Di dalam Mathnawi Jalaluddin Ar-Rumi, dikisahkan:
Ada seorang gembala. Dia tidak memiliki apapun kecuali hati yang dimabuk kepayang kepada Tuhan. Dengan segala keterbatasan bahasa yang dimilikinya, setiap hari dia mencurahkan cintanya kepada Tuhan yang menjadi kekasihnya.
Suatu hari, Nabi Musa a.s. berjalan melewati padang gembalaan sang gembala itu. Seperti hari-hari sebelumnya, si gembala itu berbicara seorang diri, yang dalam penglihatan orang lain, tampak seperti orang gila.
Inilah ungkapan-ungkapan si gembala itu:
“Wahai Tuhan, di mana Engkau, agar aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu?
“Wahai Tuhan, di mana Engkau, agar aku dapat mengabdi pada-Mu; mengilapkan sepatu-Mu; dan menyisir rambut-Mu ”
“Wahai Tuhan, di mana Engkau, agar aku dapat mencuci pakaian-Mu; membersihkan kutu-kutu-Mu; dan menyediakan susu untuk-Mu”
Mendengar ungkapan-ungkapan si gembala itu, Nabi Musa tersinggung dan marah. Bagaimana mungkin Tuhan digambarkan sedemikian hina. Dalam keyakinan Nabi Musa, Tuhan tidak perlu pelayanan dari manusia karena Dia Maha Kaya dan Perkasa. Tuhan tidak memerlukan pakaian, sepatu, dan susu karena Dialah pencipta seluruh alam semesta. Tuhan Maha Tinggi sehingga tak bisa digambarkan sedemikian rendah seakan Tuhan dipenuhi kutu.
Sebagai seorang Nabi yang diutus Tuhan untuk menyeru kepada kaumnya agar menyembah Allah dan mengajarinya hukum-hukum Allah yang tertuang di dalam wahyu-Nya, Nabi Musa sungguh merasa terhina. Kemarahannya meledak seketika karena hasrat ingin membela Allah.
Dengan penuh geregetan, Nabi Musa pun mendekati si gembala dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?” Dijawab, “Dengan Tuhan, Dia yang telah menciptakan kita; yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.”
Mendengar jawaban enteng dan tanpa rasa bersalah itu, Nabi Musa tambah murka.
Kepada si gembala itu, Nabi Musa menyemburka kata-katanya:
“Fitnah dan ngawurr! Tuhan yang luhur tidak menghendaki pelayanan seperti itu. Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu. Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu.”
Sekian tahun hari-harinya dihabiskan dalam kencan manis dengan Tuhan. Dengan cinta, dia mewarnai hari-harinya seindah pelangi. Dengan kerinduan, dia mengarungi detik demi detik hidupnya dalam kepayang kepada Tuhan. Dia sungguh bahagia tenggelan dalam cinta kepada Tuhan. Sedingin apapun malam-malam di padang, dia dipenuhi kehangatan karena merasakan pelukan Tuhan. Seterik apapun matahari siang, dia dipenuhi kesejukan karena tidak ada yang lebih membakar dirinya kecuali cinta kepada Tuhannya.
Tiba-tiba, taman bunga di hatinya dihancurkan dalam sekejap. Cintanya kepada Tuhan dianggap sebagai dosa dan kekafiran. Lalu, melelehlah air matanya. Kesedihan seperti awan hitam yang memayungi langit hatinya. Dia tidak bisa membayangkan, jika dia tidak boleh lagi bermesraan dengan Tuhan, dengan siapa lagi dia akan menambatkan hatinya?
Rasa di hatinya tak lagi bisa dilukiskan. Sedih, ketakutan, rasa bersalah, dan putus asa bercampur menjadi satu. Dengan pipi yang basah oleh air mata, dia mendengarkan kemarahan Nabi Musa yang terus diberondongkan kepada dirinya.
“Apakah Tuhan adalah seorang manusia sehingga Ia harus memakai sepatu? Apakah Tuhan seorang anak kecil yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha Sempurna. Tuhan tidak memerlukan siapa pun.
Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penista agama. Ayo, pergi dan segera istighfar kalau kau masih memiliki akal.”
Tangisnya semakin melolong. Bukan dia tidak mau beristighfar, tapi mengapa perasaan cintanya kepada Tuhan dipersalahkan. Mengapa jatuh cinta kepada sang pencipta dicap sebagai dosa. Tapi bagaimanapun juga, yang mencap dirinya sebagai pendosa adalah seorang Nabi yang tentu lebih mulia, lebih mengerti, dan lebih dekat kepada Allah dibanding dirinya.
Langit terasa runtuh. Hatinya hancur berkeping-berkeping. Tak kuasa menahan beban hatinya, dia robek-robek pakaian yang dikenakannya, dia lari masuk ke dalam hutan, sambil tangisnya menggema di seluruh penjuru padang gembalaan.
Sementara si gembala berlari ke hutan dengan hati yang koyak-moyak dihancurkan badai kesedihan, Nabi Musa dipenuhi perasaan bangga bahagia karena merasa telah membela keagungan Tuhan dari ocehan mulut rendah seorang gembala yang sesat jiwanya. Tapi, rupanya Allah tidak rela dengan perilaku Musa. Allah kemudian menegurnya dengan sangat keras:
“Mengapa engkau berdiri di antara Aku dengan kekasih-Ku? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai? Apakah kau diutus sebagai seorang nabi untuk menyatukan atau memisahkan? Aku telah mengutus engkau supaya engkau dapat mempersatukan kekasih dengan kekasih, bukan memisahkan ikatan di antaranya.
“Aku telah memberikan kepada tiap orang cara pemujaan yang khusus. Aku telah mengkaruniai pada tiap manusia bentuk pengungkapannya sendiri. Aku tidak menciptakan dunia supaya Aku memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Aku tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Aku tidak memerlukan ibadah atau pengabdian.
“Hai Musa, di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Aku tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau susunan kalimatnya. Yang Aku perhatikan adalah kedalaman hatinya. Aku mengetahui ketulusan hamba-Ku walaupun kata-katanya bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.
“Hai Musa, Orang yang jatuh cinta tidak terikat dengan agama karena cinta tidak memiliki apapun selain Kekasihnya. Mereka yang paham hukum-Ku adalah satu golongan, dan mereka yang jiwanya terbakar cinta pada-Ku adalah golongan yang lain.”
Sepenggal kisah di atas menggambarkan dua jenis beragama: formalistik dan substansial. Beragama secara formalistik adalah beragama yang “mati” di dalam simbol-simbol. Cara beragama seperti ini tidak memiliki kepekaan terhadap lautan rahmat Allah, bahwa Allah menyediakan berjuta jalan untuk mengabdi dan memuji-Nya.
Sementara beragama secara substansial adalah beragama yang tumbuh dari rasa cinta kepada Allah. Cinta melahirkan husnudzon (prasangka baik) dan ridha kepada Allah. Allah memiliki keluasan rahmat tanpa batas. Hubungan dengan Allah tidak dimotivasi oleh hitung-hitungan untung rugi seperti pedagang, tapi karena hati yang terbakar oleh cinta.
Sedemikian pentingnya cinta dalam “perjalanan” kepada Allah, dikisahkan suatu hari ada seorang pemuda yang datang kepada seorang mursyid (pembimbing tasawwuf) dan menyatakan ingin menempuh perjalanan tasawuf. Sang syekh bertanya, “Apakah engkau pernah jatuh cinta?” Dijawab si pemuda, “Belum.” Sang syekh kemudian berkata, “Pulanglah! Jatu cintalah dulu, setelah itu, baru datang kembali kepadaku!” Wallahu a’lam! (MMSM)