Arum Puspita Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Merajut Kesetaraan Gender: Menghadapi Seksisme dan Diskriminasi

2 min read

Berbicara soal perempuan dan laki-laki selalu era kaitannya dengan gender. Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Istilah “gender” ini pertama kali dikemukakan oleh para ilmuwan sosial. Mereka bermaksud untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial).

Banyak orang mengartikan atau mencampurkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah sepanjang zaman. Perbedaan gender ini pun menjelaskan orang berpikir kembali tentang peran mereka yang sudah melekat, baik pada laki-laki maupun perempuan.

Masalah gender ini juga kerap kali dikaitkan dengan Islam, yang mana kita mengenal banyak feminis yang beragama Islam. Para feminis tersebut muncul bukan karena ingin memerangi Islam, melainkan memerangi orang-orang yang salah menafsirkan isi dari Al-Qur’an tentang perempuan dan orang-orang yang menggunakan dalil agama untuk menyudutkan posisi perempuan.

Salah satu dari para tokoh feminis Islam yaitu Nawal el-Saadawi. Ia muncul sebagai jawaban atas diskriminasi terhadap perempuan secara turun-temurun yang terjadi di tanah kelahirannya, yaitu Mesir. Perempuan di Mesir sering kali mengalami seksisme, baik disadari maupun tidak.

Apa itu seksisme? Menurut Britannica.com, seksisme adalah prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior atau lebih baik daripada jenis kelamin yang lain. Kendati seksisme dapat menjangkiti laki-laki dan perempuan, sering kali perempuan adalah korban seksisme di kehidupan bermasyarakat.

Misalnya, melalui anggapan di atas, bahwa laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin atau ketua, sementara perempuan tidak. Laki-laki harus bekerja memberi nafkah, sementara perempuan selayaknya mengorbankan kariernya demi keluarga. Anggapan lain terkait seksisme adalah ungkapan bahwa setinggi-tingginya perempuan sekolah tetap saja berkubang di dapur.

Baca Juga  Di Balik Gerakan Hijrah (Bag. 2): Muhajirin Millenial dan Potensi Kemandekan Peradaban Islam

Menurut Nurul Inayah dalam Persepsi Orang Tua Mengenai Gender: Pengaruhnya terhadap Komitmen Menyekolahkan Anak Perempuan (2006), hal ini menjadikan banyak orang tua memandang bahwa pendidikan tidak banyak berguna untuk anak perempuan kecuali menghabiskan uang saja.

Istilah seksisme mungkin terdengar baru di telinga kita, tetapi perbuatan atau implementasinya sering kita jumpai sehari-hari, sampai bahkan kita tidak sadar bahwa itu tergolong seksisme, dan lebih parahnya mungkin sebagian dari kita telah menormalisasikan seksisme tersebut. Contoh seksisme sendiri mulai dari hal kecil, yaitu perempuan harus bersikap lemah lembut, suaranya tidak boleh keras, dan semisalnya.

Perempuan juga sering dianggap sebagai makhluk kelas dua, perempuan tidak boleh terlalu pintar karena nanti susah mendapat jodoh, harus menikah di usia tertentu, dan jika tidak sesuai aturan umum yang berlaku di masyarakat, meskipun si perempuan belum ingin menikah.

Dalam aspek rumah tangga di Mesir, perempuan atau istri juga dianggap sebagai pelayan dari laki-laki atau suami. Perempuan Mesir kerap kali mendapat kekerasan seksual bahkan oleh suaminya sendiri.

Nahasnya lagi, mereka tidak bisa menyuarakan hal itu dikarenakan adanya kungkungan adat budaya yang menjunjung tinggi perintah agama bahwa laki-lakilah pemimpin rumah tangga dan sebagaimana yang dipimpin harus taat dan patuh pada sang pemimpin—itulah yang harus dilakukan oleh perempuan atau para istri di Mesir.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa di Indonesia masih banyak hambatan dalam pendekatan kesetaraan gender. Kenapa? Karena adanya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, perlindungan hukum yang dirasakan masih kurang, dan adanya budaya (adat istiadat) yang bias akan gender.

Contoh ketidakadilan gender atau diskriminasi gender adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai akibat dari adanya sistem struktur sosial di mana salah satu jenis (laki-laki atau perempuan) menjadi korban.

Baca Juga  Bertindak dan Menunggu: Merengkuh Kesabaran di Era Ketidaksabaran

Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi manusia, hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup. Tidak hanya diperuntukkan bagi para laki-laki, pada hakikatnya perempuan pun mempunyai hak yang sama.

Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus dibebani konsep gender.

Namun, sampai saat ini perempuan sering dianggap sebagai sosok pelengkap. Ketidakadilan gender ini sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat, bahkan dalam dunia pekerjaan pun terjadi diskriminasi atau ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk.

Sebagai sesama manusia, kita harus lebih peka terhadap masalah ketimpangan gender ini karena di negara kita sendiri isu ini masih sangat marak.  Sudah saatnya kita berbenah mulai dari diri sendiri untuk tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan diskriminasi terhadap suatu gender serta mencegah apabila pelaku tersebut adalah orang-orang di sekitar kita. [AR]

Arum Puspita Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya