Akhirnya aku bisa merasakan apa yang orang baligh rasakan. Bahagia. Merasa diri semakin besar dan bertambah tanggung jawabku. Bergelut denganmu setiap bulan menjadi momen yang kutunggu bahkan kunantikan setiap siklusnya. Aku gugup, karena yang setiap wanita rasakan berbeda.
Sepetak kamar asrama delapan tahun lalu menjadi saksi bisu momen spesial ini. Sinar matahari yang terik menambah badanku tidak nyaman karenanya. Pikirku lelah sebab banyaknya kegiatan pondok. Azan Zuhur berkumandang santriwati berbondong ke masjid. Kuambil alat salat dan menuju masjid. Antrian kamar mandi selalu ramai di penuhi santriwati.
Antrean pertama, kedua, ketiga sudah keluar. Sampai akhirnya giliranku masuk. Mataku tak henti-hentinya terbelalak, rasa bahagia, takut, was-was seketika menyelimuti pikiranku. karna pasalnya akulah yang pertama mendapat tamu bulanan dikelasku.
Ya, seindah itukah kodrat seorang wanita. Mempunyai kesempatan untuk libur salat, bisa sejenak terlelap saat orang lain sibuk beribadah. Bisa merasakan apa yang laki-laki tidak bisa rasakan. Bisa melahirkan keturunan dari rahim sendiri adalah hal yang kuminta dari Tuhanku dan kunantikan saat tiba waktunya.
Jika hari ini kabar burung itu terbukti maka semua berbanding balik. Belum lagi pengalaman kakak kelasku yang tak seindah bayanganku. Ah benar saja, bayanganku jauh dari fakta hari ini. Perut kembung sampai kram akut, sembelit, muncul jerawat, nafsu makan meningkat, belum lagi perubahan suasana hati yang tak menentu. Aku bersumpah sesungguhnya tidak membenci tamuku. Aku garisbawahi hanya membenci tanda fisik maupun mental sebelum kedatangan tamu. Celakanya, sejauh ini tak pernah sekali pun tamu yang tanpa dibersamai tanda fisik dan mental.
Berbulan bulan kebiasaanku hanya berkelana dari apotek satu ke apotek lainya, tak jarang clue google chrome dipenuhi seputar tamu bulanan. Tentu saja, setiap perjalananku hanya berakhir kekecewaan dan berdampak badmood. Tak kusangka tingkah unikku mendapat perhatian khusus dari seluruh penjuru kota. Bahkan mereka yang teramat jarang melihatku ikut mencibir tingkahku. karena protesku kepada apoteker, setiap obat yang dianjurkan tidak mengurangi rasa sakitku.
“Hei, anak seperti dia memang layak dicibir.”
“Ya, tingkahnya keterlaluan sekali.”
“Kurasa, ia tidak memiliki rasa syukur kepada pencipta-Nya. Tak terkecuali kepada dirinya sendiri.”
“Betul, orang yang bersyukur atas dirinya sendiri tak akan terus-terusan mengeluh atas kodratnya.”
“Aku sepakat, karna bukan cuma dia saja yang merasakan.”
Aku mulai meracau atas komentar-komentar buruk terhadap diriku. Bahkan keluargaku ikut terkena imbasnya. Dari sebrang suara ibuku lirih terdengar “kakak yang sabar ya! PMS (Premenstrual syndrome) itu lumrah dirasakan semua wanita dewasa. Jadi mulailah berdamai dengan keadaan dan nikmati prosesnya”. Berawal dari komentar-komentar buruk itu, aku semakin berani untuk membenci obat-obatan yang pernah dianjurkan. “Lebih baik uang kalian untuk membeli makanan sampai muntah!” ujarku kepada mereka. “dan ini untuk kalian, para keparat penjual obat murahan!”.
Kubuang semua obat-obatan yang pernah kubeli, tak lupa kuinjak-injak juga kapsul obatnya serta kutuang obat cair hingga berserakan keseluruh sudut apotek. Lalu, kutinggalkan dengan langkah goyah. Banyak penyesalan atas apa yang kuperbuat barusan, namun ego dan kebencian karena sakit berkepanjangan berhasil menguasai jiwa ragaku. Tanpa ampun ego berhasil merubah sudut pandang semua orang tentang diriku, aku yang dulunya gadis kecil yang lemah lembut sekarang menjadi seorang wanita pemarah dengan temperamen tinggi.
Teman-temanku sebenarnya sudah malas berteman denganku. Tapi ibuku selalu meyakinkan teman-temanku hingga terisak agar tidak menjauhiku, “Anak ibu badmood ketika dapat tamu bulanan saja, selebihnya dia tetap teman kalian yang lemah lembut”, tutur ibuku kepada teman-temanku. Di lain pihak, aku bersumpah sangat menyayangi keluargaku dan teman-temanku. Buktinya, tak sekalipun aku memaki dan meracau di depan teman-temanku. Berdiam diri di kamar mandi dan nangis di bawah guyuran kran jauh lebih baik menurutku.
Sampai akhirnya sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan apa yang kubenci tidak lagi mengusikku. Tidur nyenyak, mood semakin baik, dan tak perlu repot memaki obat-obatan lagi. Aku tahu sejak mendapat tamu bulanan semua bayangan indahku lenyap begitu saja. Hanya kenangan buruk yang ada di benaku, dan sudah empat bulan tamuku tak kunjung datang. Bahagia pikirku, bisa istirahat sejenak dari rasa sakit.
Tapi tidak dengan teman-temanku, mereka selalu tanya apa yang kurasakan dan selalu mendesaku untuk pergi ke dokter. “Oh Tuhan apalagi ini?” tanyaku dalam hati. Dan benar saja setelah pergi ke dokter, bagai dihujam belati badanku menggigil hebat. Tiba-tiba merasa dingin sekali, sampai ke relung-relung jiwaku. Kenangan empat bulan lalu melintas di pikiranku, seakan menertawakan keadaanku sekarang. Sementara dahiku terus mengucurkan keringat di bawah penjelasan dokter yang begitu detil. PCOS (Polyystic Ovary Syndrome) kata itu berhasil memporak-porandakan hati dan pikiranku.
Sifat angkuh yang tidak menerima kodrat seorang wanita seketika lenyap dengan satu kata. Tubuh yang dulu kuat memaki kini menjadi lunglai hampir tak mampu menahan bebannya. Lagi lagi hanya tangis yang setia menemani kekacauanku. Sakit yang tidak kuharapkan justru ditambah lagi, ah tidak ini baru sakit yang sesungguhnya setelah kemarin telah kusia-siakan nikmat luar biasa. Sampai kuingat pesan ibuku premenstrual syndrome itu lumrah dirasakan semua wanita dewasa”. Dititik ini saya baru sadar tidak seorangpun manusia bisa menentang kuasa Tuhan “kun fayakun” jadilah! Maka terjadilah ia. Ada dua jawaban dari ujian yang kita alami. Pertama Allah sedang menguji imanmu dan kedua Allah sedang menghukum atas dosa-dosamu. [MZ]