Tak terasa memasuki babak akhir dari jabatan Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia. Bersamaan dengan itu juga memasuki tahun politik, siapakah tokoh selanjutnya yang akan memimpin Republik Indonesia dengan penuh harapan. Kita dapat melihat di sepanjang jalan sudah banyak bertebaran ragam bendera maupun baliho dari berbagai partai politik, bahkan hal tersebut bagi saya menjadi sampah visual bagi yang melintas jalanan.
Bagi beberapa pihak yang memasang atribut tersebut, memiliki tujuan ingin mengenalkan kepada masyarakat luas dan masyarakat tahu lebih dekat dengan partai serta para tokohnya. Terkadang, partai politik di Indonesia juga memiliki hubungan dengan organisasi keagamaan, sehingga atribut ini menjadi simbol identitas bagi berbagai kelompok dan komunitas.
Sampai di sini tidak ada yang salah dengan simbol identitas. Karena setiap orang memiliki identitas lebih dari satu, baik itu berasal dari suku, agama, ormas maupun politik. Secara praktik bahwa hal ini tidak disalahkan dikarenakan membawa ideologi dan pemahaman dari apa yang diyakini guna keberlangsungan dan membawa pada hal yang lebih baik. Menurut Fukuyama politik identitas akan bermasalah apabila:
Pertama, masalah akan muncul ketika politik identitas diinterpretasikan atau ditegaskan dengan cara yang salah. Ini terjadi ketika upaya untuk memperjuangkan identitas tertentu tidak secara efektif mengatasi ketimpangan atau ketidakadilan yang ada. Misalnya, ketika partai atau kelompok politik menggunakan retorika identitas untuk tujuan politik semata tanpa memberikan solusi konkret untuk permasalahan yang dihadapi oleh komunitas tersebut, maka identitas itu menjadi alat politik semata, dan ketidakadilan tetap bertahan.
Kedua, politik identitas menjadi bermasalah ketika lingkup identitas disempitkan, dan ini berpotensi mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Terlalu berfokus pada satu aspek identitas, seperti etnis atau agama, bisa menyebabkan ketidaksolidan antar kelompok dalam masyarakat. Ini dapat menghambat kemajuan bersama dan mengabaikan isu-isu yang lebih luas yang memengaruhi seluruh masyarakat.
Ketiga, kesalahan dalam mengartikan politik identitas dapat menjadi ancaman terhadap iklim kebebasan berpendapat dan menggantikan diskursus rasional yang diperlukan untuk memelihara demokrasi. Ketika politik identitas digunakan untuk membatasi pandangan yang berbeda atau sebagai alat untuk menekan kritik, hal ini merusak kebebasan berbicara dan berpikir dalam masyarakat.
Diskursus yang rasional dan inklusif penting untuk menjaga kualitas demokrasi dan memungkinkan masyarakat berdialog secara konstruktif tentang isu-isu penting. Oleh karena itu, pengelolaan politik identitas yang bijak memerlukan pemahaman yang mendalam tentang dampaknya dan komitmen untuk mengatasi ketidakadilan serta mempromosikan persatuan dalam kerangka yang lebih luas.
Menjadi Pemilih yang Bijak
Kita hidup pada abad 21, dengan beragam perkembangan yang disajikan, bahkan dalam hal ini teknologi yang semakin maju, menjadikan era digital yang semakin diandalkan. Segala hal dapat kita akses hanya dalam satu genggaman saja, hingga tanpa terkecuali informasi mengenai dunia perpolitikan.
Website resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah sumber informasi yang tak ternilai dalam memfasilitasi proses demokrasi di Indonesia. Melalui platform ini, KPU memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses beragam informasi tentang para calon pemimpin yang akan memimpin dari tingkat provinsi hingga tingkat kepala negara. Informasi yang disajikan mencakup visi, misi, dan latar belakang calon pemimpin, membantu pemilih untuk membuat keputusan yang bijak dan memahami masa depan Indonesia yang akan mereka bentuk melalui hak pilih mereka.
Ibarat tak kenal maka tak sayang, calon pemimpin dari tingkat lokal hingga nasional; dari ekstekutif maupun legislatif, semua calon harusnya kita kenal. Melalui sistem informasi yang diberikan oleh KPU, setidaknya kita bisa membaca track record calon pemimpin daerah kita. Selanjutnya kita pertimbangkan secara rasional, mana pemimpin yang amanat, jujur, integritas, dan tidak menggunakan cara-cara kotor dalam berkampanye.
Jangan sampai calon yang kita pilih karena hasutan atau cacian dari kelompok yang tidak bertanggungjawab. Mereka hanya memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat, memainkan politik identitas secara negatif, menebar berita hoax, dan upaya lainnya. Ketidaksehatan sejak awal dalam proses pemilihan juga menggambarkan bagaimana model kepemimpinan mereka ketika terpilih.
Dari sinilah politik identitas yang digunakan secara negatif sangat berbahaya. Setidaknya modal yang harus dimiliki oleh para pemilih untuk tidak terjebak dalam politik identitas adalah dengan membaca track record, pengalaman, latar belakang, baik yang disediakan oleh KPU maupun melalui googling di internet. Semua itu dilakukan untuk menjadi pemilih yang bijak demi Indonesia lebih baik.
Menang ora umuk, kalah ora ngamuk. Amin