Seringkali terjadi kejahatan dan kekerasan atas nama agama. Dua hal ini adalah dua kutub yang berbeda tapi saling berkaitan. Bab-bab dalam buku Mark Jurgenmeyer, Teror in The Mind of God (2000), memberikan ilustrasi tentang “logika keagamaan” yang digunakan sejumlah pelaku teror dengan latar belakang agama, seperti Islam, Kristen, Sikh, dan Yahudi.
Jay Lifton, dalam tulisannya, Destroying the World to Save It, juga memberi gambaran yang detail tentang proses pembentukan pemikiran berlandaskan agama, hingga mampu mendorong tokoh aliran agama di Jepang, Aum Shinrikyo, melakukan aksi kekerasan dengan melempar gas beracun di kereta bawah tanah.
Dalam konteks agama Hindu dan Buddha, beberapa contoh buku yang menjelaskan penggunaan logika keagamaan untuk kekerasan adalah karya Bartholoeusx, In Defense of Dharma (2002), dan Bruce Kaferrer, Legends of People, Myths of State (1988), Danield Gold, Organised Hinduism (2011), dan Laurence Tamatea, Ajeg Bali Discourse, tentang militansi penganut Hindu di India dan Bali.
Sejarah pun menjadi saksi bahwa perang Salib yang terjadi juga bisa disebut sebagai “perang atas nama agama.” Tidak hanya itu, bom bunuh diri, pembakaran tempat ibadah juga tidka jauh dari alasan logika agama, di mana pelaku berdalih hal tersebut adalah bagian dari tugasnya sebagai seorang hamba yang patuh pada Tuhannya.
Tidak heran jika beberapa tokoh mengangggap agama sebagai sumber petaka dan bencana (religion is the source of violance). Karena agamalah perang seringkali terjadi, atas nama agama situs keagamaan dihancurkan, dan atas nama Tuhan juga seseorang berani mati dan nyawa sebagai taruhannya.
Dalam kasus ini istilah jihad sering digunakan untuk membungkus suatu tindakan kekerasan, sehingga tampak bernuansa agama. Berani mati mengatasnamakan agama dan berteriak lantang menyebut Tuhan dianggap sebagai bentuk kebaktian dari seorang hamba. Tidak peduli berapa ratus atau bahkan ribuan yang harus meninggal. Yang paling penting adalah keyakinan bahwa semua yang dilakukan adalah “jihad atas nama Tuhan” demi menumpas kekafiran. Meskipun seseorang harus menjadi korban, ia yakin semua itu akan berbalas surga.
Gagasan tentang mati syahid (martyrdom) dan ritual korban (sacrifice) dijadikan konsep suci yang ada dalam setiap agama. Panduan hidup keagamaan mencatat hal demikian dan memerintahkannya sebagai bentuk kebaktian dan kepatuhan.
Doktrin-doktrin kekerasan dianggap bagian dari ritual kegamaan yang harus ditegakkan. Padahal, secara umum tidak ada satu pun agama yang menyuruh berbuat kekerasan dan kekacauan. Agama adalah risalah pembawa damai dan anti-kekerasan. Tidak pernah sekalipun agama mengajarkan tindakan kekerasan, hanya saja dalam melakukan tindakan kekerasan ada sebagian yang tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama.
Agama tidak ada sangkut pautnya dengan kekerasan. Yang kerapkali terjadi adalah anggapan bahwa sebuah tindakan kekerasan dianggap seolah-olah mandat langsung dari Tuhan, ritual keagamaan yang mesti dikerjakan, misi suci menumpas kekafiran yang harus ditegakkan.
Agama tumbuh sebagai institusi yang berpotensi melahirkan dua karakter: protagonis di satu sisi dan antagonis di sisi lainnya. Ayat-ayat suci dipahami secara sepintas sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan yang berpotensi melahirkan perilaku eksklusif dalam beragama, tidak menerima pemahaman yang berseberangan dengan pemahamannya. Eksklusivisme ini memudahkan orang menganggap dirinya paling benar dan paling paham atas agamanya.
Wallahu A’lam.