Fina Syarifah Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Rekonsepsi Makna Kafir? Begini Respons Elite Nahdliyyin di Jawa Timur – Bagian Akhir

2 min read

-Lanjutan dari Halaman Sebelumnya-

Pendapat yang sedikit berbeda dinyatakan Prof. KH Ali Maschan Moesa, pengasuh Pondok Pesantren Luhur al-Husna sekaligus mantan ketua PWNU Jatim 2007. Menurut beliau Indonesia saat ini sedang dalam situasi yang baik-baik saja dan kelompok Islam garis keras semakin menurun.

Adapun respons Kiai Ali Moesa mengenai hasil Munas Konbes:

“Munas NU itu sebenarnya meluruskan bahwa selama ini garis keras selalu berpendapat di dalam Alquran itu ada dikotomi Muslim dan Kafir. Namun dalam Alquran klasifikasinya bukan hanya itu. Ada mukmin, kafir, Ahl al-Kitab (Majusi, Sabiin, Nasrani, dan Yahudi). Dalam Alquran bukan hanya berbicara mengenai kalau tidak mukmin berarti kafir. Ya tidak seperti itu.

Pengikut nabi Isa yang asli dia bertauhid, maka dari itu jika laki-laki Muslim menikahi perempuan Nasrani boleh, tapi dalam pengertian keyakinannya belum berubah masih mengikuti Nabi Isa. Yahudi bukan nama agama namun nama kelompok. Agama menurut Alquran hanya satu Islam, tapi tidak dipaksa. Lakum dīnukum waliya dīn. Yang berbeda adalah syariatnya, jadi keputuan munas itu adalah untuk meluruskan. Namanya komunitas di dalam Alquran itu macam-macam, sama seperti umat nabi Muhammad. Ada yang mukmin, ada yang kafir.

Bagi Kiai Ali Maschan, tidak boleh ada satu atau sekelompok orang yang berhak mengambil alih otoritas Tuhan untuk menghukum dan bertindak atas nama Tuhan.

Beliau melanjutkan penjelasannya:

Dalam Alquran, ada beberapa penyebutan. Ada iman, kafir, munafik. Yang kafir itu dari segi keyakinan. Tidak percaya pada Tuhan adalah kafir. Di era Jahiliyyah itu tidak disebut kafir tapi musyrikin, yang menyembah allah itu musyrik seperti Abu Jahal. Jadi kafir itu memiliki makna yang sangat luas.

Baca Juga  Manusia, Sejarah, dan Akidah Asy'ariyyah

Dengan beragamnya pemaknaan kafir, Kiai Moesa secara akademis mengacu pada penulisan yang telah dilakukan oleh Harifuddin Cawidu yang membagi jenis kafir menjadi tujuh (Kafir Ingkar, Juhud, Nifaq, Syirik, Nikmat, al-Riddah, Ahl al-Kitab). Sehingga apabila ada perbedaan dalam mendefinisikan istilah Tuhan, maka perbedaan tersebut jangan melalui aksi saling tuding kafir dan sesat. Akibatnya akan banyak khazanah ilmu yang diwariskan oleh para ulama besat hanya dinikmati oleh kalangan terbatas.

Komunitas Muslim radikal pada dasarnya memiliki pandangan kepada pemahaman keberagamaan secara normatif, sehingga mudah menerima ajaran-ajaran agama secara doktrinal dengan semangat keagamaan apologetis. Seseorang yang memiliki pemikiran yang demikian akan cepat menolak pikiran-pikiran substansialistik dan intelektualistik yang dimiliki oleh kaum intelektual.

Agama memiliki ruang lingkup yang sangat luas, bukan hanya semata-mata sebagai doktrin yang sakral, tetapi sudah melembaga dalam dimensi sosial yang berhubungan dengan konsepsi, mitos atau simbol keagamaan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga terwujud fenomena sosio-kultural pada kelompok masyarakat tertentu.

Dalam konteks seperti ini, setiap kelompok dalam satu agama tidak ada yang sama dalam mengekspresikan ciri beragama. Ini yang dinamakan ekspresi ajaran agama yang dipengaruhi oleh perbedaan penafsiran dan latar belakang sosial budaya.

Toleransi itu penting untuk diterapkan. Namun, masalah aqidah dan masalah sosial adalah dua hal yang berbeda, sehingga tentu ada batasan-batasan dalam menerapkan sikap toleransi. Sebelumnya, harus diketahui lebih dahulu antara agama dan keberagamaan.

Prof Abd A’la mengatakan bahwa agama ialah sebuah metahistoris sementara keberagamaan adalah bagaimana cara manusia dalam memahami agama. Maka dari itu, Islam tidak menyalahkan seseorang yang mempercayai agama selain Islam, namun secara doktrin tentu itu bertentangan dengan agama Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Secara realitas, pluralitas—bukan pluralisme dalam arti sempit—dalam beragama ialah situasi yang telah dihendaki oleh Allah.

Baca Juga  Covid-19 Menyadarkan Cinta Kasih Seorang Istri

Pemahaman tokoh elite NU dalam memaknai kafir adalah bagian dari merespons kenyataan pluralitas pemikiran keagamaan yang ada. Mereka merekonstruksi konsep kafir “lebih lunak”. Bahwa seseorang dikatakan kafir bukan hanya sebatas non-Muslim, namun ada beberapa jenis kafir seperti kufur nikmat, dan kufur nifaq. Lebih lanjut, secara terminologis kafir berarti “menutup”, maka menutupi sebuah kebenaran, menutup batin atau mata terhadap seseorang yang membutuhkan pertolongan namun kita tidak membantu dapat dikategori sebagai kafir.

Maka dari itu, perlu diberi ketegasan bahwa yang dapat memvonis kafir hanya Allah Swt. bukan kita sebagai manusia. Berhubugan dengan toleransi atas isu pluralitas agama di Indonsia, elite Nahdliyin Jawa Timur juga memberikan batasan antara toleransi agama dan toleransi atas keberagaman. [MZ]

Fina Syarifah Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya