Berbagai studi tentang pesantren menunjukkan, meski pelan pesantren senantiasa mengalami perubahan. Namun karena sangat pelan, ragam perubahan itu baru bisa dikenali melalui waktu yang panjang. Dalam ilmu sejarah hal demikian dikenal sebagai longe–durée, yaitu sejarah jangka panjang terkait dengan perubahan struktural yang lambat sekali. Di sini diperlukan ketelitian dan ketelatenan dalam mengikuti denyut-denyut kecil perubahan itu.
Perubahan dalam pesantren senantiasa dikaitkan dengan figur kiai. Dalam studinya Manfred Ziemek (1983),misalnya, membuktikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berpengaruh penting bagi perubahan sosial masyarakat desa. Demikian juga dengan Hiroko Horikoshi (1987) menyoroti peran kiai sebagai aktor penting dalam perubahan sosial. Menurutnya, kiai berperan penting sebagai penyaring informasi untuk memacu perubahan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Kiai juga bertindak sebagai mediator dan culturalbroker(makelar budaya).
Meski peneliti-peneliti tersebut berhasil membuktikan perubahan-perubahan di pesantren dan peran kiai dalam proses perubahan itu, namun perubahan itu tetap dalam konteks pengembangan peran pesantren. Aspek-aspek ideologis pesantren masih tetap dalam bingkai kulturalnya.
Namun, dalam waktu yang panjang perubahan dalam pesantren tidak selalu menuju ke arah yang dikehendaki. Ada perubahan-perubahan menuju ke arah yang mengkhawatirkan, yaitu metamorfosis sejumlah pesantren menjadi kekuatan Wahabisme. Hal ini diamati secara cermat dalam disertasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis MunzierSupartayangdiujikan pada akhir Agustus 2008 lalu.
Studi tentang perubahan orientasi pesantren ini mengambil fokus dua pesantren, yaitu Maskumambang Gresik dan al-Fatah Temboro Magetan. Disertasi yang diujikan 20/9/08 lalu itu memperlihatkan bahwa perubahan orientasi keilmuan kiai mempunyai pengaruh besar untuk mengubah wajah pesantren yang pada gilirannya mempengaruhi wajah keagamaan masyarakat.
Dua pesantren yang distudi disertasi ini termasuk pesantren tua. Pesantren Maskumambang berdiri tahun 1859 oleh Kiai Abdul Jabbar (w. 1907), dan pesantren al-Fatah didirikan pada 1912 oleh Kiai Siddiq (w. 1950). Pada awalnya dua pesantren ini dapat dikatakan sebagai tipikal pesantren NU yang mengembangkan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja).
Namun dalam perjalanannya, kedua pesantren tersebut berganti wajah. Pesantren Maskumambang berganti wajah dari pesantren Salafiyah-Aswaja menjadi Modern-Wahabi. Sedangkan al-Fatah Magetan berubah dari Salafiyah-Tarekat-Aswaja menjadi pesantren berwajah Majlis Tabligh.
Perubahan itu merupakan hasil dari interaksi dua pesantren ini dengan dunia luar. Pesantren Maskumambang bergerak ke arah Wahabi pada generasi kedua, yang diwakili figur Kiai Ammar Faqih (w.1965) setelah dia belajar ke Mekah dan Madinah dan persentuhannya dengan karya Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab al-Tauhid ketika menjalankan ibadah haji. Perubahan orientasi Pesantren Maskumambang semakin jelas ketika Kiai Nadjih Ahjad mengganti posisi Kiai Ammar Faqih.
Sedangkanpesantren al-Fatah Magetan berubah wajah menjadi Majlis Tabligh setelah pengasuhnya, Kiai Uzairon belajar ke Mesir dan Kiai Noor Tohir belajar ke Mekah. Kedua pengasuh al-Fatah tersebut berkenalan dengan Majlis Tabligh yang didirikan Maulana Muhammad Ilyas bin Muhammad Ismail al-Kandahlawi (w. 1944). Hubungan itu dilanjutkan dengan kunjungan Jamaah Tabligh dari India dan Pakistan ke al-Fatah Magetan pada 1984 dan 1988.
Peristiwa ini pada 1989 sempat memunculkan ketegangan antara Pesantren al-Fatah dengan PCNU Magetan. Ketika itu, Kiai Uzairon menjabat sebagai Rais Syuriah, dan Kiai Noor Tohir sebagai Katib Syuriyah PC NU Magetan. Forum tabayyun itu ternyata tidak menemukan titik temu. Kiai Uzairon dan Kiai Noor Tohir akhirnya menyatakan keluar dari NU dan memilih mengembangkan Majlis Tabligh. Semenjak itu, Pesantren al-Fatah semakin menjauh dari komunitas NU dan semakin mantap mengembangkan karakter keberagamaan Majlis Tabligh dengan khuruj (keluar menyebarkan agama) menjadi ciri khasnya.
Karena peristiwa ini, banyak wali santri yang berontak. Wali santri banyak yang tidak bisa menerima pilihan pengelola Pesantren al-Fattah. Akhirnya, sekitar 500 santri ditarik orang tuanya dan dipindahkan ke pesantren lain.
Penulis yakin, metamorfosis dan perubahan orientasi pesantren demikian tidak hanya dialami Maskumambang Gresik dan al-Fatah Magetan. Masih banyak sejumlah pesantren NU yang ikut tergerus gelombang Wahabisme. Kalau Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, menyatakan Islam Indonesia diserang ideologi transnasional, kasus Maskumabang dan al-Fatah bisa menjadi contoh riil.
Bahkan, kini medan pertarungan itu tidak hanya melalui pesantren. Masjid-masjid sebagai basis kehidupan sosial keagamaan masyarakat juga menjadi ajang kontestasi. Dari berbagai informasi yang penulis peroleh, masjid-masjid yang dikelola warga NU banyak sekali yang “diserobot” kelompok Wahabi dan aliran puritan lainnya.
Dari kenyataan tersebut, ada beberapa hal yang layak dicatat. Pertama, jika selama ini NU mengklaim mempunyai soko guru yang kokoh, yaitu pesantren, ternyata kini pesantren telah mengalami metamorfosis yang melahirkan wajah baru pesantren yang jauh dari karakter ke-NU-an. Meski saya tidak percaya semua pesantren NU akan terbawa arus ini, namun jika tidak diwaspadai bukan tidak mungkin paham keagamaan NU akan semakin dipandang asing di negerinya sendiri. NU juga akan semakin kehilangan legitimasi pesantren.
Kedua, pelajaran berharga dari Pesantren Maskumambang dan al-Fatah adalah ternyata jaringan tokoh-tokoh pesantren yang dibangun melalui belajar di luar negeri, terutama Mekah dan Madinah mempunyai pengaruh besar dalam mengubah wajah pesantren. Memang tidak sumua alumni Mekah dan Madinah menjadi Wahabi, namun mengabaikan hal ini juga bukan sikap yang baik.
Ketiga, NU memang punya lembaga yang secara khusus membidangi soal pesantren, yaitu Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyah (RMI). Lembaga ini perlu diorientasikan untuk melihat perkembangan pesantren-pesantren NU dari sisi orientasi ideologisnya. Hal ini memang bukan perkara mudah. Meski NU mengklaim mempunyai basis pesantren, tapi pesantren di lingkungan NU mempunyai otonomi penuh yang tidak bisa dicampuri dan diintervensi pengurus struktural NU. Pesantren NU lebih bisa digerakkan melalui hubungan guru-murid, daripada hubungan struktur NU.
Memang, perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Arus perubahan terkadang juga tidak terduga. Kini, pesantren dihadapkan pada berbagai pilihan perubahan. Harus diakui, di sini umat Islam, termasuk warga NU dan pesantren, sering tergagap dalam menghadapi berbagai arus perubahan. Saya yakin, pesantren memang tidak akan bisa hilang dari bumi Indonesia. Masalahnya adalah pesantren jenis apa yang akan hidup. Inilah tantangan yang harus dihadapi. [MZ]