Apakah esoterisme Islam tercatat sebagai sejarah dominan? Apakah Islam yang romantis dan penuh cinta yang terangkum dalam pembelajaran keseharian kita tentag sejarah Islam di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah?
Apakah catatan sejarah yang kita baca sehari-hari berjalan sebagaimana faktanya? Adakah sejarah dipengaruhi oleh motif, kepemimpinan, dan arah politik? Apa yang terjadi jika sejarah yang mapan digugat kembali dengan menghadirkan fakta yang tak terekam, atau dengan cara lain memaknai dan membaca fakta?
Dunia pernah dihebohkan oleh sebuah studi berbasis teknologi modern, termasuk penggunaan GPS (Global Positioning System). Studi ini menemukan bahwa pada 100 tahun pertama Islam, kiblat masjid tidak mengarah ke Mekkah, namun ke Petra, Yordania. Tahun 2001, sebuah proyek dengan pendekatan ilmiah juga menyimpulkan: Yesus ternyata berkulit agak hitam, berambut lebih pendek, dan ikal keriting kecil. 10 Desember 2014, Washington Post menurunkan tulisan provokatif: Apakah Nabi Musa benar-benar ada dalam sejarah? Dan para arkeolog pun selama puluhan tahun melakukan penelitian sejarah Nabi Musa. Kesimpulan para arkeolog: Musa bukanlah figur sejarah.
Akankah penemuan ilmiah menghancurkan agama? Sejarah membuktikan, agama dan segala keyakinan di dalamnya bertahan sampai hari ini. Agama memiliki seribu nyawa. Ia tak bisa dibunuh oleh temuan ilmiah sehebat apapun.
Inilah yang dilakukan Farag Fouda (Faraj Faudah) dengan bukunya, al-Haqiqah al-Ghaibah. Pembacaan alternatif yang dilakukan Fouda mengantarkannya pada kematian pada 8 Juni 1992. Ia ditembak dua orang bertopeng yang belakangan teridentifikasi dari Jamaah Islamiyah, di depan kantornya di Madinat al-Nasr. Dalam persidangan kemudian, dua orang tersebut membuat pernyataan yang tegas: “Al-Azhar menetapkan hukuman, kami hanya mengeksekusinya.” Penembakan itu memang terjadi beberapa hari setelah muncul fatwa dari otoritas Al-Azhar bahwa dengan bukunya, Fouda telah murtad karena menghujat Islam. Meski beberapa ulama mendukung tindakan eksekutor itu, pengadilan di Kairo menetapkan hukuman mati bagi mereka.
Apa yang dilakukan Fouda?
Melalui al-Haqiqah al-Ghaibah ini, Fouda memblejeti sisi kelam dari sejarah Islam sejak khulafaurrasyidin hingga zaman Umayyah dan Abbasiyah. Fouda mengkritik sejarah mapan keislaman yang tidak mengungkapkan fakta sejarah tentang Islam yang sangat kelam dan mengerikan. Ia melakukan penelitian mendalam dari kitab-kitab klasik yang sebenarnya disimpan para penyerangnya sendiri. Meski sebagian sumbernya dianggap minor, namun kebanyakan fakta bukanlah fakta baru. Ia bisa ditelusuri dari rujukan-rujukannya.
Ia mengajak kita membaca ulang tentang perjalanan empat khalifah yang penuh dengan intrik politik dan konflik berdarah-darah, sehingga 3 dari empat khalifah masyhur tersebut wafat terbunuh. Tentang era Umayyah dan Abbasiyah yang penuh dengan cerita kebengisan, darah, dan hedonisme. Dengan detail ia mengajak kita melihat sekelam apa fakta yang terjadi ketika Usman bin Affan dibunuh oleh orang Islam sendiri, lalu jenazahnya dibiarkan selama 2 malam, tak boleh pula disalati.
Ia mengingatkan kita tentang cara melihat fakta apa adanya. Bahwa ketika Islam dipolitisasi, maka justru merendahkan Islam secara substansial. Bahkan memalukan. Ia mengajak kita melihat fakta bahwa pendiri dinasti Abbasiyah yang kita banggakan sering disebut sebagai “Si Penjagal.”
Bagi Fouda, lebih baik terguncang oleh fakta daripada berbangga dengan kepalsuan. Lebih baik mengakui sejarah apa adanya dengan membangun pemaknaan dan pembelajaran positif, daripada menyembunyikan fakta sambil merayakan kegemilangan palsu.
Fouda kehilangan nyawa untuk itu. Tinggal kita yang perlu belajar lagi, betapa naifnya kita yang tidak bisa memisahkan sejarah politik kekuasaan, dengan pemaknaan substansial atas ajaran Islam.