Haji merupakan ibadah yang sangat komprehensif. Keutuhan ibadah haji ini bisa dirunut dari awal hingga akhir. Sejak perintah awal, pelaksanaan, hingga tujuannya, semuanya menunjukkan satu gagasan tunggal dan komprehensif, yaitu mengantarkan umat manusia mencapai kebahagiaan abadi dunia dan akhirat.
Pada dasarnya, Allah menurunkan syariat melalui para rasul-Nya adalah untuk kebaikan umat manusia, bukan untuk keagungan Allah itu sendiri. Oleh karena itu, prinsip utama dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepada manusia adalah “Tidak memberi beban di luar kemampuan”. Di atas prinsip utama ini, pemberlakuan syariat Islam kepada umat Islam dilandasi dengan azas kemudahan, menyedikitkan beban, berangsung-angsur, dan berpandangan positif terhadap manusia.
Agar seluruh kewajiban syar’i ini berdiri kokoh, ia harus dibangun di atas landasan keimanan dan ketauhidan. Iman memiliki kualitas yang ideal jika mencakup tiga unsur: pembenaran di lubuk hati (tashdiq bi al-qalb), dikuatkan dengan pernyataan lisan (qawl bi al-lisan), dan dibuktikan dengan amal perbuatan (amal bi al-arkan).
Terikatnya ketiga unsur iman ini ke dalam satu kesatuan disebut dengan aqidah. Jadi, aqidah adalah keterangkaian unsur-unsur keimanan itu ke dalam satu kesatuan yang utuh. Pengesaan kepada Allah yang menghunjam ke dalam hati seorang hamba, dinyatakan dalam lafal syahadat, dan dilaksanakan dalam bentuk ketaatan menjalankan syariat, merupakan tauhid yang sesungguhnya.
Jika kita bedah, rangkaian sejarah kenabian hingga perintah haji yang merupakan rukun Islam kelima sesungguhnya mencerminkan ini semua. Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul pada tahun ke-41 kenabian. Di tahap awal, hidayah Allah ditancapkan ke dalam jiwa Nabi. Sebelum menerima wahyu, Nabi mimpi melihat cahaya putih di kejauhan. Cahaya itu kemudian semakin mendekat ke dirinya dan akhirnya masuk ke dalam dirinya dan menyatu dengan jiwanya.
Inilah hidayah Allah yang ditanamkan ke dalam jiwa Nabi. Inilah tahap tashdiq bi al-qalb. Hidayah ini kemudian mendorong Nabi untuk bermunajat dan bertahannus di Gua Hira’. Nabi menarik diri dari rutinitas kehidupan masyarakat, kemudian menyendiri untuk melakukan perenungan atas realitas yang ada, sambil mendekatkan diri kepada Allah. Di gua Hira’ inilah Rasulullah pertama kali menerima wahyu pertamanya, surah al-Alaq ayat 1-5.
Muhammd Izzah Darwazah dalam kitab Al-Tafsir al-Hadits menyusun surat-surat dalam al-Quran berdasarkan urutan turunnya wahyu. Wahyu pertama, al-Alaq, kemudian dilanjutkan dengan al-Qalam, al-Muzzammil, al-Muddatstsir, al-Fatihah, dst. Pesan utama lima surat tersebut terentang dari tauhid Rabbaniyah (ismi rabbika) yang berada di awal surat al-‘Alaq hingga tauhid uluhiyah (bismillah) di awal surat al-Fatihah.
Saat menerima wahyu pertama, Nabi Muhammad mendapat perintah membaca (iqra’), tanpa menyebut objek tertentu. Ini menunjukkan bahwa objek bacaan umum, tidak spesifik, dan luas. Berbekal ilmu yang Allah ajarkan padanya, Nabi Muhammad bisa mengerti tentang sesuatu yang sebelumnya memang sama sekali tidak diketahuinya (al-ibda’ bi ghairi ashl-penciptaan tanpa ada asalnya). Nabi Muhammad juga mengerti tentang penciptaan dari sesuatu yang telah ada sebelumnya (al-ijad min al-shai’-penciptaan dari sesuatu yang telah ada).
Allah mengajari Nabi berbagai pengetahuan yang masuk kategori al-Ibda’ bighairi ashl ini bisa dilihat pada ayat yang berbunyi “allama al- insana ma lam ya’lam” (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui sebelumnya). Atau, surat al-Syura: 51, “ma kunta tadri ma al-kitab wala al-iman” (Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah kitab al-Quran dan apakah iman itu).
Bukti Allah mengajari pengetahuan yang masuk kategori al-ijad min al-syai’ bisa dilihat dalam ayat “khalaq al-insan min ‘alaq” (Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah). Atau, dalam surat al-Mu’minun:12, “wa laqad khalaqna al-insan min sulalatin min thin” (Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah).
Pesan utama yang diajarkan Nabi Muhammad selama di Mekkah dan Madinah dalam kurun waktu kurang labih dua puluh dua tahun sesungguhnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama, misi utama selama tiga belas tahun di Mekkah adalah meletakkan dasar-dasar tauhid dan pelaksanaan salat.
Kedua, saat hijrah ke Madinah, di tahun keduanya, Nabi Muhammad mendapat perintah berzakat dan berpuasa. Ketiga, di tahun keenam hijriyah, Nabi Muhamad mendapat perintah berhaji, di mana pelaksanaan ibadah haji baru terrealisasi pada tahun kesepuluh, menjelang beliau wafat.
Jika perintah-perintah sebelumnya terbagi antara perintah Makkiyah dan perintah Madaniyah, khusus untuk haji, pensyariatannya menjangkau kedua wilayah di mana Nabi menghabiskan hidupnya. Perintah haji dimulai dari Madinah dan diakhiri di Mekkah.
Jika kita renungkan, kronologi pensyariatan dalam Islam tampak sangat indah dan luar biasa. Perintah pertama yang dititahkan Allah adalah membaca dan menulis sebagaimana yang ada dalam surat al-`Alaq dan al-Qalam. Kemampuan membaca dan menulis adalah bekal utama dan pertama bagi manusia dalam memahami hakekat penciptaan manusia dan makhluk lainnya.
Selanjutnya: Haji sebagai Ibadah… (2)