Aswadi Syuhadak Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Haji sebagai Ibadah Komprehensif (2)

2 min read

Sebelumnya: Haji sebagai Ibadah… (1)

Bekal selanjutnya adalah penguatan spiritual dengan memusatkan perhatian pada shalat malam (qum al-laila). Penguatan spiritualitas melalui shalat ini disempurnakan dengan membaca al-Quran (aw zid `alaihi wa rattil al-Quran tartila).

Mengapa harus demikian? Saat menyampaikan misi pertama terkait dengan ketauhidan, Rasulullah mendapatkan tekanan-tekanan psikologis yang sangat berat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad dipanggil oleh Allah dengan ungkapan ya ayyuha al-muzzammil (Wahai orang yang berselimut). Boleh jadi kondisi yang dialami oleh Rasulullah saat itu adalah memang berselimut secara fisik, namun ini juga menunjukkan kondisi psikis Nabi. Penolakan dan tekananan masyarakat Mekkah yang sangat kuat terhadap dakwah yang dikembangkannya, membuatnya mengalami situasi psikologis yang membutuhkan motivasi untuk terus-menerus dibangkitkan.

Penolakan dan tekanan masyarakat Makkah terhadap dakwah Nabi Muhammad semakin menyebar. Ajaran beliau dipandang sebagai ancaman terhadap tradisi paganistik yang sudah berurat berakar. Proses turunnya wahyu al-Quran terus menyertai baginda Rasul sebagai bentuk ajaran yang dapat menyelamatkan tujuan hidup manusia secara tepat dan benar.

Tekanan sosial itu juga membuat Rasulullah dipanggil “ya ayyuha al-muddatstsir qum fa andzir” (Wahai orang yang berselimut, bagunlah, lalu berilah peringatan). Istilah “selimut” di sini lebih berkonotasi pada tekanan sosial kemasyarakatan yang lebih kompleks dan massif. Karena itu, langkah strategis berdasarkan wahyu yang Allah ajarkan pada Nabi Muhammad adalah dakwah pemberdayaan keluarga terdekat, “wa andzir ashirataka al-aqrabin” (Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat)  (QS al-Syuara’: 214).

Baru setelah itu kepada masyarakat secara terbuka, “fasda’ bima tu’mar wa a’ridl `an al-musyrikin” (Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik) (QS. al-Hijr:94).

Baca Juga  [Cerpen] Ada yang Tak Ternilai Harganya

Arah dan kesempurnaan ajaran Islam semakin terlihat dalam surat al-Fatihah yang turun secara utuh. Surat ini juga dikenal dengan sebutan al-Sab’ al-Matsani atau Tujuh ayat yang diulang-ulang. Al-Zarkasyi dalam karyanya Al-Burhan fi `Ulum al-Quran, membagi tiga bagian penting isi kandungan al-Fatihah. Pertama, terkait dengan aqidah (ayat 1- 4); kedua, terkait dengan al-ahkam atau hukum (ayat ke 5); dan ketiga, terkait dengan al-tadhkirah atau dakwah (ayat 6-7).

Sejalan dengan pembagian tersebut, al-Razi dalam Tafsirnya Mafatih al-Ghaib menjelaskan tiga bagian utama isi kandungan al-Fatihah, yaitu al-Ushul (pokok) pada ayat 1-4; al-Furu’ (cabang) pada ayat 5;  dan al-Mukasyafat (keterbukaan) ayat 1-7).

Pembagian tiga aspek penting tersebut dapat dipahami sebagai berikut. Pertama, ayat 1 sampai 4 bisa dipahami sebagai nilai dasar tentang tauhid uluhiyyah atau teologis dan rabbaniyah atau kosep ketuhanan yang bersifat ilmiah terintegrasi dalam diri manusia sejak awal hingga hari kebangkitan.

Kedua, nilai dasar tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah(iyyaka na’bud)  terintegrasi dengan ikhtiar (iyyaka nasta`in) dalam diri manusia. Ini ada pada ayat ke-5. Ketiga, ayat ke 6-7 menyandingkan petunjuk konseptual (hidayah) yang terintegrasi dengan petunjuk operasional (ni’mat) sebagaimana nikmat yang telah diberikan kepada para nabi, rasul dan orang-orang shalih.

Jika dicermati secara seksama, pembagian tersebut juga mengacu pada pembagian kelompok orang menjadi tiga: muhtadin (orang-orang yang telah mendapat petunjuk); muttaqin (orang-orang yang bertakwa); dan muflihin (orang-orang yang beruntung). Ketiga kelompok manusia ini diperlawankan dengan kelompok lain: maghdlubin (orang-orang yang dimurkai Allah) dan al-dlallin (orang-orang yang sesat).

Pelacakan secara kronologis mulai dari perintah baca tulis, penguatan spritual, hingga gerakan sosial, sebagaimana diisyaratkan pada surat al-Alaq, al-Qalam, al-Muzzammil dan al-Muddatstsir serta nilai-nilai dasar yang tertuang di dalam QS al-Fatihah, sesungguhnya terinternalisasi ke dalam proses ibadah haji. Dalam praktik ibadah haji inilah tertuang serangkaian ibadah yang melibatkan seperangkat bekal kesiapan mental spiritual, fisik material, dan etika sosial.

Baca Juga  Alif dan Mim (12): Rencana Perjodohan yang Membingungkan

Ibadah haji selain mewujudkan hal-hal yang diperintahkan juga menjernihkan segala tindakan dari berbagai larangan. Misalnya, seorang jamaah haji tidak boleh menggunakan wangi-wangian, menggunakan pakaian berjahit, dan menutup kepala bagi laki-laki. Sedangkan untuk perempuan selama berihram dilarang menutup muka dan menggunkan sarung tangan.  Boleh jadi larangan haji ini tidak hanya menyangkut larangan yang bersifat fisik material, namun terkait pula dengan larangan-larangan yang bersifat mental spiritual. Bekal haji dan seperangkat larangannya ini tertuang dalam surat al-Baqarah: 197.

Bermula dari aqidah dan ilmu pengetahuan yang terwujud dalam dua kalimat syahadat, ibadah dan ikhtiar yang terwujud dalam ibadah salat, zakat, dan puasa, hingga hidayah (petunjuk konseptual) dan nikmat (petunjuk oprasional), semuanya terbentang dalam prosesi ibadah haji, baik tamattu’, qiran, maupun ifrad. Pelaku haji tamattu`atau qiran dikenakan dam nusuk dengan menyembelih seekor kambing.

Sedangkan, pelaksanaan haji ifrad tidak dikenakan dam, namun pelakunya tetap menjaga ihram sejak dari miqat hingga tahallul tsani. Pembayaran dam nusuk ini terkait dengan pembiayaan dan keuangan, di mana ini menunjukkan kesiapan bekal material. Sedangkan, praktik haji  ifrad melibatkan seperangkat kesiapan mental untuk menjaga ihram mulai miqat hingga tahallul tsani.

Seluruh rangkaian ibadah haji yang perintahnya berawal di kota Madinah di tahun ke-6 hijriyah sampai pada pelaksanaan haji Wada’ di kota Mekkah di tahun ke-10 hijriyah menunjukkan bahwa haji sebagai rukun Islam yang ke lima adalah sebuah ibadah konprehensif. Dengan kata lain, ibadah haji merupakan akumulasi, representasi dan manifestasi dari keseluruhan aktifitas umat Islam, baik yang terkait dengan aqidah, ibadah, maupun mu’amalah dengan berbagai dimensi, ragam, dan bentuknya.[MMSM]

Aswadi Syuhadak Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya