Indonesia masih memiliki tantang serius mengenai kerukunan umat beragama. Sepanjang tahun 2023, SETARA Institute melaporkan adanya 217 insiden dengan 329 bentuk pelanggaran kebebasan beragama, yang melibatkan 114 tindakan oleh aktor negara dan 215 oleh masyarakat umum. Di sisi lain, kasus penodaan agama menunjukkan tren naik, dari 10 kasus pada 2021 melonjak menjadi 19 kasus di 2022. Dari sini, kita melihat bahwa Indonesia berada dalam baying-bayang intoleransi.
Berdasarkan data Balitbang Diklat Kementerian Agama, IKUB 2024 mencatat skor 76,47, naik dari 76,02 pada 2023, dan 73,09 pada 2022. Peningkatan ini konsisten sejak 2018, ketika IKUB berada di angka 70,90, lalu meningkat menjadi 73,83 pada 2019. Tren ini sejalan dengan survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada Oktober 2024, di mana 86% responden mengapresiasi kinerja pemerintah dalam menjaga toleransi beragama, menyatakan kondisi toleransi keberagamaan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai baik dan tinggi
Namun, bayang-bayang intoleransi tetap menghantui, terutama di kalangan pelajar, di mana lebih dari 56% siswa sekolah menengah atas mendukung penerapan syariat Islam. Gambaran ini mencerminkan dua sisi realitas Indonesia: kemajuan dalam membangun harmoni, tetapi sekaligus ancaman perpecahan yang tak bisa diabaikan. Hal ini menjadi pengingat bahwa usaha kolektif untuk menjaga kebersamaan harus terus digelorakan, agar keragaman tetap menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.
Sejak di bangku sekolah, kita sudah mendengar tentang kisah masa lalu penuh toleransi. Pasar tradisional menjadi titik temu suku dan agama. Desa-desa di mana Muslim, Hindu, Kristen, dan Budha hidup berdampingan dengan damai. Tapi mengapa kisah ini kini terasa seperti dongeng? Apakah kita, pewaris semangat itu, atau sudah lelah menjaga nyala obor kebersamaan?
Meski tantangan ini nyata, harapan untuk Indonesia yang damai belum sepenuhnya padam. Harapan itu hidup di tempat-tempat sederhana: di pojok kampung, di sekolah kecil, dalam diskusi-diskusi hangat di ruang tamu. Di sana, niat tulus untuk saling memahami dan menghormati terus tumbuh, meski perlahan. Namun, upaya ini perlu didukung oleh sistem yang lebih besar untuk menjangkau lebih luas.
Pendidikan menjadi pilar utama dalam membangun fondasi toleransi. Bukan sekadar mengejar kecerdasan akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan sejak dini. Anak-anak yang belajar menghormati perbedaan sejak kecil akan tumbuh menjadi generasi yang lebih kuat dalam menjaga harmoni. Kurikulum pendidikan harus mampu menjembatani keberagaman, mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus dirawat.
Selain itu, dialog antaragama harus menjadi tradisi yang membumi, bukan hanya forum formal di kalangan tokoh agama. Dialog dibutuhkan untuk membuka ruang bagi semua, dari berbagai lapisan masyarakat, untuk bertanya, berbagi, dan memahami. Dalam dialog yang tulus, prasangka dapat mencair menjadi pengertian, dan perbedaan yang sebelumnya terasa tajam menjadi jembatan yang mempererat hubungan.
Selain itu, media menjadi senjaga paling strategis dalam membentuk opini publik. Di era digital, media bukan lagi sekadar penyampai informasi, tetapi juga pembentuk persepsi. Pesan damai harus lebih lantang dibandingkan berita konflik. Media harus menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan jurang yang memisahkan. Sebagai alat yang menjangkau massa, media dapat mengedukasi masyarakat untuk lebih menerima perbedaan dan memerangi narasi yang memecah belah.
Dan yang tak kalah penting lagi adalah tokoh agama dan tokoh masyarakat. Sebagai panutan, suara mereka sangat didengar oleh pengikutnya. Ketika mereka bersatu dalam menggaungkan pesan damai, masyarakat akan lebih mudah terinspirasi dan mengikuti jejak mereka. Kebersamaan para pemimpin ini menjadi simbol kuat bahwa kerukunan dapat dicapai melalui kolaborasi lintas keyakinan. Indonesia dibangun di atas mimpi besar: persatuan dalam keberagaman.
Dari Sumpah Pemuda hingga Proklamasi Kemerdekaan, mimpi itu menjadi api yang menerangi jalan bangsa ini menghadapi tantangan. Namun, mimpi tidak akan terwujud tanpa usaha bersama. Kerukunan beragama bukanlah sesuatu yang datang begitu saja; ia adalah hasil dari kerja keras, kesabaran, dan cinta yang terus-menerus dirawat.
Salah satu pengalaman menarik adalah ketika saya berdiri di tengah doa lintas agama di acara Duta Damai Yogyakarta, saya melihat secercah harapan. Seorang pendeta memeluk ulama. Pemuda Hindu tersenyum pada wanita berjilbab. Tidak ada kata yang diucapkan, tetapi keheningan itu bercerita banyak: kita bisa hidup rukun, jika kita mau.
Indonesia yang damai bukanlah mimpi yang mustahil. Ia adalah rumah tempat azan, lonceng, mantra, dan kidung bersatu menjadi simfoni yang indah. Sebuah tempat di mana anak-anak dapat bermain tanpa prasangka. Kini, harapan itu ada di tangan kita. Mari kita rawat, jaga, dan wujudkan bersama. Sebab, harmoni bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan bagi keberlangsungan bangsa ini.