Dengan hadirnya internet dan berbagai platform media sosial akses informasi semakin mudah dan bisa didapatkan secara instan. Tanpa membutuhkan waktu lama, berita apapun akan cepat tersaji. Hanya dengan hitungan detik saja, suatu informasi dengan begitu mudahnya bisa cepat disebarkan.
Ironinya, fenomena tersebut seringkali membuat banyak orang menjadikan media sosial sebagai rujukan termasuk dalam urusan agama tanpa melakukan validasi terlebih dahulu atas informasi yang didapat.
Media keislaman misalnya, selain dijadikan sebagai media pembelajaran juga dijadikan pertarungan ideologi yang dinarasikan untuk menyokong dan memperkuat ideologi yang dianut oleh masing-masing kelompok. Dari yang berhaluan ekstrem kanan maupun kiri hingga yang moderat.
Satu hal yang perlu diingat bahwa media sosial hanyalah sebuah platform digital di mana semua orang dapat menjadi apapun dan siapapun di sana. Semua orang dapat mendaku dirinya sebagai ustad, asal pandai berbicara dengan mengutip beberapa ayat Alquran dan hadis. Mereka ini mungkin akan tampak seperti ustad sungguhan.
Dewasa ini, definisi ustad seolah-olah menjadi kian kabur, bukan hanya seperti apa umumnya pahami oleh orang-orang yang belajar di belajar pesantren. Tapi, dari fenomena yang terjadi dengan kemunculan ustad-ustad yang (mungkin) sanad keilmuannya patut menjadi perhatian, atau dipertanyakan, khususnya terkait ke-instan-annya dalam belajar agama lalu begitu bersemangat menyampaikan kepada khalayak umum.
Terkait dengan hal itu, saya teringat dengan apa yang disampaikan oleh Gus Baha dalam satu pengajiannya, bahwa perbedaan nafsu dan komitmen beragama sangatlah tipis sekali. Seseorang boleh jadi berteriak lantang membela agama atas nama Tuhan padahal sejatinya Tuhan tidaklah perlu dibela. Hal ini justru menyalahi qudrah dan iradah-Nya.
Boleh jadi seseorang menyerukan persatuan yang mengatasnamakan Tuhan padahal hakikatnya ia memecah belah membentuk persatuan lainnya yang saling beradu kuat–berseteru. Boleh jadi mereka seakan menawarkan Islam yang murni, autentik, namun jangan-jangan ada maksud terselebung untuk memuaskan nafsunya atau kelompoknya.
Kemudian Gus Baha melanjutkan dengan mengutip qoul;
وكم داع يدعى أنه دعى إلى الله، ولكن يدعى إلى نفسه
“Betapa banyak seorang dai, penceramah yang berdakwah seolah ia mengajak ke jalan Allah, tetapi hakikatnya berdakwah untuk (ideologinya) sendiri”
Ada sebuah peristiwa menarik yang dialami Sayyidina Ali karramallahu wajhah. Pada saat beliau berperang melawan kelompok kafir Quraisy, seorang dari lawannya meludahinya hingga membuatnya jengkel dan marah, lalu beliau mengangkat tangan, pergi dan tidak mau melanjutkan pertarungganya dengan orang tersebut.
Kisah di atas menegaskan bahwa Ali ibn Abi Thalib melakukan sesuatu meskipun nampaknya demi agama namun sebenarnya tidak semata karena Allah dan Rasul-Nya. Hal inilah yang terkadang samar dan sulit dibedakan.
Akhirnya, di tengah derasnya arus globalisasi, banjir informasi yang tak terbendung, dan banyaknya ustad-ustad di jagat maya. Seharusnya kita mengetahui dan mengorek lebih dalam apa, siapa, dan bagaimana kredibelitas dan integritas keilmuan ustad tersebut. Pun demikian dengan rekam jejak ideologi yang dianut, hingga sanad keilmuannya.
Jangan sampai kita terpengaruh atas apa yang didakwahkan seolah karena Allah dan Rasul-Nya semata, namun dibalik itu ternyata memiliki maksud terselubung untuk menyokong kepentingannya. Wallahu A’lam… [AA]