Beruntung aku tidak telat tiba di asrama, azan maghrib terdengar bersahutan dari hampir seluruh penjuru kota yang masyhur dengan julukan seribu menara ini. Ada ammu Husein yang sedang berjaga saat aku menulis namaku di buku presensi, jangan ditanya jika telat sebentar saja ammu yang terkenal garang ini tak segan memarahi kami dan bonus tatapan mata tajam yang membuat ciut. Tidak hanya itu, jika kami datang lewat jam malam maka nama kami harus ditulis di buku ta’khir atau bisa saja musyrif memberi peringatan keterlambatan.
Ammu yang menjaga di pos gerbang bergantian, karakternya pun macam-macam. Ada yang garang seperti Ammu Husein, ada yang lucu dan suka guyon seperti Ammu Fateh, ada pula yang cuek dan tidak terlalu detail memperhatikan kedatangan penghuni asrama seperti Ammu Jalil.
Langkahku pelan mulai mengayun masuk ke dalam area asrama. Bu’uts ini memiliki lima gedung yang kami sebut imaroh. Dari imaroh satu ke imaroh lain jaraknya tidak terlalu jauh, masih satu kompleks. Kamarku berada di lantai dua imaroh satu. Untuk sampai ke sana aku harus melewati taman di tengah kompleks. Di taman asrama banaat ini, biasanya kami olahraga, murojaah hafalan atau sekdar duduk mengobrol dengan sesama mahasiswi yang tinggal di sini.
“Izzayik, Ya Hanaa. Min Ein?” sapa Ablah Bebah saat aku melintas melewati taman yang menjadi titik pusat asrama. Ablah Bebah adalah pengurus yang biasa mengurus bagian dapur dan urusan menu makanan kami.
“Min Tahrir, Ablah…” jawabku lirih dan mimik wajah lelah yang sengaja kutampakkan. Dengan Ablah Bebah aku memang cukup dekat. Bukan hanya aku, tetapi penghuni asrama di imaroh lainnya pun terlihat nyaman dengan keramahan dan sikap Ablah Bebah yang ngayomi.
Kulihat Ablah menenteng kresek putih besar seperti pakaian. Mungkin baru selesai ambil baju bersih. Ablah membalas dengan anggukan dan mempersilakanku kembali ke kamar untuk istirahat.
“Assalamualaikum,” ucapku begitu tiba di depan pintu kamar. Sepatu flat warna maroon yang sedari pagi menemani aktifitasku, kulepas dan kukembalikan ke tempat biasa aku meletakkannya. Sepatu itu kubawa dari Indonesia, merk lokal yang sangat nyaman dan awet. Kubeli saat mengantar Ibuk berbelanja di Pasar Kesilir, Klaten.
“Waalaikumsalam, lemes banget, Han. Tumben baru pulang? Jadi ke Tahrir?”
Najma yang sedang memainkan gawai di atas tempat tidur melirikku sekilas lalu kembali fokus ke benda kesayangan di tangannya. Aku hanya mengangguk dan langsung menghempaskan tubuh ke kasur putih yang masih terbungkus plastik di bagian bawahnya. Kasur ini baru diganti tiga hari lalu oleh pihak asrama dan sengaja hanya kulepas plastik bagian atasnya agar tidak cepat kotor. Kamar memang tempat paling nyaman untuk melepas penat dan lelah.
Di kamar seluas 4×5 meter ini, aku tinggal berdua dengan Najma gadis campuran Pakistan-Australia-Jawa. Tidak usah dibayangkan bagaimana rupa wajahnya, nyaris sempuna tanpa celah. Cantik, manis, elok dan sedap dipandang. Tak heran dia sering dibanjiri tawaran endorsement di media sosial. Di sini pun dia beberapa kali mendapat tawaran menjadi model katalog produk lokal seperti kohl, abaya, bahkan terakhir dia nyaris menjadi salah satu kandidat brand ambassador produk kristal ternama di Mesir, tapi tidak dia ambil karena takut akan bermasalah dengan pihak asrama. Ketika pertama kali aku berselancar di akun instagram miliknya, cukup mengejutkan karena followernya sudah ratusan ribu. Sudah layak sepertinya disebut selebgram. Najma tipe orang yang ramah dan ceria, dia bisa membuatku nyaman bahkan di hari pertama kami bertemu.
Oh ya, walaupun wajahnya sangat tidak Indonesia Najma lahir dan dibesarkan ditanah Jawa. Awal kali kami bertemu, aku sempat ragu untuk menyapa menggunakan bahasa apa. Bahkan kupikir salah kamar karena di list nama yang kuterima, aku mendapatkan teman kamar sesama Indonesia. Begitu melihat sosok Najma yang sedang berkemas di kamar kala itu, aku jadi tidak yakin. Wajahnya lebih mirip bule kearab-araban apalagi bola matanya coklat indah sekali dalam bingkaian bulu mata panjang nan lentik.
“Hanaa Shafiya? Wah, teman sekamarku. Ayuk sini masuk.”
Kalimat pertama berbahasa Indonesia itulah yang akhirnya meruntuhkan keraguanku. Gadis berwajah super cantik itu bahkan langsung memeluk dan membantuku membereskan koper dan isinya di hari pertama kami bertemu. Tanpa canggung tawa dan canda kami pun melebur.
Melewati masa-masa awal di Mesir ini, tentu saja tidak mudah buatku. Di tempat yang semuanya serba baru. Cuaca, kebiaasaan, bahasa, pergaulan bahkan makanan. Untung saja, aku tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa menyesuaikan diri secara fisik dan mental. Semua bisa aku lalui nyaris tanpa kendala berarti.
Berbicara tentang makanan Mesir tentu saja akan langsung teringat dengan isy. Isy ini adalah makanan pokok di sini. Semacam roti tawar terbuat dari gandum tetapi lebih berserat dan padat. Menurutku, isy lebih lezat jika disantap bersama gibdah di dalamnya. Selain menyamarkan rasa tawar yang tidak terlalu kusukai, gibdah juga menjadi semacam lauk buatku. Tidak hanya dengan gibdah, isy juga bisa dinikmati dengan ayam panggang, sarden atau cukup dibiarkan kosong dan dinikmati dengan celupan saos pedas. Isy yang masih hangat akan mengembang dan berongga di tengahnya, lalu akan berangsur menyusut kempis ketika sudah mulai dingin.
Aku jadi rindu masakan Ibuk. Menu di rumah kami memang sederhana, tapi cita rasa yang kami cecap sungguh tiada dua. Apalagi di saat jauh dari keluarga seperti ini. Sayur asem kecipir, sambal teri, oseng ikan asin klothok, tempe goreng, tahu goreng dan semua menu khas rumah kami bergantian berjejal di otakku. Kuputuskan untuk menelepon Ibuk.
“Ibuk masak apa hari ini?” tanyaku setelah salam dan menanyakan kabar. Di benakku secara otomatis menmpresentasikan satu persatu sudut rumah yang kurindukan setiap kali menelepon Ibuk. Kali ini ditambah menu makanan andalan yang berjejer di meja makan kayu tanpa taplak meja dengan tudung saji warna biru tua. Hmm, aku menelan ludah.
“Sayur asem, dadar jagung sama sambel teri, Nduk. Kamu sehat, kan?”
Bukanyya langsung menjawab, otakku sibuk membayangkan lezatnya menyuapkan nasi hangat dengan sayur asem dan dadar jagung plus sambel teri. Rasanya seperti sudah di ujung lidah, kasihan perutku di saat lapar dan terbayang masakan rumah, Ibuk malah menyebut menu kesukaanku, dadar jagung dan sambel teri. Dadar jagung memang menu sederhana, terbuat dari jagung muda dan bumbu yang sudah diracik penuh cita rasa. Perpaduan bawang merah, bawang putih, kunyit, laos dan cabe menjadi andalan Ibuk ketika masak. Aku juga sering membuat dadar jagung sendiri di rumah. Walau rasanya belum senikmat buatan Ibuk padahal kubuat dengan resep yang sama.
“Nduk, gimana kabarnya Ning Lisa? Sehat, kan? Kemarin Bapak sowan Kyai Salam katanya Ning Lisa habis sakit dan sekeluarga jenguk ke sana.”
“Alhamdulillah, sehat, Buk. Besok lusa saya ada acara sama Ning Lisa. Pas Abi Kyai ke sini saya juga ikut sowan sama teman-teman alumni.”
“Oh ya sukurlah. Sakit apa toh, Nduk? Kemarin pas Ning Lisa opname itu semua jamaah ngaji dan santri diminta baca ratibul haddad dan solawat thibbil quluub khusus Ning Lisa.”
“Nggih ta, Buk? Hanaa kurang paham sakitnya. Katanya perut yang sakit. Ning Lisa juga ga banyak cerita soal itu. Pas dirawat di rumah sakit malah gak boleh dijenguk, saya njenguk pas sudah kembali ke flatnya.”
Sewaktu masih mondok aku dan Ning Lisa memang cukup akrab, usianya satu tahun di atasku. Ning Lisa walau putri kyai di tempatku mondok, tapi tidak pernah gumede apalagi sok-sokan. Orangnya ceria, energik dan gaul kalau bahasa anak santri bilang. Ning Lisa tidak sungakn untuk turut makan di talam atau piring besar berebut lodeh terong dan ikan asin bersama santri. Bahkan tak jarang Ning Lisa tidur di musala berbaring tanpa alas di atas lantai yang dingin bersama kami. Wajahnya juga ayu. Ibuk bilang mirip artis Bollywood lawas, Pretty Zinta.
Setelah cukup lama mengobrol aku pamit menutup telepon karena jam di ponsel menunjukkan tanda sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Sementara aku harus segera mandi dan bersiap ke masjid asrama untuk salat berjamaah. Lapar yang tadi mendera kuabaikan, aku tidak ingin makan selain menu yang tadi disebutkan Ibuk. Perut dan lidahku pasti kecewa karena jadi korban PHP.
******
“Ya Allah, terus? Kamu gak teriak?”
Najma langsung meletakkan handphone-nya. Dengan mata terbelalak dia menatapku yang bercerita tentang pengalaman tadi sore sewaktu di bus.
“Mau teriak, tapi aku takut kalau dia malah nekad dan menusukkan pisaunya. Kan ngeri?”
Najma yang berada di tempat tidur di seberangku, bergidik. mungkin sama sepertiku, dia tidak menyangka kejadian menegangkan itu akan menimpaku. Aku beranjak dari tempat tidur, meraih gagang lemari pendingin dan menenggak sebotol air mineral yang tak begitu dingin.
“Terus, gimana? Ayo dong lanjutkan,” pinta Najma dengan nada jelas ia tak sabar menanti bagaimana aku lolos dari bahaya. Aku sengaja menenggak air di tanganku sekali lagi. Memperlambat tegukannya agar Najma semakin dIbukru rasa penasaran.
“Ish, Hanaa. Terus gimana?”
Aku tahu persis. Anak ini tidak sabaran. Tawaku tak tertahan melihat melihatnya. Tak ingin dia melemparku dengan buku di sebelahnya, aku pun melanjutkan ceruta bagaimana keberanian seorang pria asing tak kukenal yang tanpa ragu memnciutkan nyali dua orang penyamun di bus yang kutumpangi.
“Hah? Keren banget. Terus, terus?”
“Kayak tukang parkir kamu. Terus terus…”
“Kamu loh cerita nanggung-nanggung. Masnya gimana? Cakep, gak? Kenalan?”
“Kasih tau nggak ya…”
Bantal boneka sapi mendarat tepat di wajahku. Tawa pun meledak melihat tingkah kesal Najma. Sengaja aku tidak menanggapi, malah beranjak berdiri dari tempat tidur dan keluar menuju kamar mandi. Sudah menjadi kebiasaan setiap sebelum pergi tidur aku berwudhu sekaligus membersihkan wajah terlebih dahulu. Kamar mandi asrama terpisah dua kamar dari kamarku. Sebelum berwudhu aku terlebih dahulu mencuci wajahku di wastafel dengan cermin besarnya. Ada Yumna, Diana dan Erin juga di sana. Sesama masisir di Bu’uts. Setelah selesai urusanku di kamar mandi, aku kembali ke kamar. Tak sabar melihat wajah kesal Najma.
Ketika masuk, kulihat Najma tidur miring membelakangiku. Mungkin dia sudah tidur. Selain cuci muka dan berwudhu, tak lupa kuoleskan krim sejenis essence untuk menyegarkan wajahku. Kebiasaan ini kutiru dari Najma.
“Mau tidur? Jangan dulu dong…” rengek Najma bernada sok imut saat aku sedang menepuk-nepuk wajahku yang sudah kuoles essence.
“Aku capek banget, Zah. Kamu gak ngantuk? Udah mau pukul sebelas malam loh ini. Besok pagi ya? dari pada nanti kutinggal tidur lagi, terus kamu kesel lagi?” tawarku setengah menggoda.
“Iya deh, iya. Besok ya. Habis murojaah subuh ya?”
Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Tak berapa lama setelah kurebahkan tubuh di tempat tidur, aku sudah tidak mendengar suara Najma lagi. Lelap. [MZ]
Bersambung