Ust. El Fajri Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Ngaji Sullam Al-Tawfiq [7]: Siapa Saja Yang Wajib Mendisiplinkan Orang Untuk Salat?

2 min read

BismillāhirrahmānirrahīmAlhamdulillāhi thumma al-salāt wa al-salām ‘alā rasūlillāhWa ilā Allah narju rahmatahu wa ra’fatah.

يَجِبُ على وَلِيِّ الصَّبِيِّ والصَّبِيَّةِ المُمَيِّزَيْنِ أنْ يَأْمُرَهما بِالصَّلاةِ ويُعَلِّمَهُما أَحْكامَها بَعْدَ سَبْعِ سِنِينَ، ويَضْرِبَهُما على تَرْكِها بَعْدَ عَشْرِ سِنِينَ، كَصَوْمٍ أَطاقاهُ، ويَجِبُ عليه أَيْضًا تَعْلِيمُهُما ما يَجِبُ عليهما وما يَحْرُمُ.
ويَجِبُ على وُلاةِ الأمْرِ قَتْلُ تارِكِ الصَّلاةِ كَسَلًا إنْ لم يَتُبْ، وحُكْمُهُ مُسْلِمٌ.
ويَجِبُ على كُلِّ مُسْلِمٍ أَمْرُ أَهْلِهِ بِها، وقهرُهُمْ، وتَعْلِيمُهُمْ أَرْكانَها وشُرُوطَها ومُبْطِلاتِها، و كُلُّ مَنْ قَدِرَ عليه مِنْ غَيْرِهِمْ

Wajib bagi orang tua untuk menyuruh anak-anaknya melakukan salat lima waktu, dan mengajarkan mereka tentang hukum salat setelah memasuki usia tujuh tahun, dan wajib memukulnya jika mereka meninggalkan salat setelah usia sepuluh tahun. Seperti halnya puasa yang seharusnya mereka kuat menjalaninya. Diwajibkan pula bagi orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya tentang hal-hal yang diwajibkan dan perkara-perkara yang diharamkan.

Diwajibkan pula bagi penguasa untuk memerangi orang yang meninggalkan salat karena malas, disertai keengganan untuk bertaubat, sedangkan ia adalah orang yang masih dihukumi sebagai seorang Muslim.

Diwajibkan juga kepada seorang suami memerintah istri dan anak-anaknya untuk melakukan salat dan memaksanya, serta mengajarkan kepada mereka rukun Islam, syarat dan hal-hal yang membatalkan salat. Dan bagi setiap orang yang mampu wajib untuk memerintahkan salat kepada selain mereka.


Demikian bunyi petikan tulisan mualif kitab Sullam al-Tawfiq ketika menjelaskan tentang kewajiban seseorang untuk memerintahkan salat kepada orang lain, khususnya kepala keluarga terhadap sanak familinya, dan kepala negara kepada para warganya.

Perlu kita garis bawahi bahwa beberapa kutipan yang ditulis oleh mualif di atas harus kita posisikan dalam konteksnya. Misal, kewajiban bagi pemerintah atau penguasa untuk memerangi mereka yang dengan sengaja abai terhadap salat, adalah satu klausul yang perlu dipertimbangkan dalam konteks kita saat ini, terutama di negara Indonesia.

Baca Juga  [Resensi Buku] Pandemi, Problem Kemanusiaan dan Keberagamaan

Beberapa ulama yang memberi penjelasan kitab ini cenderung menjadikan hal itu sebagai alternatif terakhir, dan itupun dengan syarat bahwa daerah tersebut telah menerima Islam sebagai konsensus bersama bagi dasar, tata aturan, dan sumber hukumnya. Selebihnya, ada juga yang menjelaskan bahwa kelaziman memerangi mereka yang abai terhadap salat, bisa ditegakkan paska pemenuhan terhadap syarat-syarat yang mengikat terhadapnya, seperti melakukan pemberitahuan, himbauan, dan penegasan terlebih dahulu kepada mereka.

Yang lebih penting lagi, upaya koersif ini, jika memang perlu ditegakkan, harus mempertimbangkan dan menyelaraskan dengan prinsip dakwah yang menekankan pada kebaikan dan kebijaksanaan (hikmah dan mau’idhah hasanah). Karena itulah sebenarnya pesan inti dari nubuat Muhammad, yaitu menebar kasih sayang kepada seluruh semesta alam (rahmatan li al-‘ālamīn).

Hal kedua yang bisa kita derivasi dari pokok pikiran mualif adalah bahwa keluarga merupakan mini-episentrum dalam penegakan ibadah salat. Dalam hal ini, orang tua khususnya seorang bapak, menjadi kiblat utama bagi keluarga. Dipundaknya terpikul sebuah tanggungjawab untuk mengajarkan Islam kepada keluarganya. Dengan demikian, orang tua seyogyanya menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anak sekaligus sebagai pendidik dan penegak disiplin bagi mereka.

Dalam surah al-Nisa’ ayat 9, Allah dengan tegas memberi peringatan kepada setiap orang tua bahwa mereka memiliki tanggungjawab besar terhadap keluarganya. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan anak-anak mereka dalam keadaan yang lemah, yang mereka khawatir terhadapnya.”

Meski ayat tersebut identik dengan persoalan kesejahteraan (wasiat dan warisan), makna dan ibrah ayat ini bisa kita pahami secara lebih luas. Bahwa orang tua sudah sepatutnya meninggalkan jejak yang bisa menjadi bekal keluarganya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih mulia. Bekal yang dimaksud tentu bisa berbentuk materi, seperti harta warisan, atau non-materi, seperti pengetahuan dan perilaku yang bisa dijadikan sebagai corong teladan bagi keluarganya.

Baca Juga  Lontara Latoa: Transformasi Politik Islam di Tanah Bugis (Bag. 2)

Salah satu bentuk bekal non-materiel yang dijelaskan oleh mualif dalam kutipan di atas adalah mengajarkan keluarga tentang agama Islam yang meliputi, setidaknya, pengetahuan tentang rukun Islam, syarat dan hal-hal yang membatalkan salat.

Selebihnya, dalam wilayah perilaku, teladan orang tua bisa dilihat dari cara bersikap tegas kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka melakukan salat. Jika seorang anak enggan melakukan salat, orang tua diperbolehkan untuk memukulnya, tentu dengan pukulan yang tidak sampai mendatangkan efek sakit (ghayr mubarrih), juga dengan syarat anak tersebut telah mencapai usia 10 tahun.

Mengapa usia 10 tahun? Karena menurut para ulama, usia ini dipandang sebagai usia dewasa. Usia yang menjadi titik metamorfosa seorang anak mencapai derajat mukalaf, di mana mulai saat itu menjalankan syariat Islam baginya merupakan sebuah kewajiban.

Demikian. Semoga kita semua diberi kemudahan dalam belajar dan mengajarkan kebaikan kepada keluarga dan saudara-saudara kita.

Wallāhu a‘lam bi al-sawāb

Ust. El Fajri Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *