Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Politik Identitas: Anak Muda dan Masa Depan Indonesia

2 min read

Menjelang Pemilu 2024 kita sering menyaksikan calon pemimpin ugal-ugal tampil ke permukaan. Dari mulai yang membawa bendera identitas tertentu sampai pada calon pemimpin dengan gaya merakyat. Inti dari semua itu adalah menyuntik hati rakyat. Tak lebih dan tidak kurang. Lebih tepatnya, suara rakyat bisa dibeli dalam waktu lima tahunan. Ironis bukan?

Pada umumnya politik identitas merujuk pada upaya pemahaman diri dan kelompok pada karakteristik tertentu, seperti agama, gender, etnis juga orientasi seksual. Isu tersebut akhir-akhir ini mampu menyorot perhatian penting dalam panggung politik global dan nasional. Hadirnya anak-anak muda justru menjadi warna lain. Cukup unik dan tentu menarik untuk dibaca keterlibatannya menjelang pemilu tahun 2024.

Sejauh ini, politik identitas dipahami sebagai fenomena yang menciptakan kohesi sosial di lingkungan karakteristik tertentu yang membedakan kelompok manusia. Hal ini merujuk pada kerja-kerja mempromosikan hak-hak dan kepentingan kelompok tertentu, di sisi lain justru membatasi hak-hak kelompok lain. Politik identitas selalu berkaitan dengan isu kebangsaan, agama, ras dan gender.

Cressida Heyes (2007) mengartikan politik identitas sebagai penanda aktivitas politis dalam pemahaman lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan pada kelompok tertentu. Menurut Agnes Heller politik identitas adalah sebuah gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan sebagai satu kategori politik utama.

Politik identitas seharusnya bisa dilebur menjadi politik kebangsaan, politik negara yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, egoisme kelompok, egoisme partikularistik karena politik kebangsaan, politik kenegaraan dan politik nasionalisme di atas pancasila sebagai ideologi negara. Proses ini setidaknya akan memberikan ruang berbeda dan memperjelas arah dan masa depan politik di Indonesia.

Solahuddin Wahid pernah menulis di Harian Kompas dengan judul “Keindonesiaan dan Ke-Islaman” (Kompas, 16 Mei 2017), bahwa sejauh ini konflik keindonesiaan dan keislaman marak pada Pilkada 2018. Tentu prediksi ini benar adanya. Kita menyaksikan langsung kontestasi Pilkada 2018 yang cukup menguras energi. Dan dilanjut dengan Pilpres 2019 dengan konflik yang sama. Di mana agama dijadikan sebagai identitas untuk menjatuhkan dan memukul lawan tanpa ampun. Ketika politik identitas dikemas dengan populisme Islam di tangan pemimpin, pejabat publik dan politisi, maka populisme tersebut akan menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa.

Baca Juga  Menerapkan Ketenangan Batin Perspektif al-Ghazali di tengah Gejolak Politik Pesta Demokrasi

Menariknya, anak muda atau generasi Z perlu hadir dalam panggung politik. Dalam hal ini tentu bukan semata-mata sebagai calon pemimpin, melainkan juga mengawal dan mengawasi para calon dari masa kampanye, pada saat pemilihan sampai pasca Pemilu. Artinya, anak-anak muda ini akan menjadi agent of change dan agent of control di tengah-tengah pertarungan politik, lebih-lebih ketika kontestasi Pemilu diseret ada ranah politik identitas.

Rio Chaniado Anggara menyebut bahwa anak muda atau generasi Z menganggap politik identitas bisa memicu perpecahan (RRINet, 18 Mei 2013), bahkan lebih jauh Khairul Abidin, Ketua Umum DPP Pergerakan Milenial Nusantara (Pernama), mengatakan masyarakat Indonesia, terutama anak muda, lebih membutuhkan politik berkualitas dibanding politik identitas (Radar Sampit Jawa Pos, 17 Januari 2023).

Anak muda seringkali sedang dalam tahapan pembentukan identitas mereka sendiri. Keterlibatan dalam politik identitas dapat mendorong mereka memahami diri mereka sendiri dan peran mereka di tengah masyarakat. Tak heran bila ada anak-anak justru apatis terhadap politik lima tahunan. Mereka memilih untuk golput. Padahal pemilih Pemilu tahun 2024 nanti anak-anak muda memiliki posisi dominan.

Hadirnya pemimpin yang membawa ide dan gagasan menjadi sesuatu yang agak langka. Sepertinya pertarungan gagasan masih belum dimulai, meskipun Pemilu sudah tinggal menghitung hari. Dari sinilah kita akan melihat gagasan tentang Indonesia kedepannya seolah-ola masih berada di rel politik identitas, absen pada ranah sosial ekonomi, pendidikan dan digitalisasi. Padahal jika mau jujur, anak muda yang saat ini berjibaku di dunia internet lebih memprioritaskan pemimpin yang tidak hanya manut kata ketua parpol, menyuguhkan isu-isu popularitas merakyat sampai yang jualan identitas agama dan etnis.

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta