Fitzerald Kennedy Sitorus Alumnus Goethe-Universität Frankfurt am Main Jerman; Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan

Garis Pemisah antara Sains dan Filsafat dan Kematian Metafisika [Bag 1]

4 min read

Foto: thebiologist.rsb.org.uk
Foto: thebiologist.rsb.org.uk

Beberapa hari belakangan ini, kita membaca di halaman facebook lalu lintas pertukaran pikiran yang bersemangat mengenai sains. Picu yang melatuk diskusi ini adalah pernyataan Mas Goenawan Mohamad [GM] mengenai permasalahan-permasalahan sains dalam sebuah seminar online yang berjudul “Berkhidmat kepada Sains”. Pertanyaan ini kemudian ditanggapi oleh AS Laksana. Kemudian sejumlah tulisan tanggapan lainnya bermunculan meramaikan pertukaran pikiran tersebut.

Sebelum seminar tersebut, perbedaan pendapat tentang hubungan antara sains dan filsafat atau metafisika serta agama juga sebenarnya telah terjadi dalam sebuah diskusi online pada 16 Mei 2020 lalu. Perbedaan pendapat tersebut melibatkan Nirwan Arsuka dan Hamid Basyaib di satu sisi dan Mas GM, Romo Lili dan saya sendiri di sisi lain. Secara singkat, Nirwan dan Hamid berada pada posisi yang mengagungkan sains dan menganggap filsafat dan agama tidak relevan lagi, sementara Mas GM, Romo Lili dan saya berpendapat bahwa sekalipun sains memang menghasilkan kemajuan yang luar biasa dan berjasa besar bagi umat manusia bukan berarti filsafat dan agama menjadi tidak relevan.

Hal menarik dari pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan yang muncul dalam pertukaran pikiran ini adalah munculnya klaim yang mengagungkan sains sedemikian rupa dan menganggapnya sebagai satu-satunya cara untuk memperoleh deskripsi yang paling baik mengenai realitas. Klaim ini kemudian diikuti dengan pernyataan bahwa bidang-bidang lainnya, seperti filsafat atau metafisika dan teologi, menjadi tidak relevan karena tidak mampu menghasilkan pengetahuan yang ketepatan dan kepastiannya sama dengan sains. Klaim tidak relevan filsafat atau metafisika dan agama ini sama dengan frasa populer yang mengatakan bahwa sekarang filsafat atau metafisika, dan juga agama, telah mati. Dengan keunggulan metodenya dan dengan cerita kesuksesannya kita dapat mengandalkan diri semata-mata pada sains. Bahkan sudah pantas pula kalau sains menyombongkan diri, demikian tulisan Nirwan Arsuka di Facebook.

Tapi, di sisi lain, ada juga tulisan yang melihat sains dengan lebih realistis. Posisi ini mengatakan bahwa sains memang menghasilkan banyak kemajuan dan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi umat manusia, namun ini tidak berarti bahwa sains tidak mengandung kelemahan atau keterbatasan. Sains bukanlah segala-galanya. Sains hanyalah salah satu cara dalam menyingkapkan realitas. Karena itu, kita masih tetap membutuhkan filsafat, metafisika, agama, dan lain-lain.

Baca Juga  Tadarus Litapdamas (14): Ada Spirit Dakwah Walisongo Dalam Pengembangan PTKIN

Di tengah-tengah keriuhan pembicaraan yang diwarnai dengan klaim-klaim tersebut saya melihat ada hal yang masih luput dari perhatian, dan itu membuat pertukaran pikiran ini belum begitu produktif. Yang luput itu adalah belum jelasnya batas-batas antara sains, filsafat/metafisika dan agama.

Seandainya batas-batas ini jelas, maka menurut saya kita tidak lagi menganggap sains sedemikian hebat atau agung, sedemikian agungnya, sehingga ia dianggap pantas membuat metafisika dan agama menjadi tidak relevan. Seandainya batas-batas ini jelas, maka kita akan sadar bahwa, dengan segala keberhasilan dan kesuksesannya yang memang tidak dapat disangkal, sains tetaplah sains, ia tidak mungkin melampaui hakikatnya sekalipun ia sedemikian gemilang; dan sejalan dengan itu filsafat tetaplah filsafat, dan agama tetaplah agama. Masing-masing memiliki wilayah, metode, epistemologi dan tugasnya sendiri-sendiri.

Tulisan ini berusaha memperlihatkan garis pemisah (demarkasi) antara sains, filsafat atau metafisika. Upaya itu saya lakukan dengan memperlihatkan karakter-karakter keduanya. Di sini yang saya maksud dengan sains adalah semua jenis ilmu pengetahuan, dan secara lebih khusus ilmu pengetahuan alam. Saya juga tidak membedakan secara ketat antara filsafat dan metafisika, sekalipun di dalam diskursus filsafat, kedua disiplin itu harus dibedakan.

Objek Material dan Objek Formal
Untuk memperlihatkan demarkasi tersebut, saya akan mulai dengan apa yang dalam filsafat ilmu disebut objek formal dan objek material ilmu. Apakah yang membedakan sebuah ilmu dari ilmu lainnya? Apa yang membedakan ilmu kedokteran dari ilmu psikologi dan dari ilmu anatomi? Ketiga ilmu ini sama-sama meneliti tubuh manusia. Tapi mengapa mereka berbeda sebagai ilmu? Apa yang membedakan ilmu ekonomi dan ilmu politik? Keduanya sama-sama meneliti masyarakat, tapi mengapa mereka berbeda?

Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah objek yang diteliti oleh ilmu tersebut, sementara objek formal adalah sudut pandang atau perspektif yang digunakan oleh ilmu itu dalam meneliti objek materialnya. Objek material ilmu-ilmu itu bisa sama, tapi objek formalnya pasti berbeda. Ilmu kedokteran, ilmu psikologi, dan ilmu anatomi memiliki objek material yang sama, yakni tubuh manusia, namun mereka memiliki objek formal yang berbeda dalam meneliti tubuh manusia. Ilmu kedokteran meneliti sistem-sistem mekanis dalam tubuh manusia, ilmu psikologi meneliti kejiwaan, ilmu anatonomi meneliti struktur tubuh manusia.

Baca Juga  Betulkah Toleransi Mencampuradukkan Akidah? (1)

Masyarakat juga merupakan objek material bagi banyak ilmu. Ilmu politik melihat masyarakat dari perspektif penataan kehidupan bersama, ilmu ekonomi melihatnya dari perspektif cara-cara masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka, ilmu kriminologi melihat fenomena kejahatan dalam masyarakat, dan lain-lain. Jadi, objek formal itulah yang membedakan sebuah ilmu dari ilmu lainnya.

Metode yang digunakan oleh setiap ilmu kemudian tergantung dari objek formal ini. Nah, sekarang apakah objek material dan objek formal sains dan filsafat?

Sains
Objek material sains atau ilmu alam adalah dunia pengalaman empiris, sementara objek formalnya adalah keterukuran objek-objek empiris tersebut. Sains meneliti alam dengan tujuan agar fenomena-fenomena alam itu dapat dikontrol, dijelaskan, dikendalikan atau diprediksi. Untuk itu, sains berusaha mencari hukum-hukum yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam yang diteliti. Upaya mencari hukum tersebut dilakukan melalui metode eksperimen, observasi, percobaan, perumusan teori dan pengujian kembali teori tersebut ke dunia pengalaman empiris itu sendiri.

Berdasarkan karakter di atas, kita dapat menentukan beberapa ciri yang terdapat dalam semua ilmu, yang membedakannya dari filsafat.

Pertama, sains itu bersifat empiris, artinya, objeknya adalah bagian tertentu dari dunia pengalaman empiris (empirische Erfahrungswelt). Empiris artinya berada di dalam ruang dan waktu. Kata “bagian tertentu” ini perlu digaris bawahi. Bagian tertentu berarti bahwa yang diteliti hanyalah salah satu aspek dari dunia pengalaman empiris itu. Misalnya, mengenai virus, mengenai gravitasi, mengenai gempa bumi, planet-planet, dan lain-lain. Bahkan penelitian mengenai planet pun harus terfokus pada aspek tertentu dari planet tersebut, misalnya strukturnya, dan bukan keseluruhan hal ikhwal mengenai planet tersebut. Ilmu pengetahuan tidak mampu meneliti keseluruhan totalitas dunia pengalaman empiris yang sedemikian luas.

Keterbatasan sains ini diakui oleh para raksasa sains itu sendiri. Teori Relativitas Khusus Einstein (1905) memperlihatkan bahwa tidak ada konsep mengenai keseluruhan (das Ganze) yang dapat dioperasionalkan karena tidak ada sistem referensi yang serba mencakup dan sempurna; yang ada hanya relasi-relasi dalam sebuah sistem yang otonom.

Baca Juga  Betulkah Toleransi Mencampuradukkan Akidah? (2)

Prinsip Ketidakpastian Heisenberg (1927) bahkan mengatakan bahwa kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan yang lengkap mengenai sebuah sistem, sebab keterfokusan pada dimensi yang satu telah menyebabkan pengetahuan pada dimensi yang lain menjadi tidak mungkin.

Teorema Ketidaksempurnaan Gödel (1931) juga mengatakan hal yang kurang lebih sama, yakni bahwa isi kebenaran sistem-sistem formal tidak pernah dapat seluruhnya ditangkap. Teorema Gödel ini telah memvonis ketidakmungkinan mencapai sebuah sains universal yang dapat menjelaskan seluruh semesta dengan model matematika (mathesis universalis). “Ilmu pengetahuan tidak mungkin dapat memahami sebuah totalitas; semua pengetahuan selalu limitatif, terbatas” (Philosophie und Wissenschaft, Hg. Willi Oelmüller, 1988, hal. 120 dst).

Kedua, sains itu secara tematis reduktif. Artinya, objek itu dilihat atau diteliti dari sudut pandang tertentu (objek formal) yang terbatas, sedangkan sudut pandang lainnya diabaikan. Sosiologi misalnya melihat manusia dari sudut pandang keberadaannya dengan dengan manusia lain, dan mengabaikan aspek-aspek psikologis, mental atau ekonomis dari manusia-manusia tersebut. Sama hanya, sekalipun dewasa ini penelitian mengenai neuron-neuron di dalam otak sudah sedemikian maju, hal itu tidak dapat menjelaskan keseluruhan fenomena kesadaran (consciousness); fenomena mental tidak dapat diindentikkan sepenuhnya dengan realitas fisikal-natural.

Ketiga, sains itu secara metodis abstrak. Artinya, sains hanya meneliti objek sejauh itu diizinkan oleh metode yang digunakannya; metode itu mengabaikan (mengabstrasikan) bidang-bidang lain yang berada di luar cakupannya. Ini karena sebelum sains meneliti objeknya, ia harus lebih dulu menentukan metode penelitiannya. Bila kita misalnya meneliti kejiwaan manusia dengan metode psikoanalisis, maka kita memberikan perhatian pada dimensi-dimensi bawah sadar yang terdapat dalam diri orang tersebut, dan tidak memperhatikan aspek-aspek lain dari kejiwaannya. Atau bila kita menganalisis masyarakat dengan metode Marxis, maka kita memusatkan perhatian pada faktor-faktor ekonomis atau pertentangan/perbedaan kelas dalam masyarakat itu, dan mengabaikan faktor-faktor lainnya. [MZ]

[Bersambung]

Fitzerald Kennedy Sitorus Alumnus Goethe-Universität Frankfurt am Main Jerman; Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan