KH. Ma’shum Ahmad adalah putra dari KH. Ahmad Marzuqi, Tanggulangin Sidoarjo. Beliau kakak kandung dari Nyai Fathimah Sholeh Tambakberas.
Penceramah kondang dengan suara lantang-menggelegar yang beristri Nyai Fatimatuz Zahro binti KH. Zawawi Lasem ini mempunyai keunikan plus kelebihan. Salah satunya adalah menawari, “menyuwuk” dan memberi ijazah doa kepada santri untuk menjadi kiai. Beberapa yang “kena” suwuk adalah KH. Mukhlas Kurdi, KH. Ghufron, KH. Badrus Sholeh, KH. Ghofur dan KH. Ali Masyhuri.
Mulai dari KH. Mukhlas Kurdi. Beliau dulunya adalah santri sekaligus abdi Ndalem yang sering mengantarkan KH. Ma’shum Ahmad saat berceramah ke mana-mana. Beliau suatu saat dipanggil KH. Ma’shum dan ditawari, “Gelem awakmu dadi kiai?” Tentu santri ini antara malu dan berharap sulit menjawab. Selanjutnya oleh KH. Ma’shum disuwuk dan diberi amalan doa.
Selesai boyongan dari mondok, beliau merintis pondok yang bernama Nurul Ikhlas berlokasi di desa Sepande, Candi, Sidoarjo. KH. Muchlas juga merintis Pondok di Damarjati Pasuruan yang dalam mimpinya tanahnya ada hubungan dengan perjuangan Pangeran Diponegoro.
Sama dengan KH. Mukhlas, KH. Ghufron dulunya adalah murid Madrasah Islamiyah Tanggulangin yang tinggal di desa Kedung Bulus Porong, terus menjadi santri pertama di pondok Al Hidayah yang diasuh KH. Ma’shum. Suatu saat dia ditawari dan disuwuk serta diberi ijazah doa.
Selanjutnya beliau bisa mendirikan pesantren di Ketapang Tanggulangin. Demikian pula KH. Badrus Sholeh, sebelumnya juga sopir KH. Ma’shum dan sekarang menjadi dai kondang tinggal Desa Pangkemiri Tulangan Sidoarjo.
Baca Juga: Mengenal Sosok KH Badrus Sholeh Syakur dari Sidoarjo
Ada juga yang agak dipaksa oleh KH. Ma’shum, yakni mantri suntik yang bernama Ghofur. Beliau saat ditawari tentu tidak mau, tapi oleh KH. Ma’shum dipaksa dengan disuruh menjaga musholla di Pandaan sambil diberi amalan. Semakin hari semakin banyak orang mampir dan mengaji di musala tersebut. Lalu lurahnya curiga dan mendatangi Pak Ghofur dengan ditanya darimana serta yang menyuruh siapa?
Setelah dijelaskan bahwa yang menyuruh adalah KH. Ma’shum Ahmad, maka lurah mendatangi KH. Ma’shum di Ketegan. Oleh KH. Ma’shum dijelaskan memang benar beliau yang mengutus,maka lurah mendukung. Akhirnya musala yang dikelola KH. Ghofur semakin banyak yang menghadiri untuk mengaji, selanjutnya berdirilah pesantren di situ.
Baca Juga: KH. Agoes Ali Masyhuri: Kiai Nyentrik Ribuan Umat
Terakhir KH. Ali Masyhuri. Syahdan, Gus Ali Masyhuri muda berjualan sesuatu yang berhubungan dengan kendaraan. Lalu pada suatu siang, beliau mampir ke masjid pondok Ketegan yang diampu oleh KH. Ma’shum Ahmad. Di emperan masjid ketemu dengan Gus Nu’man Thohir (adik beda bapak dari istri KH. Ma’shum Ahmad, yang memang mondok di Ketegan) juga Paklek Basuni.
Sesaat setelah ngobrol sambil kebul-kebul merokok, keluarlah KH. Ma’shum dengan kaos swan putih dan sarung kotak-kotak. Singkat kisah, beliau menawari Gus Ali agar menjadi kiai. Selanjuynya disuwuk dan diberi amalan.
Akhirnya Gus Ali menjadi penceramah terkenal dari satu tempat ke tempat lain. Uniknya, yang hadir dalam ceramahnya ada beberapa maniak judi. Saat itu masa SDSB (judi yang menasional). Para pecandu judi selalu menunggu Gus Ali menyebut ayat atau surat dalam Alquran yang, dengan itu akan diramesi untuk ditombokkan. Ndilalah pas. Maka para pecandu judi kalau Gus Ali ceramah akan hadir, tapi yang ditunggu bukan nasehatnya, hanya ayat atau surat dalam Alquran untuk digunakan perjudian.
Nampaknya memang ayat Alquran di tangan orang yang salah bisa diselewengkan, entah untuk judi, untuk menipu orang atau agar dianggap sebagai ustad, bahkan digunakan untuk legitimasi menyakiti dan membunuh orang yang tidak sepaham pemikiran.
Suatu kali Gus Ali sakit, belum diketahui apa penyebabnya, selanjutnya dibawa ke KH. Ma’shum Ahmad. Lalu KH. Ma’shum berkata (entah ditujukan kepada siapa), “Kon njogo raiso.” Selanjutnya keluarlah semburan suwuk tiga kali dari KH. Ma’shum ke arah Gus Ali. Alhamdulillah sembuh.
Tidak hanya kisah ditawari menjadi kiai, seorang santri yang juga sopir KH. Ma’shum yang bernama Misrohim, pas cuci Mobil pada pagi hari ditawari KH Ma’shum, “Apa mau kamu jadi lurah?” Jawabnya, “Nggeh.” Ternyata akhirnya juga menjadi lurah. Begitulah keunikan kiai NU yang waskita bisa membaca tanda tanda atau potensi dan mengupayakan agar tanda-tanda atau potensi itu terwujud.
Kisah di atas saya dapatkan dari Paklek Basuni (keponakan KH. Ma’shum Ahmad) yang kemarin siang takziah ke Kiai Hasbulloh dan mampir ke rumah saya. [MZ]