Anick Ht‎ Research, Policy, dan Advocacy Senior Officer di Wahid Foundation; Founder demokrasi.id

[Resensi Buku] Kaum Inteligensia Muslim dalam Satu Abad

3 min read

Judul buku: Inteligensia Muslim dan Kuasa
Penulis: Yudi Latif
Penerbit, Edisi digital: Democracy Project
Tahun: 2012
Tebal buku: 824 halaman

Ini adalah tentang genealogi, kajian mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi. Dalam hal ini Yudi Latif melihatnya dalam kurun waktu satu abad, yakni abad ke-20 yang telah kita lewati. Ia melihat rantai intelektual antar-generasi dari yang disebut sebagai inteligensia muslim Indonesia.

Ini adalah tentang inteligensia muslim. Meski sering tumpang tindih, inteligensia dibedakan dengan intelektual. Inteligensia adalah sebuah strata sosial. Mengutip Alexander Gella, dalam kedudukannya sebagai sebuah strata sosial, inteligensia jauh lebih dari sekadar sekelompok orang yang disatukan oleh kepentingan-kepentingan intelektual tertentu, oleh tingkatan-tingkatan pendidikan ataupun oleh relasi-relasi pekerjaan. Yang disebut inteligensia muslim dalam hal ini bukanlah merujuk pada kualitas kesalehan, namun lebih pada tradisi-tradisi politik dan intelektual yang berorientasi Islam.

Ini adalah tentang pergulatan para kaum inteligensia muslim itu dengan kekuasaan yang pasang surut. Yudi melihat peran mereka yang kadang naik, kadang turun, kadang larut di dalam dan memengaruhi kekuasaan, kadang terpinggirkan, dan kadang bertarung di antara mereka sendiri.

Lalu Yudi membagi generasi inteligensia muslim ini dalam enam fase kronologis. Pada setiap fase ini, dengan detail Yudi menjelaskan setting politik dan ekonomi, pendidikan (sekolah-sekolah sekuler dan Islam), praktik-praktik diskursif, ruang publik, permainan-permainan kuasa (konsolidasi dan pertarungan), gerak perkembangan tertentu dari inteligensia Muslim dan Islam politik, serta transmisi tradisi-tradisi politik dan intelektual Islam.

Generasi pertama adalah generasi dua dekade pertama adad 20, yang bergelut dengan kebijakan politik etis Hindia Belanda. Ini adalah generasi yang berkenalan dengan pendidikan “Barat” untuk pertama kalinya. Politik etis ini juga yang melahirkan apa yang disebut sebagai intelektual ulama.

Baca Juga  Alif dan Mim (9): Kisah Cinta Dari Dulu Memang Begitu, "Ruwet"

Ada Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, ada Syeikh Achmad Khatib. Juga kemudian KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Achmad Dahlan. Mereka juga terkoneksi dengan Muhammad Abduh yang membawa ide modernisasi Islam. Madrasah-madrasah mulai lahir pada generasi ini. Dari generasi ini kemudian lahir tokoh-tokoh generasi berikutnya yang kemudian menjadi cikal bakal kemerdekaan Indonesia.

Generasi berikutnya (1930-1940-an) adalah generasi Muhammad Natsir, Moh. Roem, Fathurrahman Kafrawi, Wahid Hasyim, dan Abdul Kahar Muzakkir. Ada juga Kasman Singodimedjo yang kemudian bersama Natsir dan Roem menjadi tokoh awal Masjumi. Kiprah Jong Islamieten Bond juga sangat memengaruhi pergulatan politik kelompok inteligensia muslim pada fase ini.

Pada fase ini, wacana kemerdekaan Indonesia sudah mulai muncul, dan kaum inteligensia muslim sudah mulai merumuskan apa yang disebut sebagai nasionalisme Islam, dan negara Islam. Ini adalah periode di mana konsepsi mengenai nasionalisme dan negara Indonesia diperbincangkan di kalangan kelompok-kelompok inteligensia yang saling bersaing dan pada saat inteligensia berpendidikan tinggi (universitas) mulai memainkan peran utama dalam kepemimpinan bangsa. Pembahasan dalam bab ini akan menunjukkan bahwa sepanjang periode ini konsepsi ‘Muslim inteligensia’ mulai terkonsolidasi dengan terbentuknya tradisi-tradisi politik dan intelektual Muslim.

Generasi ketiga diwarnai dengan lahirnya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta pada 1946 yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia. Ini adalah pusat pengkaderan awal bagi para pemimpin muslim masa depan, yang kemudian melahirkan Lafran Pane. Ia adalah pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di tahun 1947. Ini adalah organisasi mahasiswa Islam satu-satunya saat itu, sementara di tingkat pelajar juga muncul PII (Pelajar Islam Indonesia). STI juga melahirkan Anwar Harjono, M. Jusdi Ghazali, dan juga Mukti Ali yang kelak berperan penting dalam pembentukan komunitas-komunitas epistemik dan jaringan intelektual Islam yang baru sebagai kendaraan baru bagi cita-cita Islam. Tokoh lain yang masuk era ini adalah Deliar Noer, Zakiyah Darajat, Dahlan Ranuwiharjo, dan Harun Nasution.

Baca Juga  Siapakah “Anak Jalanan” dalam Q.S. al-Tawbah [9]: 60?

Era ini diwarnai dengan diskursus intelektual dan terhadap pembentukan sistem politik Indonesia pada tahun-tahun awal Republik Indonesia pasca-kolonial. Selain tema revolusi kemerdekaan, isu “demokrasi” menjadi sebuah diskursus dominan dalam ruang publik.
Generasi keempat inteligensia muslim (1945-1960an) diwarnai dua kecenderungan gerakan keislaman.

Pertama adalah pembaruan Islam yang diperlopori oleh Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi. Ada juga Gus Dur yang mengembangkan gagasan pribumisasi Islam.

Kedua adalah gerakan dakwah ala Masjid Saman ITB yang dipelopori oleh Imaduddin Abdurrahim. Gerakan dakwah ini juga menjadi embrio yang kemudian melahirkan banyak gerakan dakwah pada generasi berikutnya. Generasi keempat ini juga ditandai oleh wacana umum tentang bagaimana mempertemukan Islam dengan modernisasi dan pembangunan.

Generasi kelima (awal Orde Baru-1980an) diwakili oleh angkatan Azyumardi Azra, Fahry Ali, Masdar F. Mas’udi, Komaruddin Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, dan lain-lain. Sementara, dari sayap aktivis dakwah ada Hidayat Nurwahid dan Nurmahmudi Ismail. Ada pula Hatta Radjasa, representasi Salman ITB. Bersama beberapa generasi sebelumnya, Sebagian dari generasi kelima ini di kemudian hari melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Sepanjang periode ini, pertarungan dari beragam tradisi intelektual diterjemahkan ke dalam pertarungan dari beragam partai politik dalam perjuangan untuk merebut kepemimpinan negara. Di era ini, Yudi juga mencatat ‘kegagalan’ dari inteligensia sipil untuk menjalankan demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, dan juga kesulitan-kesulitan yang muncul dari eksperimen-eksperimen demokrasi.

Generasi keenam (1990-2000-an) juga ditandai menguatnya dua kecenderungan Gerakan keagamaan. Di satu sisi, lahir Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang memunculkna Fahri Hamzah sebagai tokohnya. Popularitas KAMMI sebagai gerakan dakwah menenggelamkan kiprah organisasi Islam sebelumnya seperti HMI, PMII, dan IMM.

Baca Juga  Obituari Daniel Dhakidae: Pemberi Wacana yang Hidup

Di sisi lain, hadir kelompok-kelompok anak muda dalam lingkar NU dan Muhammadiyah yang mengusung tema gerakan pembaharuan Islam yang bercorak liberal. Motor penggerak dari intelegensia muslim ini adalah Ulil Abshar Abdalla, Hamid Basyaib, Saiful Mujani dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).

Di era generasi keenam ini, Yudi juga secara khusus membahas tentang ICMI; kontroversi seputar kelahirannya, manuver-manuver politiknya, perubahan-perubahan dalam struktur kesempatan politik yang memungkinkan pasang-surutnya ICMI, serta pada penciptaan modal kultural oleh inteligensia muslim.

Ada kesimpulan menarik setelah Yudi membentangkan sejarah inteligensia muslim sepanjang satu abad tersebut. Yakni, bahwa ada ketersambungan dan kebergantungan yang konstruktif dari generasi ke generasi kelompok inteligensia ini, sehingga tak ada yang disebut sebagai originalitas dalam ide-ide dari generasi tertentu.

Buku tebal ini adalah disertasi Yudi Latif di Fakultas Studi Asia dan Research School of Pacific and Asian Studies (RSPAS), Australian National University (ANU), Australia.
Versi digital dari buku ini diterbitkan di bawah Democracy Project pada tahun 2012. Buku edisi cetaknya dicetak oleh Mizan pada tahun 2006.

Anick Ht‎ Research, Policy, dan Advocacy Senior Officer di Wahid Foundation; Founder demokrasi.id