Ki Ageng Pengging, atau dikenal sebagai Kebo Kenanga, adalah sosok pemimpin yang terkenal dengan sikapnya yang sederhana, bijak, dan penuh makna spiritual. Sebagai keturunan bangsawan dengan hak atas tahta kerajaan, ia memilih untuk hidup bersama rakyat dan menjalani kehidupan sebagai petani. Kisah hidupnya menyimpan banyak pelajaran, mulai dari keturunan yang mulia hingga pilihannya yang rendah hati dalam menjalani hidup.
Beliau hidup pada zaman transisi kerajaan Majapahit ke kesultanan Demak. Kerajaan Demak pada masa itu sudah menguasai sebagian besar Nusantara, namun dalam masa kemunduran. Kesultanan Demak muncul sebagai kekuasaan terbaru dengan landasan ajaran islam sebagai dasar spiritual dan politiknya, ki ageng pengging hidup pada masa perubahan yang besar ini, yang melibatkan pergeseran kekuasaan dan pengaruh Hindu-Budha ke Islam.
Berdasarkan keterangan juru kunci makamnya (05/11/2024), Ki Ageng Pengging memiliki garis keturunan istimewa. Dari pihak ayah, ia adalah keturunan Syekh Jumadil Qubro, sehingga masih memiliki hubungan saudara dengan Sunan Ampel. Dari pihak ibu, ia terhubung dengan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Hal ini menjadikannya sebagai sosok bangsawan dengan darah biru yang mengalir kuat di dalam dirinya. Sebagai bangsawan, ia sebenarnya memiliki kesempatan besar untuk memegang tahta Kesultanan Demak Bintoro yang saat itu berkembang pesat.
Namun, berbeda dari keinginan umumnya, Ki Ageng Pengging justru memilih untuk menolak kekuasaan. Ia tidak tertarik untuk memimpin dari atas tahta, dan lebih memilih menjalani hidup sederhana dengan rakyatnya. Ketika disarankan untuk menghadap ke Demak, ia bahkan enggan melakukannya. Bagi Ki Ageng Pengging, kehidupan sederhana dan berbagi kesejahteraan langsung bersama rakyat adalah pilihan yang lebih mulia daripada memegang kekuasaan besar.
Sebagai petani, Ki Ageng Pengging menjadi teladan bagi rakyatnya dalam mengelola tanah dan menghasilkan pertanian yang subur. Dikatakan bahwa setiap lahan yang dikelolanya selalu tumbuh subur dan makmur, menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Bahkan Raden Fatah, pendiri Kesultanan Demak, mengetahui tentang kemakmuran pertanian di Pengging yang berada di bawah kepemimpinan Ki Ageng. Pilihan ini membuktikan bahwa Ki Ageng melihat kemuliaan dan pengabdian melalui tindakan nyata yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, alih-alih hanya duduk di atas tahta.
Keputusan Ki Ageng Pengging untuk hidup sederhana bersama rakyatnya mencerminkan filosofi yang mendalam tentang kepemimpinan. Baginya, kemakmuran rakyat adalah prioritas utama, dan tanggung jawab seorang pemimpin adalah menyejahterakan masyarakatnya tanpa harus bergantung pada kekuasaan formal. Jalan hidupnya ini juga membuktikan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin tidak selalu berasal dari jabatan atau kedudukan, melainkan dari tindakan yang nyata dan ketulusan hati untuk berbuat baik.
Dengan menjalani kehidupan sederhana, Ki Ageng Pengging mengajarkan bahwa sejatinya kekuatan seorang pemimpin terletak pada kemampuannya untuk memahami dan merasakan penderitaan rakyatnya. Ia menolak kemewahan istana dan memilih berbaur dengan rakyat jelata, sehingga dapat merasakah langsung kebutuhan dan aspirasi mereka. Sikap ini tidak hanya mempererat hubungan antara pemimpin dan rakyat, tetapi juga menciptakan suasana saling percaya dan dukungan yang kuat. Ki Ageng Pengging percaya bahwa ketika seorang pemimpin menunjukkan empati dan perhatian tulus, ia akan mendapatkan dukungan yang lebih besar dan menginspirasi rakyat untuk bekerja sama menuju kesejahteraan bersama. Filosofinya tetap relevan hingga kini, mengingatkan kita akan pentingnya kepemimpinan yang melayani dan berlandaskan ketulusan.
Tidak hanya dalam kehidupan, kemuliaan Ki Ageng Pengging juga terlihat dalam kisah wafatnya. Menurut penuturan juru kunci makam (05/11/2024), Ki Ageng tidak meninggalkan jasad seperti manusia biasa, melainkan “muksa,” yaitu mencapai pembebasan jiwa bersama tubuhnya. Muksa dianggap sebagai tahap spiritual tertinggi, di mana seseorang telah mencapai penyatuan penuh dengan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang tokoh yang tidak hanya dihormati dalam hidupnya, tetapi juga mencapai puncak spiritual yang luhur saat meninggal.
Kisahnya juga menyimpan legenda yang masih dipercayai hingga kini, termasuk legenda Surabaya dengan simbol ikan sura dan buaya. Dikisahkan bahwa nama Surabaya diambil dari nama dua panglima kepercayaan Ki Ageng Pengging, yakni Mbah Sura dan Mbah Buaya, yang dikenal akan kesetiaan dan kebijaksanaan mereka. Kisah ini menjadi bagian dari mitos lokal yang memperkaya budaya dan sejarah Jawa Timur.
Warisan Ki Ageng Pengging adalah inspirasi tentang bagaimana seseorang dapat hidup dalam kebijaksanaan, kedamaian, dan kesederhanaan, meskipun memiliki kesempatan besar untuk berkuasa. Sosoknya mengajarkan bahwa pengabdian dan kesejahteraan bagi sesama adalah bentuk kepemimpinan yang paling mulia, dan bahwa kehidupan sederhana bersama rakyat adalah pilihan yang tidak kalah terhormat dibandingkan dengan memegang tahta. Hingga kini, kisah hidupnya menjadi teladan tentang keberanian mengambil jalan yang berbeda, dengan semangat pengabdian yang tulus dan penuh kebijaksanaan.