Judul buku: Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliyah dan Pergulatannya
Penulis: Nur khalik Ridwan
Penerbit: IRCiSoD, Maret, 2020
Tebal: 833 hlm.
Membincang tentang ideologi merupakan wacana yang menarik dalam ranah intelektual, salah satunya yakni Wahhabisme. Perjalanan panjang ekspansi Wahhabi di seluruh dunia, menjadi polemik sekaligus perhatian para pengamat Islam di berbagai belahan dunia.
Term Wahhabi meskipun sudah cukup banyak riset yang mengkajinya, tetapi masih saja belum bisa secara komprehensif mewakaili dan memotret wajah Wahhabi yang sebenarnya. Nur Khalik Ridwan, melalui karya monumentalnya ini, memberikan terobosan historis dalam melihat Wahhabi sebagai sebuah ideologi Islamisme, paham keagamaan, dan lainnya.
Secara genealogis, munculnya Islamofobia di dunia tidak lepas dari tindak-tanduk pengaruh Wahhabi. Wahhabisme sebagai sebuah ideologi, memiliki peranan penting dalam penyebaran ekslusivisme Islam ke seluruh dunia. Sempitnya visi Wahhabisme menjadi lahan subur bagi perkembangan ekstremisme.
Wahhabi sebagai gerakan keagamaan konservatif menarik untuk ditelaah secara akademis maupun sosial-historis. Aliran yang dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ini telah mengampanyekan paham keagamaan Islam yang rigid dan tekstual.
Atas nama purifikasi Islam, Muhammad bin Abdul Wahhab berupaya mengganyang segala kekuatan yang bersebrangan dengannya. Hal-hal yang bertentangan dengan Islam seperti filsafat atau sufi, harus dipurifikasikan sesuai dengan preseden nabi Muhammad pada zamannya (Abou el-Fadl, 2005).
Dalam sejarahnya, Muhammad bin Abdul Wahhab dengan menggandeng Muhammad bin al-Saud pernah berupaya untuk meratakan makam nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, karena seringkali diziarahi oleh para jemaah Haji dan Umroh. Bagi mereka, ziarah kubur merupakan kegiatan yang bertentangan dengan Sunnah.
Belum banyak cendekiawan yang menulis secara cermat tentang Wahhabi. Untuk itu, perlunya menilik Wahhabi secara ilmiah. Yudian Wahyudi, dalam artikelnya berjudul “The Waves of Wahhabism” menjelaskan tentang gerakan Wahhabi di Indonesia. Yudian membaginya dalam empat gelombang.
Pertama, pada perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837). Kedua, pemberontakan di Banten (1888), akibat pengaruh Pan Islamisme. Ketiga, berdirinya Sarekat Islam (1905) sebagai wujud “nasionalisasi” Pan Islam, yang kemudian didukung oleh Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1994), dan Persatuan Islam (1923), khususnya dalam aspek Aqidah dan Fikih. Terakhir, yakni gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (1949-1963).
Di Indonesia, Wahhabi dikenal sebagai pendobrak TBC “Tahayyul, Bid’ah dan Churafat”. Masuknya Wahhabi telah banyak mempengaruhi beberapa ormas Islam di Indonesia. Meskipun demikian, saat ini ormas tersebut telah banyak mengalami pergeseran, misalnya Muhammadiyah yang lahir sebagai penggaung TBC dan pendobrak tradisi, sudah tidak bergairah lagi dalam membela pemurnian Wahhabisme (hlm. 23). Tetapi di tubuh Muhammadiyah sendiri masih terdapat oknum yang memegang teguh ajaran Wahhabisme, meminjam bahasa Abdul Munir Mulkhan, mereka yang disebut sebagai Muhammadiyah rasa Salafi-Wahhabi.
Hadirnya buku tebal yang ditulis oleh salah satu Cendikiawan Muslim ini mampu memberikan pencerahan akademis-historis bagi kita untuk membongkar dan meninjau sisi lain dari wajah Wahhabi itu sendiri. Wahhabi sebagai sebuah paham memiliki pengaruh yang cukup kuat dan luas, terutama dalam eskpansi terorisme global. Sedangkan sebagai media propaganda, mereka mendirikan lembaga pendidikan dan pesantren-pesantren—yang biasanya diindentikkan dengan Kalangan NU, serta menerbitkan majalah-majalah.
Selain itu, mereka banyak memberikan beasiswa kepada para pemuda khususnya di Indonesia untuk belajar ke Universitas-Universitas di Arab Saudi dan negara lain yang terafiliasi dengan ideologi Wahhabi. Gerakan Wahhabi ini cepat menjadi besar karena memiliki basis di kerajaan penghasil minyak terbesar dunia, yakni Arab Saudi. Dengan doktrinnya, Wahhabi mampu mengakomodir massa untuk melakukan aksi-aksi ekstremisme yang kemudian berlanjut menjadi terorisme.
Dalam buku ini juga dipaparkan dengan cukup komprehensif bahwa kemunculan aliran Wahhabi ini tidak bisa lepas dari konspirasi yang digagas oleh Inggris (sebagai penjajah). Dalam memoar Hempher berjudul Confesseions of a British Spy to the Middle East, disebutkan bahwa kerajaan Inggris telah merekayasa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai pendiri Wahhabi. Hal ini sebagai upaya untuk menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki (hlm. 230).
Dalam memoarnya, Hempher menggambarkan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai orang yang berjiwa “sangat tidak stabil”, sangat kasar, berahklak tidak baik, selalu gelisah, congkak serta dungu. Tetapi, tentu saja gambaran ini banyak ditolak oleh para pengikutnya, tidak bisa diterima dan narasi yang bohong ‘majhul’ (hlm. 232). Hal ini menjelaskan bahwa secara karakter pendiri Wahhabi ini tidak mengedepankan moralitas dan akhlakul karimah dalam mendakwahkan ajarannya.
Untuk memuluskan tujuannya, kelompok Wahhabi beberapa kali melakukan upaya mendistorsi terhadap karya-karya ulama. Syaikh Idahram mengatakan, mereka telah banyak men-tahrīf (menghilangkan kalimat) dalam karya Ulama-ulama, seperti dalam Kitab Riyādus Shālihīn, al-Adzkār, Syarh al-Aqidah al-Thahāwīyah dan lain sebagainya. Bahkan mereka banyak memalsukan karya-karya ulama, kemudian menggantinya dengan karya dari paham mereka sendiri yang justru sangat jauh dari substansi karya sebelumnya.
Dalam membaca dan melihat wajah Wahhabi yang sebenarnya, kita perlu melihat teks dan konteks sejarah yang melatarinya. Pada tahun 2019 yang lalu, saya pernah menulis tentang genealogi lembaga Islamic Centre bin Baz Yogyakarta, yang dipimpin oleh Ustaz Abu Nida. Ia merupakan pentolan dari salafi-Wahabi, meskipun secara pribadi ia mengaku sebagai pengikut Muhammadiyah, karena istilah Wahhabi telah cenderung terstigma di masyarakat. Tetapi secara historis, Abu Nida jelas terafiliasi dengan Wahhabi yakni LIPIA di Jakarta sebagai basis Wahhabi di Indonesia.
Wajah Wahhabi di Indonesia saat ini mengalami banyak transformasi. Wajah Wahhabi yang sebenarnya cenderung kaku, dan tunggal dalam menafsirkan pesan keagamaan, sudah menjelma menjadi neo-wahhabisme. Tetapi kita tidak bisa membohongi sejarah masa kelam, bahwa lahirnya Wahhabi menjadi oase pertumpahan darah di berbagai kawasan di dunia.
Wahhabisme ke depan akan menjadi tantangan keberagamaan dan keberagaman pemahaman Islam di Indonesia, untuk itu kita perlu mengetahui secara detail secara akademis-historis tentang penyebaran dakwahnya di Indonesia.
Wahhabi menjadi suatu tantangan bagi wajah keberagamaan Islam di Indonesia. Untuk itu, mengkajinya merupakan suatu ikhtiar dalam merawat keragaman sebagai cita-cita bersama masyarakat islam di Indonesia. Dengan demikian, buku ini bisa menjadi kamus lengkap bagi kita untuk menelaah lebih jauh sejarah tentang gerakan Wahhabi, khususnya di Indonesia.
Wahhabisme merupakan embrio dan corong terorisme global. Dengan segala propagandanya, Wahhabi mampu memobilisasi massa untuk dikaderisasi melalui jalan-jalan pendidikan dan dakwah sehingga secara persuasif dapat diterima di masyarakat.
Untuk itu, memahami Wahhabi merupakan suatu usaha yang baik agar dapat mengajarkan kepada generasi bangsa untuk beragama dengan toleran dan inklusif serta menolak aksi-aksi radikal yang mengatasnamakan agama. [MZ]