati, menuju Surabaya. Ia berharap secepatnya bisa sampai di Surabaya dan bertemu Mim. Segala kerumitan ini harus segera diudar. Semakin lama dibiarkan, benang-benang masalahnya akan semakin ruwet. Alif memacu motornya lebih kencang di jalan aspal yang kadang lurus kadang belok, kadang halus kadang memperosok.

Baca Juga  [Puisi] Memperingati Hari Puisi Nasional di Tengah Pandemi

Di waktu yang sama, Mim baru saja melewati sebuah koridor yang ramai di terminal Purabaya. Ia menuju salah satu bus yang akan membawanya menuju ke timur. Tawaran beberapa calo tiket yang berusaha mendekati  dijawabnya dengan tersenyum dan gelengan kepala. Kalau mereka nekat makin mendekat, Mim menghindar dengan berjalan lebih cepat, setengah berlari.

_______________

Alif sudah masuk Surabaya. Ia segera menuju Jemursari. Sesuai alamat rumah kos Mim.

_______________

Mim sedang menikmati pemandangan di luar jendela. Pohon dan tiang listrik berkejaran dengan bus yang ia tumpangi. Seorang kondektur mendekatinya. Membuka tutup spidol dengan gigi, lalu memasangnya ke bagian belakang spidol. Tidak lupa, menjilat jari telunjuknya kemudian sebelum menyibak bundel karcis penumpang.

“Lumajang. Satu,” Mim mengangsurkan pecahan uang lima puluh ribuan.

“Kembaliannya nanti ya,” kondektur memberitahu. Mim mengangguk. Setelah itu mulai mengantuk.

Bus yang membawa Mim baru sampai di Gempol saat Alif tiba di Jemursari. Di depan sebuah rumah kos sederhana Alif berhenti. Memencet bel lalu beruluk salam. Tidak lama, seorang gadis seusia Mim keluar tergopoh-gopoh menemui Alif di pintu gerbang.

“Maaf, cari siapa, ya?”

“Mim ada Mbak?”

“Mbak Hamimah?”

Alif mengangguk.

“Tadi Mbak Hamimah pamit pulang kampung.”

Tungkai Alif terasa lemas seketika. Beberapa detik ia seperti kehilangan kalimat.

“Masnya dari mana?”

“Saya teman sekampungnya Mim.”

“Lho..kok bisa?” Gadis itu mengernyit. Menatap Alif dengan wajah campuran antara heran dan kasihan.

“Ok. Makasih ya, Mbak. Saya langsung pamit saja. Terima kasih. Assalamualaikum,” Alif memasang kembali helmnya.

Dari seberang gerbang, gadis tuan rumah itu menjawab salam Alif, lalu kembali masuk setelah sebelumnya menutup pintu gerbang.

Baca Juga  Raymond, Internet, dan Pelajaran Ikhlas Menjadi Orang yang Terlupakan

Sebelum menyalakan mesin motor, Alif merogoh saku celana jinsnya. Handphone. Ia menelepon Ranti. Seseorang yang sejak awal seharusnya ia ajak kerjasama untuk menyukseskan agenda keberangkatannya ke Surabaya. Dengan keterlibatan Ranti sebagai telik sandi tentu ia tidak akan kecolongan jadwal Mim seperti siang ini.

Cinta memang kadang menyebalkan..

Bersambung

Said Hoedaini Pemimpin Redaksi TV9 dan Penikmat Sastra

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *