Seperti di film-film, suasana Kota Endapan pun sepi dan mencekam. Meski di siang hari, suasananya tak jauh beda dengan di malam hari. Hanya saja di malam hari ancaman dari zombi-zombi itu lebih besar dan begitu mengerikan.
Selain karena gelapnya kota, di malam hari zombi-zombi itu bisa bergerak lebih cepat dan sangat lincah. Ia bisa lebih aktif mengejar manusia. Dan bisa dipastikan, siapa pun itu jika sudah dikejar pasti tertangkap.
“Kau tahu zombi kan?”
“Mayat hidup maksudmu?”
“Tapi ini beda, mereka tak berwujud manusia yang mengerikan.”
“Lalu?”
Obrolanku dengan Kiri harus terhenti sore ini. Langit yang menjadi atap bumi perlahan menjatuhkan titik-titik air yang kemudian menjadi lebat. Hujan sore ini pun memisahkan pertemuanku dengan Kiri. Satu-satunya orang yang selalu sabar mendengarkan ceritaku tanpa protes sedikit pun.
Meski tak setuju dengan apa yang kuceritakan, ia tak akan pernah mendebatku sambil memaki. Ia justru dengan santainya mengutarakan ketidaksetujuannya dengan humor. Dan setelah itu, obrolan kami pun seperti biasanya, berakhir dengan gelak tawa.
Tapi sore ini, hatiku jauh dari kata lega. Aku belum selesai bercerita. Hujan buru-buru turun dengan sangat lebatnya. Tak berpikir panjang kami pun harus berpisah dan menuju rumah masing-masing.
***
Aku berdiri di tengah kota yang sepi sekali. Tampak kota ini seperti tak berpenghuni. Daun-daun kering berserakan. Suasana senja di sudut kotanya pun jauh dari kata romantis. Mencekam lebih tepatnya.
Apa lagi jika melihat pohon-pohon yang mulai meranggas. Daunnya rontok, hanya menyisakan rantingnya saja. Batangnya yang biasa tampil kokoh pun tak berdaya hanya dengan sepoi angin. Pohon itu akan tumbang dengan mudahnya. Itu terbukti dengan banyaknya pohon yang tergeletak berserak memenuhi kota.
Ku susuri setiap sudut dari balik gedung tua di tengah kota. Taman bermain anak-anak juga senyap. Tempat itu menjadi murung dan sangat menyedihkan tanpa ada canda dan tawa anak-anak. Jungkitan yang bergerak sendiri, ayunan yang bergerak karena angin. Semuanya justru memunculkan derit yang mencekam. Seperti menangis. Iya, semua permainan itu rapuh dengan karat.
Belum juga menemukan seorang yang bisa kutanya, aku menyusuri kota itu lagi. Aku tak asing dengan kota ini. Tapi aku kesulitan mengingat tentang kota ini. Sudut-sudutnya sangat berbeda dari ingatan yang tertanam dalam benakku. Aku memilih terus berjalan dan mencari siapa pun untuk menjawab teka-teki aneh ini.
Langkah kakiku menuju tempat perbelanjaan. Entah pasar tradisional atau pasar modern aku harus menemukannya. Yang kutahu, itu salah satu tempat berkumpulnya orang. Kus apu pandanganku ke seluruh arah mata angin. Hasilnya nihil. Tak kutemui tanda-tanda ada orang berbondong, berkumpul pula bertransaksi jual beli seperti yang biasa terjadi di pasar.
Pusing kepalaku melihat kondisi kota yang tak menunjukkan adanya tanda kehidupan sama sekali ini. Aku mencoba menerka tapi tak bisa. Aku yakin ini bukan tempat asliku. Tapi anehnya aku tetap merasakan ikatan batin yang kuat dengan kota ini.
“Aku sedang di tepi Sungai Cihali,” suara Kiri dari ujung telepon. Tanpa berpikir panjang, ku kayuh sepedaku, kudatangi Kiri yang sedang menyendiri. Suatu kebiasaan yang lazim bagi kami berdua. Duduk di tepi sungai, berusaha menyikapi banyak kejadian yang kita alami dalam hidup. Tak jarang kudapati Kiri sesenggukan sendiri di tepi sungai.
Pun demikian denganku, tak jarang kepergok olehnya saat menangisi banyak hal tentang hidup ini. Tapi tetap saja, kami lebih sering mengubah tangis kami menjadi gelak tawa, jika sudah duduk berdua.
“Aku mau melanjutkan yang kemarin.”
“Tentang apa?”
“Ah sudahlah ! jangan berlagak lupa.”
“Aku memang lupa. Kamu tahu sendiri kan, aku akhir-akhir ini banyak masalah.”
“Sudahlah, ini lebih penting dari persoalan cinta monyetmu itu. lagian keadaannya tidak akan pernah mempertemukan kita dengan siapa pun. Aku putus asa.”
Akhirnya Kiri yang melihatku begitu berantakan, rambut awut-awutan dan kelopak mata menghitam, terpaksa menerima permintaanku. Aku butuh seorang yang mau mendengarkan cerita ini. Kelanjutan dari cerita zombi yang kemarin sempat kuceritakan padanya.
“Jadi begini.”
Seperti yang ku ceritakan kemarin, aku bertemu zombi. Kamu tahu lah, zombi yang haus darah akan mengejar siapa pun yang ada di depannya. Malam itu aku lari terbirit-birit. Masuk gang, celah sempit di antara dinding rumah. Bahkan, aku naik ke atas bus kota yang teronggok lesu di terminal.
Semua bus pun terseok tak berpenumpang. Tak ada teriakan para kernet mencari penumpang. Tak ada nyanyian pengamen. Ini lebih aneh lagi, sejak aku tiba di kota itu, aku tak pernah mendengar kicauan burung.
“Beruntung kamu bisa lepas dari kejaran zombi.”
Berpikir sejenak tentang kicauan burung. Tapi ini wajar. Manusia saja tak terlihat sama sekali. Manusia yang bisa makan apa pun termasuk semen bahkan aspal pun tak mampu bertahan hidup di sini. Pasti burung yang hanya makan biji saja, atau daging saja, atau buah saja, tentu tingkat kemungkinan bertahan hidup jauh lebih kecil.
Makanya ini wajar juga menurutku, burung-burung itu pasti lenyap sebelum manusia lenyap di kota itu.
“Aku bingung mau menangapi apa tentang ceritamu itu.”
“Maksudmu? Tak biasanya kamu begitu pasifnya menanggapi sebuah ceritaku?”
“Kamu tahu, kenapa aku tak mengajakmu duduk di tepi sungai hari ini?”
“Tentu tidak, tapi tak biasanya kamu pergi ke sini tanpa mengajakku.”
“Itu kamu tahu.”
“Lalu kenapa memang?”
“Sejak kamu bercerita tentang Kota Endapan tempo hari. Aku tak bisa tidur. Aku dihantui zombi-zombi aneh.”
Kali ini aku sampai pada tanah lapang yang dipenuhi dedaunan kering. Berjalan di atasnya, diringi suara daun kering yang terinjak kaki yang melangkah menuju ke tengah lapang. Lagi-lagi sepanjang mata memandang tak ada satu orang yang tampak.
“Hoiiiii…..”
Teriakku memecah keheningan. Senja yang biasa menemaniku berpuisi, kini tenggelam. Langit gelap tanpa bintang. Meski langit cerah, tapi bintang-bintang itu enggan muncul. Tanpa bintang, langit tampak suram. Kegelapan mulai menyelinap, sebab tak hanya bintang, bulan yang seharusnya mencapai purnama pun tak muncul.
Tanah lapang ini di beberapa sudutnya terdapat tiang-tinag dengan bola lampu yang menggantung. Beberapa lampu itu mati, bahkan ada yang menggantung dalam keadaan pecah yang menambah suasana mencekam dengan sarang laba-laba yang menempel padanya.
Beberapa lampu pun redup sudah malas untuk hidup. Ada yang berkedip-kedip tak jelas. Seolah enggan hidup pun enggan mati.
“Hoiiii…..”
Sekali lagi kuteriakkan panggilan itu pada siapa pun. Yang jelas aku ingin segera bertemu manusia lain. Dalam keadaan frustasi, menyerah dengan keadaan serba penuh teka-teki ini. Aku mendadak lemas dan tersungkur di atas dedaunan kering. Terlentang memandang langit yang tanpa bintang itu.
Tiba-tiba saja tanah lapang itu bergetar. Daun-daun kering itu bergerak. Menimbulkan suara kresek, kresek, kresek. Gempa pikirku. Bukan, ini bukan gempa. Sepertinya gedung-gedung tinggi yang kulewati tadi tak bergerak. Aneh. Kalau ini gempa pasti gedung-gedung yang rapuh itu akan roboh. Getaran tanah lapang ini semakin kencang. Perlahan muncul ranting kayu dari tanah lapang itu.
Warnanyanya gelap. Legam tampak seperti kuliat manusia yang terbakar. Aneh pohon ini muncul dengan mata yang merah. Seperti haus darah. Pohon-pohon menatapku penuh amarah. Mirip pasukan zombi dalam film-film. Aku takut, aku arus berlari. Sepertinya mereka menuntut dendam.
Sial kakiku tersangkut ranting. Ah, bukan tersangkut. Ini namanya tertangkap. Kukerahkan sekuat tenagaku untuk lepas darinya. Dan satu-satunya keinginanku adalah lari menyelamatkan diri.
“Kamu tahu kenapa aku diam saja mendengar ceritamu?” Kiri memberi pertanyaan yang kurasa aneh. Gelagatnya yang penuh humor pun kini redup. Seperti canggung mengungkapkan sesuatu.
“Aku tahu kamu tak bisa lari dari pohon-pohon itu”
“Haaa”
“Iya, kamu gagal lepas dari cengkeraman ranting-ranting yang penuh amarah itu.”
“Kamu bisa tahu?”
“Aku juga mengalami mimpi yang sama Drun.” Sambil memegang pundakku ia memberi isyarat meninggalkan sungai.
Kami berdua menyusuri kota dan berhenti di sebuah terminal bus. Suara bising kendaraan yang tak hanya bus itu memekikkan telinga kami. Kernet-kernet mencoba merayu para penumpangnya. Ibu-ibu sedang sibuk dengan banyak barang belanjaannya. Para perantau membawa koper yang penuh sesak entah apa isinya.
“Lihatlah Drun” Kiri mengarahkan telunjuknya ke sebuah hutan kota. “AKAN DIBANGUN SUPERMARKET DI SINI !!!”
“Kamu tahu arti mimpi kita?” [AA]