Baru-baru ini dunia pendidikan kita dihebohkan oleh kasus plagiasi yang dilakukan oleh Imam Taufiq, Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Kabarnya, ia melakukan plagiasi terhadap tesis Muh Arif. Royyani yang berjudul Memadukan Konsep Hilal Dalam Tafsir Alquran dalam tulisannya yang berjudul Konsep Hilal Dalam Alquran dan Astronomi Modern. Plagiasi itu dibuktikan pada kesamaan abstrak, dua paragraf yang identik dan beberapa kata yang berbeda namun mengandung arti yang sama.
Karena itu, ia tidak bisa dilantik lagi menjadi rektor pada Juni 2023 dan digantikan oleh Nizar Ali, Sekjend Kemenag RI. Pencopotan ini berdasar pada regulasi etika akademik bahwa seseorang yang melakukan plagiasi demi kepentingan naik pangkat akan diberhentikan oleh Kementrian Agama.
Melalui kasus ini, ada pertanyaan yang menggelitik dalam kepala saya: rektor saja bisa melakukan plagiasi, apalagi mahasiswa? Dari pertanyaan ini saya memaksudkan bahwa siapapun bisa melakukan plagiasi tanpa memandang tingkat pendidikan. Selagi tak memiliki kebiasaan menulis akademik yang baik, seseorang yang menyabet gelar pendidikan yang seabrek dapat melakukan plagiat.
Saya pun cukup yakin bahwa kasus Imam Taufiq itu bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Masih banyak kasus semacam itu dalam dunia pendidikan kita namun tak pernah terseret ke publik. Sehingga, pelakunya tetap dengan nyantai melakukan plagiasi tanpa ada rasa bersalah.
Bagi saya, problem mengenai plagiasi dapat ditarik lebih dalam ke problem pendidikan kita. Umumnya, sejak SD hingga SMA, tugas atau ujian yang diberikan kepada siswa hampir tak ada hubungannya dengan aktivitas menulis per se. Dengan lain kata, guru memberikan tugas berupa pilihan ganda atau tes uraian.
Yang terakhir itu terkadang memang disebut dengan esai. Namun, soal yang diberikan tak pernah mendorong siswa untuk menulis sesuatu berdasarkan kaidah kepenulisan esai. Semisal, pertanyaannya adalah “Sebutkan lima sila Pancasila!”, “Siapakah presiden Indonesia yang keempat?” dsb
Akhirnya, menulis menjadi aktivitas yang asing bagi siswa di Indonesia. Ketika masuk kuliah dan disuruh untuk menulis makalah, esai, atau artikel, mereka menjadi bingung. Mereka tak tahu harus menuangkan apa dalam tulisan mereka. Karena itu, pilihannya ada dua: belajar untuk membiasakan diri menulis atau menyerah dengan memencet tombol CTRL + C dengan CTRL + V ketika membuat tulisan. Jika memilih dan membiasakan yang terakhir, maka otomatis aktivitas plagiasi terbiasa dilakukan tanpa ada rasa bersalah atau bahkan berdosa.
Maka, langkah yang perlu dilakukan ialah memberikan kesadaran kepada siswa akan pentingnya menulis. Dalam arti ini, siswa mesti diajarkan bahwa aktivitas literasi tak hanya berhenti pada membaca, melainkan juga menulis. Orang perlu menulis agar pengetahuan yang telah ia peroleh dan ramu dalam aktivitas membaca dapat diketahui oleh banyak orang. Seperti kata Pramoeya Ananta Toer: “Dengan membaca kita mengenal dunia, dengan menulis kita dikenal dunia”.
Penyadaran itu mesti ditambah dengan mendorong siswa untuk membiasakan diri menulis. Dengan lain kata, siswa perlu diberikan tugas untuk menulis opini, esai, cerpen dsb di hampir semua pelajaran. Lama-kelamaan mereka akan terbiasa dengan menulis dan akhirnya terhindar dari tindakan plagiat.
Selain itu, kita juga perlu menyorot problem zaman kita sekarang yakni, era digitalisasi. Saya kira banyak orang sudah tahu bahwa era ini ditandai dengan mudahnya akses atas beragam informasi atau pengetahuan. Apalagi kita sekarang mengenal Artificial Inttelegence (AI). Orang hanya perlu bertanya tentang apa yang sedang dipikirkan dan kemudian mesin super canggih itu dengan gesit akan memberikan jawaban dengan tepat.
Orang tak perlu lagi memilih dan memilah informasi sebagaimana pada Google. Bahkan, model AI semacam Perplexity tak hanya memuat informasi, melainkan juga menunjukkan rujukan referensi literatur. Akhirnya, orang tak perlu lagi membaca berbagai literatur untuk memperoleh informasi yang diinginkan.
Kendati demikian, AI sebenarnya meninggalkan jejak buruk. Bukan saja bahwa orang menjadi malas untuk membaca, melainkan juga memicu potensi untuk membiasakan diri mencomot seluruh informasi yang disodorkan oleh AI ke dalam karya yang dibuat. Ini mengingat informasi yang ada di AI tak bisa terdeteksi oleh aplikasi pengecek plagiarisme.
Sehingga, ketergantungan pada AI membuat orang merasa tak perlu lagi untuk sekedar memparafrase suatu tulisan. “Selagi bahwa yang mudah bisa dilakukan, mengapa yang sulit dilakukan?”, begitulah agaknya yang dipikirkan. Namun, kebiasaan mencomot itu berpotensi membuat orang langsung saja mencomot ketika mencari informasi lain di luar AI.
Maka, langkah yang perlu dilakukan adalah sosialiasi penggunaan AI secara bijak. Tak serta merta bahwa AI mesti dilarang untuk digunakan. AI berguna mencari informasi yang sulit ditemukan atau ide baru dan bahkan bisa dijadikam kawan diskusi.
Namun, patut diingat bahwa secanggih apapun AI tetaplah teknologi yang memiliki kekurangan. Informasi yang disajikan oleh AI cenderung bersifat general, sehingga perlu membaca berbagai literatur untuk memperoleh informasi yang jauh lebih spesifik dan mendalam. AI juga menggunakan bahasa yang cenderung kaku dan tak manusiawi. Sehingga, orang perlu untuk memakai bahasa sendiri agar tulisannya cair dan memiliki rasa.
Dengan demikian, hal yang dibutuhkan untuk menuntaskan problem plagiarisme adalah langkah praktis sebagaimana dijelaskan di atas. Seruan moralis belaka seperti “Melakukan plagiat itu tindakan kriminal karena sama saja dengan mencuri” tak akan pernah cukup. Sebab, itu tak jauh beda dengan mencari umbut di batu.