Fitzerald Kennedy Sitorus Alumnus Goethe-Universität Frankfurt am Main Jerman; Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan

Garis Pemisah antara Sains dan Filsafat dan Kematian Metafisika [Bag 3 Habis]

4 min read

Foto: thebiologist.rsb.org.uk

Contoh-contoh Pertanyaan Sains:
Berapakah gigi beruang es? Dalam kondisi bagaimana tembaga melebur? Siapakah penemu benua Australia? Seberapa cepatkah benda padat jatuh? Seberapa berbahayakah tenaga atom? Bagaimana cara meraih kekuasaan politik? Zat apakah yang dikandung oleh jamur? Apakah bahasa Indonesia termasuk rumpun bahasa Melayu? Berapakah diameter bumi? Bagaimana virus corona berkembang biak? dst

Contoh-contoh Pertanyaan Filsafat:
Mengapa ada Ada (Sein) dan bukan Ketiadaan (Nichts)? Apakah itu pengetahuan? Apa itu kebenaran? Apa itu manusia? Apakah kebebasan memungkinkan determinasi-diri? Apakah manusia bebas? Apa itu yang baik secara etis? Apakah sejarah mempunyai makna dan tujuan? Apa itu keindahan? Apakah manusia memiliki jiwa? Apakah Tuhan bereksistensi? Ke mana saya setelah mati? Mengapa harus saya yang kena covid-19? Apakah makna hidupku? Apa itu hidup yang baik? Apa itu adil? Bagaimana aku harus hidup? Dst

Pertanyaan-pertanyaan filsafat ini tentu tidak dapat dijawab oleh sains sebab pertanyaan itu sendiri tidak menyangkut pengalaman dunia empiris. Tapi jangan katakan bahwa pertanyaan itu tidak sah. Pertanyaan itu sah karena menyangkut makna kehidupan atau realitas ultim kehidupan itu sendiri. Sains, justru karena mereka bersifat khusus dan empiris, tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai makna eksistensial manusia itu sendiri. Tidak ada sains atau ilmu pengetahuan yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial demikian.

Bagaimana Hubungan Sains dan Filsafat?
Kemajuan sains tidak jarang membawa mereka pada sebuah titik di mana mereka terbentur pada masalah-masalah yang tidak dapat dijawabnya sendiri. Ada banyak contoh mengenai hal ini.

Perkembangan bioteknologi dan ilmu genetika misalnya memungkinkan manusia melakukan cloning atas manusia. Tapi apakah cloning itu dapat dibenarkan secara etis? Sampai sekarang ini masih menjadi bahan perdebatan. Anehnya, yang terlibat dalam perdebatan itu bukanlah para ahli yang mengetahui ilmu kloning, melainkan para ahli bidang etika, filsafat manusia dll. Ilmu cloning itu sendiri tidak dapat lagi menjawab pertanyaan “apakah kloning manusia itu boleh?” karena hal itu sudah berada di luar wilayah kompetensinya. Kita juga melihat bahwa kemajuan teknik informatika telah memungkinkan manusia menghasilkan inteligensi buatan. Pikiran manusia bisa dibentuk sedemikian rupa sehingga ia misalnya menjadi sangat cerdas atau sangat berani. Tapi apakah ini dapat dibenarkan? Apakah Anda setuju kalau ilmu pengetahuan menciptakan manusia-manusia seperti robot? Ilmu pengetahuan mampu melakukan itu, tapi apakah itu boleh, dan apakah itu perlu? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu tersebut.

Baca Juga  "Ngelmu Syahadat” (1): Kesedihan sebagai Jalan Pengetahuan

Banyak sekali masalah etis yang sangat serius yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu yang sedemikian cepat dan maju dewasa ini. Apakah cangkok jantung dengan menggunakan organ jantung hewan tertentu misalnya dapat dibenarkan secara etis manusiawi? Ilmu kedokteran mampu melakukan euthanasia, tapi apakah itu dapat dibenarkan? Pertanyaan ini tidak dapat lagi dijawab oleh ilmu kedokteran tu sendiri. Sekarang telah ada ilmu yang mampu melakukan campur tangan kepada otak manusia, sehingga dengan mentrigger bagian tertentu dari otak, kita dapat menciptakan manusia-manusia seperti yang kita inginkan, misalnya menjadi sangat pintar, sangat religius, sangat rajin, sangat jahat atau sangat destruktif. Apakah ini dapat dibenarkan? Kalaupun dapat dibenarkan, apakah itu perlu dilakukan?

Di sinilah filsafat turun tangan membantu menjawab masalah yang berada di luar kompetensi ilmu-ilmu khusus tersebut. Ilmu-ilmu pengetahuan itu tidak dapat menjawab pertanyaan: apakah kita dapat melakukan apa yang mampu kita lakukan? Sampai sejauh mana kita dapat dan perlu melakukan apa yang mampu kita lakukan itu? Apa kriterianya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kompetensi ilmu filsafat. Filsafat juga memberi jawaban misalnya mengenai kesahihan etis dari metode-metode yang digunakan oleh ilmu tertentu. Filsafat juga berguna untuk memberikan penjelasan atas implikasi-implikasi yang disebabkan oleh ilmu-ilmu itu. Tentu filsafat tidak dapat sendirian. Ia juga harus bekerja sama dengan ilmu-ilmu lainnya itu.

Oleh karena itulah jamak terjadi, seorang saintis yang tidak puas terhadap pendekatan ilmunya sendiri, kemudian belajar filsafat, dan memperoleh wawasan yang lebih luas dan dapat melihat ilmunya sendiri dengan lebih kritis. Saintis macam ini kemudian sering menghasilkan gagasan inovatif dalam bidang ilmunya. Ke dalam kelompok saintis ini kita dapat memasukkan Thomas Kuhn, Paul K. Feyerabend, Imre Lakatos, Karl R. Popper, dan lain-lain.

Baca Juga  Obituari: Jalan Kebudayaan Bisri Effendy (1953-2020)

Kematian Metafisika?
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata filsafat belum mati, dan tidak mungkin mati. Sekalipun sains sudah sedemikian maju filsafat tetap memiliki alasan untuk hidup. Sains tidak pernah dapat menggantikan tugas dan fungsi filsafat dan agama.

Hidup kita akan terlalu dangkal bila semuanya dijelaskan dengan penjelasan empiris-ilmiah. Naturalisme tidak pernah dapat memuaskan manusia. Manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti di atas akan selalu dilontarkan oleh manusia, sehebat apapun kemajuan yang telah dicapai oleh sains. Sains mungkin dapat menjelaskan asal usul alam semesta dengan teori Big Bang. Tapi siapa yang dapat menghentikan akal budi manusia untuk tidak bertanya: sebelum Big Bang ada apa? Kalau sains memberikan jawaban untuk itu, manusia juga akan bertanya: sebelum itu ada apa?

Manusia tidak akan pernah berhenti menciptakan sistem-sistem metafisika yang membantunya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ultim menyangkut eksistensinya. Karena itu Heidegger benar ketika ia mengatakan bahwa selama manusia merupakan animal rationale, ia sekaligus merupakan animal metaphysicum (as long as man remains the animal rationale he is also the animal metaphysicum). (The Way Back into the Ground of Metaphysics, hal. 209).

Benar, Habermas berbicara mengenai postmetafisika. Namun, yang dimaksud Habermas dengan frasa itu bukanlah bahwa di masa depan tidak ada lagi metafisika. Ciri metafisika menurut Habermas adalah pemikiran identitas, idealisme, paradigma filsafat kesadaran dan prioritas teori atas praktik. Itulah yang sudah berlalu menurut Habermas. Postmetafisika dalam pengertian Habermas adalah post-idealisme, post-platonisme. Dengan kata lain, era sekarang tidak lagi mengakui adanya kebenaran tunggal, seperti Ide Plato, yang mesti menjadi acuan bagi semua.

Metafisika, demikian Kant, adalah hakikat manusia (Metaphysik als Naturanlage). Mengapa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan Kant pada kalimat pertama bukunya, Kritik der reinen Vernunft: karena manusia selalu dibebani oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dihindari tapi yang sekaligus tidak dapat dijawab, karena pertanyaan-pertanyaan itu telah melampaui pikiran kognitifnya, dan untuk itulah manusia menciptakan sistem-sistem metafisika.
Saya pikir uraian di atas sudah cukup memperlihatkan bahwa metafisika merupakan keniscayaan eksistensial bagi manusia itu sendiri.

Baca Juga  Hingga Ujung Nyawa (4): Kerinduan Seorang Ibu

Kesimpulan
Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan kelemahan, justru keterbatasan itulah kekuatan sains. Dengan keterbatasan itu, sains dapat melakukan penelitian yang sedemikian mendalam pada objek tertentu sehingga dengan demikian kita memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai objek tersebut. Goethe pernah mengatakan, “barang siapa ingin menjadi besar, ia harus mampu membatasi dirinya”. Pembatasan diri ini bukan hanya terjadi pada sains. Pada filsafat juga itu terjadi. Sekarang orang tidak lagi berbicara mengenai filsafat sosial, misalnya, karena wilayah itu terlalu luas. Filsafat sosial kemudian dibagi ke dalam wilayah lebih spesisik, misalnya filsafat politik, filsafat ekonomi, dll.

Karena itu, menurut saya, sikap yang mengagungkan bidang sendiri tidak akan membawa kita ke mana-mana. Uraian saya di atas juga bukanlah sebuah pengagungan filsafat. Itu adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan garis demarkasi dan tugas serta fungsi kedua disiplin ilmu tersebut. Sainstisme, sebagaimana diusahakan oleh para filsuf neopositivis Lingkaran Wina, adalah buah dari kebanggaan berlebihan terhadap sains. Saintisme sama dengan naturalisme, menganggap manusia semata-mata sama dengan realitas fisik, seperti batu atau pohon. Karena itu, saintisme adalah fundamentalisme sains. Saintisme adalah dehumanisasi. Saintisme adalah kedunguan.

Saya yakin, sebagaimana ilmu alam maju karena berkolaborasi dengan matematika, kita juga akan maju melalui kerja sama antar-ilmu. Inilah menurut saya salah satu kunci kemajuan ilmu pengetahuan di negara-negara Eropa. Saintis, filsuf, dan teolog duduk bersama membicarakan tema Tuhan dan Big Bang. Para teolog dan saintis berdiskusi mengenai bagaimana Tuhan bertindak di dunia ini. Rekaman atau teks mengenai diskusi-diskusi seperti ini dapat dengan mudah kita temukan di Youtube atau media-media sosial. Di Jerman, misalnya, filsuf Otfried Höffe termasuk dalam anggota komisi ahli yang dibentuk oleh pemerintahan negara bagian NRW untuk membantu pemerintah menangani dampak Covid-19. [MZ]

Fitzerald Kennedy Sitorus Alumnus Goethe-Universität Frankfurt am Main Jerman; Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan