Fathor Rahman Jm Direktur Ma’had Al-Jami’ah dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember

Di Balik Gerakan Hijrah (Bag. 2): Muhajirin Millenial dan Potensi Kemandekan Peradaban Islam

1 min read

Selain sisi-sisi yang bersifat artifisial, terdapat aspek-aspek substantif misi gerakan hijrah milenial. Ini bisa dilihat dari konten-konten yang selalu ditampilkan dalam akun-akun dan fanspage hijrah di media-media sosial. Mereka selalu memproduksi konten yang berisi pembinaan mental dan kesalehan personal, seperti berbaik sangka kepada Allah, motivasi untuk istikamah di garis hijrah, motivasi dan bimbingan ibadah ritual praktis, dan seruan memilih jalan islami dalam pergaulan terutama percintaan.

Substansi itu berbeda dengan spirit hijrah fisik yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Di Madinah Nabi membangun sendi-sendi peradaban muslim yang progresif seperti merancang sistem politik dan sosial yang demokratis dan egaliter, model keberagamaan Islam yang toleran, sistem penghargaan dan penghormatan kepada warga negara yang plural, bahkan yang berbeda agama dan keyakinan, penjaminan hak-hak minoritas, dan pengupayaan sistem sosial yang mendorong keadilan sosial.

Alih-alih progresif, kaum “muhajirin milenial” ini justru terjerembab dalam pemikiran dan keberislaman yang konservatif. Bahkan dalam tingkat tertentu sebagian dari mereka ada yang terjatuh dalam tafsir dangkal dan terburu-buru terhadap teks-teks keagamaan. Akibatnya, sesat dan menyesatkan, sebagaimana yang sempat heboh di dunia maya lantaran seorang ustaz dari kalangan muslim ini menyatakan Nabi Muhammad dulunya pernah sesat.

Kondisi ini terjadi karena alasan. Pertama, mereka adalah kaum milenial yang hidup dalam “air bah” informasi yang bisa didapat dari kanal-kanal berbasis online. Mereka banyak mendapatkan informasi soal keislaman secara instan dengan bantuan Google, Youtube, WA Grup, Facebook, Instagram, dan seterusnya yang disampaikan dalam bentuk teks, gambar atau meme, audio, dan video singkat (sekitar 30 detik sampai 5 menit), sepotong-sepotong, dan tidak komprehensif.

Kedua, mereka menerima informasi tersebut kebanyakan tanpa reserve. Ini dapat dimengerti karena mayoritas mereka adalah kalangan muda urban yang tidak memiliki fondasi ilmu keislaman sebelumnya. Sehingga, mereka menjadi konsumen informasi yang pasif dan menerima begitu saja semua informasi yang disampaikan mentor-mentor mereka yang kebanyakan dari kalangan konservatif.

Baca Juga  Jangan Selalu Merasa Berdosa

Meskipun ada beberapa ustaz yang tidak konservatif, namun konten ceramahnya yang ditampilkan di sana tetap terbatas pada persoalan pembangunan kesalehan personal, pergaulan yang islami, dan masalah ibadah ritual praktis saja.

Sebagai akibat dari dua tren itu, keberislaman mereka cenderung emosional, kajiannya praktis dan tidak metodologis. Dalam kondisi demikian, mereka terasing dari isu-isu keislaman yang progresif dan kontekstual di Indonesia–seperti multikulturalisme, pluralisme, hubungan agama-negara, toleransi, moderasi Islam, reaktualisasi pemikiran Islam, Islam dan demokrasi, dan lainnya–yang bisa memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapi warga negara saat ini.

Lantas, apakah dengan begitu mereka kedap dari pengaruh propaganda ideologi atau mobilisasi kekuatan politik tertentu?

Tentu jawabannya adalah, “Tidak.” Karena, Justru karena karakter keberagamaan mereka yang cenderung praktis dan emosional itu, mereka akan lebih mudah terhasut dan terpengaruh propaganda ideologi atau politik tertentu yang menggunakan sentimen keagamaan sebagaimana yang marak di tanah air hingga saat ini.

Untuk itu, lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh Islam yang terkualifikasi dan otoritatif (mu’tabar) harus bisa menjangkau kaum muhajirin milenial itu. Caranya, materi kajian keislaman yang komprehensif, metodologis, substantif, toleran, dan progresif harus didigitalisasi.

Kemudian, semua itu ditransmisikan dalam kanal-kanal online yang memungkinkan dan mudah diakses oleh muhajirin milenial. Tentu ini pun tidak mudah karena harus berjibaku dengan kecenderungan budaya instan dan konten-konten keislaman picisan yang berserakan dan sangat mudah didapatkan di internet. Wallahu a’lam. (AA)

Fathor Rahman Jm Direktur Ma’had Al-Jami’ah dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *