Berdasarkan laporan dari The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), Negara Indonesia tercatat sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yakni sebanyak 237.56 juta jiwa pada tahun 2022. Banyaknya jumlah penduduk muslim di Indonesia telah melahirkan ragam pemikiran dan gerakan Islam, baik gerakan pemikiran kiri dan gerakan pemikiran kanan.
Gerakan pemikiran Islam ekstrem kiri bersifat liberal komunis, sedangkan Gerakan pemikiran ekstrem kanan atau disebut sebagai fundamentalis Islam, merupakan kelompok orang-orang yang menganggap modernitas dan budaya barat sebagai suatu ancaman. Kelompok ini bersifat puritan, berupaya memakai gaya hidup dan ajaran Islam sebagaimana kehidupan zaman Nabi Muhammad SAW.
Kelompok dengan pemikiran ekstrem kanan seringkali menganggap keyakinan diluar kelompoknya adalah salah, sehingga menimbulkan klaim kebenaran adalah milik kelompoknya saja. Klaim kebenaran itu muncul karena prinsip “mengembalikan semua perkara kepada Al Qur’an dan sunnah”. Padahal, untuk memahami dua pedoman di atas diperlukan akal dan ilmu, meliputi ilmu tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Jika disadari bahwa kita tidak memiliki kapasitas terhadap ilmu-ilmu tersebut, berarti kita tidak boleh menelan secara mentah dalil kontekstual. Kita memerlukan sebuah jembatan, sehingga muncullah pendapat para ulama, ijtihad atau pun fatwa-fatwa yang telah ditetapkan pemerintah untuk kemashlahatan ummat.
Sedangkan kelompok Islam kanan, ia tidak terbuka terhadap sumber-sumber selain Al Qur’an dan Hadits, sehingga hal ini dapat memicu tumbuh suburnya gerakan Islam radikalis. Islam radikalis cenderung menutup diri dari lingkungan sosial tetapi sangat mempertahankan kelompoknya secara privat. Dengan kelompok yang berpikiran eksklusive semacam itu, persatuan NKRI, khususnya kerukunan umat beragama dapat terancam.
Karakteristik kelompok Islam kanan di atas tidak semata-mata bersifat justifikasi, tetapi realita sendiri yang menunjukkan kebenarannya, bahwa mereka adalah kelompok yang keras, kaku, dan bisa menjadi ancaman untuk negara, apalagi di dukung dengan kasus-kasus terorisme dan kekerasan agama yang terjadi di Indonesia. Ide membangun negara khilafah selalu tumbuh subur sampai detik ini baik yang tampak atau yang tersembunyi.
Seandainya ber-Islam secara puritan dikonsumsi secara pribadi, dalam konteks ekslusivsime toleran, yakni tidak berusaha mensyiarkan, mendakwahkan, berlaku takfiri, mengajak orang apalagi berusaha mempengaruhi paradigma cara berpikir orang lain, tentulah tidak akan timbul keinginan-keinginan irasional yang mengancam kedaulatan Negara.
Namun sepanjang yang saya temukan, kelompok pemikiran kanan selalu memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Cara berpikir dan berperilaku tidak lagi membawa unsur Lokal, tetapi cenderung ke Arab-Arab an. Padahal dalam buku Habib Jafar, para pemuda Arab melakukan sumpah Pemuda Keturunan Arab, yang menegaskan bahwa walaupun mereka bukan pribumi asli, tetapi tanah air mereka tetaplah Indonesia. Bagaimana bisa yang Arab berusaha melokal sedangkan yang lokal bersusah payah ke Arab-Arab an, bahkan menggunakan panggilan akhi atau ukhti.
Yang lebih ekstrem dari pemikiran Islam kanan adalah ketika ia mulai menghalalkan darah manusia untuk dibinasakan karena dianggap kafir, tak sejalan dengan ideologinya. Ini yang kemudian menjadi bahaya karena pemikiran ini yang menciptakan bibit-bibit terorisme, musuh negara yang mengancam persatuan dan kerukunan.
Indonesia memiliki kebijakan tegas untuk memberantas kelompok-kelompok ekstrem yang berpotensi melakukan Gerakan radikal. Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian diganti dengan UU No.15 Tahun 2003, dan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2010 tentang BNPT.
Beberapa peristiwa pengeboman di Indonesia mencuri perhatian dunia, sehingga negara seperti Australia dan Amerika menawarkan bantuan untuk mengusut tuntas peristiwa terorisme. Dalam pemerintahan era Joko Widodo, ia menggunakan metode Soft Approach dalam penanganan terorisme. Berbeda dengan penanggulangan radikaslime era Susilo Bambang Yudhyono yang bersinergi dengan PBB untuk mengungkap dan menangkap semua pelaku terorisme di Indonesia.
Pelaksanaan Soft Approach yang digunakan Pak Jokowi adalah program deradikalisasi, dimana yang dimaksud dengan Soft Approach adalah pendekatan lunak atau metode lemah lembut tentang upaya penyelesaian kasus terorisme. Cara ini cenderung memberian kepedulian terhadap korban yang masih hidup dan juga terhadap keluarga korban terutama yang telah di eksekusi khususnya anak-anak dan keluarganya.
Hal tersebut dianggap berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang hanya menekankan pada kekuatan aparat seperti kepolisian, TNI dan lembaga khusus yang menangani menangani terorisme seperti BNPT dan Densus 88. Namun keduanya memiliki nilai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Menurut saya sendiri, metode lemah lembut ala Pak Jokowi memiliki efek jangka panjang. Dengan memberikan kepedulian terhadap anak-anak dan keluarga korban dan tersangka pelaku pengeboman, ia ingin menegaskan bahwa mereka yang tidak bersalah harus tetap dirangkul dan diayomi, mereka masih warga Indonesia.
Dengan soft approach, Pak Jokowi mencoba memberikan kasih sayang dan perhatian sehingga perbuatan radikalisme dan terorisme itu tampak sebagai kekerasan, berlawanan dengan peri kemanusiaan dan itu salah. Mereka yang berlaku kriminal memang harus dihukum, sedangkan yang bisa diselamatkan maka selamatkan. Seperti menyelamatkan mereka dari pola pikir ekstrem dengan cara menjunjung tinggi kasih sayang sesama manusia.
Selain tindakan tegas diatas, pemerintah juga berupaya menanamkan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme ke dalam pendidikan formal. Ini merupakan strategi jangka pendek untuk generasi muda agar sedari dini mereka memiliki wawasan kebangsaan sehingga dapat terjauhkan dari pemikiran eksrimisme berbasis agama.