
Dalam rentang waktu antara tahun 1990-an hingga 2000-an, metode dakwah yang dilakukan para kiai di Indonesia ialah melalui mimbar ke mimbar. Seorang juru dakwah atau biasa disebut kiai pada saat itu identik dengan memakai atribut dakwah seperti peci hitam, jas atau almamater, sarung dan juga sorban. Karakter tersebut nampaknya melekat pada sosok juru dakwah fenomenal, yakni K.H. Zainuddin MZ.
KH Zainuddin MZ atau biasa disebut “Dai berjuta umat” merupakan referensi dakwah ideal bagi para calon juru dakwah di masa itu, bahkan beliau menjadi guru yang tak hentinya untuk digugu dan ditiru. Mulai dari gaya busana, mimik, intonasi bicara, isi ceramah, hingga rupa fisiknya pun tak lepas untuk di ikuti. Hal tersebut dikarenakan ceramahnya sering dihadiripuluhan ribu ummat Islam, maka tak salah apabila pers menjulukinya ‘Dai berjuta Umat’
Perkembangan teknologi informasi telah memungkin setiap orang untuk menjadi juru dakwah melalui media sosial ataupun media cetak, termasuk buku. Sebab pada dasarnya dakwah adalah “menyampaikan”. Sehingga di era sekarang ini, dakwah Islam sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Jika dulu seorang kiai berdakwah memerlukan mimbar di masjid atau musala, tidak dengan hari ini.
Emha Ainun Nadjib atau biasa disapa Caknun menjadi satu dari sekian banyak juru dakwah yang sukses berdakwah melalui literasi. Dengan ciri khasnya yang memiliki kultur kaum pinggiran; busana sederhana, logat daerah yang kental, dan jauh dari hingar-bingar yang terkesan formal. Ia mampu menarik ribuan umat muslim untuk datang kepengajiannya (Maiyah).
Mengenal Lebih Dekat Sosok Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib—atau yang familiar dipanggil Caknun—lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Ia pernah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor dan melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain seorang juru dakwah, beliau juga merupakan seorang cendekiawan-cum-budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh kata-kata menjadi sebuah esai atau puisi.
Tulisan-tulisan Caknun, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi berbagai media cetak terkemuka. Sebagai seorang budayawan, beliu juga mencintai kesenian. Hal tersebut dibuktikan dengan keaktifannya pada 1980-an mengikuti kesenian internasional.
Kesenian internasional, semisal Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyaor Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat, menjadi panggung dakwah Caknun untuk menyampaikan beragam kebudayaan yang ada di Indonesia.
Dakwah Dalam Bentuk Literasi
Dalam banyak karya-karyanya, Caknun selalu menyisipkan pesan moral dan agama pada setiap esai ataupun sajak yang ia buat. Di antaranya “M” Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), 99 untuk Tuhanku (1983), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991).
Adapun dakwahnya melalui media cetak atau buku, diantaranya Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015). Dalam buku tersebut Emha Ainun Nadjib, menguliti dalam perkara kemusliman “birokrasi”. Ketaatan yang penuh rasa “takut kepada atasan”, bukan kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan.
Hal-hal diatas kemudian berputar pada surga dan neraka, halal dan haram, pahala dan dosa. Detail-detail ritual tentang ibadah yang malah memicu perbedaan pendapat antar-umat. Semua itu menjadi kegelisahan yang coba Caknun aktualisasikan melalui buku dengan bahasa yang santai, tapi memiliki filosofi di dalamnya.
Karya lainnya berjudul Sedang Tuhan pun Cemburu. Dalam buku tersebut Caknun merefleksikan betapa panjang pertanyaannya atas hidup. Ia tak hanya melihat pola interaksi antara manusia dengan Tuhan yang semakin mengabur, tetapi juga semakin tersingkirnya manusia dari strata-strata sosial yang merasa bentuk sendiri.
Bahkan di tengah wabah Covid-19 ini, Emha Ainun Nadjib menulis sebuah buku yang berjudul Lockdown 309 Tahun. Dalam buku tersebut Caknun mengutip firman Allah Anā inda dhanni ‘abdī bī yang artinya “Aku (Tuhan) bersemayam di dalam prasangka hamba-Ku atas-Ku”.
Kutipan itu Caknun maksudkan bahwa kalau engkau pergi ke keramaian manusia memakai masker karena berprasangka akan bertemu dengan orang yang engkau takut ditulari penyakit olehnya, maka Allah membuka kemungkinan bahwa terdapat orang dari kerumunan itu yang berpenyakit.
Tapi kalau engkau memakai masker dengan kerendahan hati dan takut orang lain yang berkerumun tertulari penyakit yang kau bawa, maka Allah menghormati tawadukmu dan sikap “rumangsamu” dengan membebaskan kalian semua dari penyakit yang kalian takutkan.
Dari sosok Emha Ainun Nadjib alias Caknun, dapat dipetik sebuah hikmah bahwa sesungguhnya pada hari ini semua orang (dari mulai pelajar hingga mahasiswa dan dosen) dapat berprestasi dalam literasi dawah. Sebab pada hakikatnya dakwah adalah “menyampaikan” suatu kebaikan yang diajarkan oleh agama, walau hanya satu ayat. [MZ]
Mahasiswa Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta