Sebelumnya: Benedict Anderson, Gus Dur… (1)
Mengenai kiprah Gus Dur, Ben juga bilang bahwa peran ulama sangat krusial untuk membawa masyarakat menuju demokrasi dan modernisasi. ‘’Gus Dur sebagai ulama dan intelektual pluralis, dia menjadi cendela bagi anak-anak desa untuk melihat dunia. Dialah cendela besar bagi anak anak desa yang tertinggal dari kaum urban, untuk melihat dunia dan bertanya, menjadi cermin berkaca menyikapi dunia, jadi panutan dan kebanggaan, bahwa ada ulama yang intelek dan berani, juga nyeleneh dan dia apalagi dari darah biru pendiri NU KH Hasyim Asyari,’’ ujar Ben.
‘’ Saya suka, saya ingin dia tidak mundur dan tak takut menghadapi represi dan otoriterisme rezim Orde ‘’haji bajinguk’’ (Orba Presiden Soeharto),’’ selorohnya bercanda.
‘’Saya sempat baca tulisan/esai Gus Dur (dan Nurcholish), saya baca di koran dan majalah, saya ingin dia menjadi ulama kesohor seperti pendahulunya, tapi saya kurang tahu Tebu Ireng Jombang itu bagaimana sebetulnya,’’ kata Ben waktu itu, September 1994.
Di sini saya jadi ingat cerita Baskara T Wardaya PhD yang berkisah ketika ia kembali bertemu Ben tahun 2014 ketika diundang makan malam oleh Audrey R. Kahin dari Universitas Cornell. Audrey adalah istri dari ahli Asia Tenggara, George Mc Turnan Kahin. Goerge merupakan guru Ben. Baskara berada di Amerika waktu itu karena mendapatkan beasiswa untuk penelitian ke Amerika Serikat. Penyelenggara beasiswa adalah The American Institute for Indonesian Studies yang berpusat di Cornell. Audrey adalah satu di antara koordinator beasiswa The American Institute for Indonesian Studies.
‘’Makan malam berlangsung hangat, ‘’ ungkap Baskara (Sejarawan Universitas Sanata Darma Jogja). Ada 15 orang yang hadir di sana. Ben bicara tentang kepemimpinan Gus Dur. Ben mengapresiasi Gus Dur sebagai tokoh pluralisme Indonesia. ‘’Ben juga bertanya tentang tempat kelahiran Gus Dur di Jombang, Jawa Timur.
Ben haus akan informasi tentang masyarakat Jombang dan Tebuireng, pondok pesantren terbesar di Jombang. Baskara punya kesan kuat terhadap Ben. Menurut Baskara, Ben adalah pemikir yang senang dengan hal-hal yang sifatnya dari kalangan bawah, orang-orang yang terlupakan dan tersingkir,’’ ungkap Baskara.
Semasa hidupnya, Ben Anderson adalah pengkaji Asia Tenggara paling terkemuka di dunia. Bukunya, “Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism” adalah karya klasik dalam ilmu sosial dan ilmu politik. Karya-karya Anderson lainnya termasuk Java in a Time of Revolution, Debating World Literature, dan Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Anderson pernah dicekal pada masa Orde Baru, dan dia baru boleh kembali ke Indonesia pada 1999 setelah Orba Soeharto tumbang.
Indonesia jelas bukan negeri yang asing baginya. Ben Anderson, 74 tahun pertama kali datang pada 1961 untuk penelitian program doktoralnya di Cornell. Setelah Peristiwa G30S, Ben dan koleganya, Ruth McVey, membuat makalah yang dikenal dengan Cornell Paper. Makalah kontroversial ini menunjuk Peristiwa G30S sebagai akibat konflik internal tentara. Karena makalah itu, Ben dilarang masuk ke Indonesia sejak 1973 hingga Soeharto lengser.
Penulis buku Imagined Communities ini lalu tinggal di Thailand beberapa lama. Kepada kami, dia pun mengaku sedih sekali dengan larangan itu, bahkan ketika dia terbang ke Jakarta tahun 1970-an, setibanya di airport Jakarta, dia langsung disuruh/dipaksa pulang ke Amerika Serikat oleh rezim penguasa Orba. ‘’Seluruh tubuh dan jiwa saya gemetar, seakan luruh, Herdi, saya ingin menangis,’’ ujar Pak Ben.
Lalu kami berusaha membuatnya tergelak lagi. Simon bilang dia mau masak jahe panas dan kopi (di dapur rumah Pak Ben), silakan pilih sendiri. Luthfi dan saya cerita soal penggusuran dari isu Kedong Ombo sampai konflik lahan/tanah di luar Jawa dan kemilau keluarga Cendana. Gayeng lagi suasana.
Ben Anderson adalah ilmuwan terkemuka dalam studi tentang Indonesia. Karya-karyanya banyak yang menjadi karya klasik wajib dibaca oleh kaum akademisi Indonesia. Ia berkarya dan mulai menulis penelitian-penelitian tentang Indonesia sejak awal 1960. Benedict R. O’Gorman Anderson lahir di Provinsi Yunnan, Cina. Ia menjabat sebagai Profesor Aaron L. Binenkorb pada studi internasional, profesor pada bidang pemerintahan dan studi Asia serta masih menjabat sebagai direktur di Cornell Modern Indonesia Project.
Ia sempat dilarang masuk ke Indonesia oleh Soeharto karena tulisanya yang disebut “Cornell Paper” soal Gerakan Partai Komunis Indonesia pada 1965. Dia baru berkunjung lagi ke Indonesia pada 1999 saat pemerintahan Soeharto jatuh.
Benedict Richard O’Gorman Anderson atau Ben Anderson, ahli Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, menutup mata pada usia 79 tahun. Tokoh yang lahir di Kunming, Tiongkok, ini adalah salah satu cendekiawan yang pemikirannya turut mempengaruhi teori-teori tentang Indonesia. Pemikirannya yang kritis sempat membuatnya dilarang untuk menginjakkan kaki di Indonesia pada era Presiden Soeharto.
Ketika Pak Ben wafat di Batu, Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/12/15), dalam akun Facebooknya, penerbit Marjin Kiri, mengatakan bahwa, Anderson “meninggal dunia dini hari tadi di sebuah hotel di daerah Batu, Malang, saat beristirahat sehabis…berjalan-jalan.” Anak angkat Ben Anderson, Wahyu Yudistira mengatakan, Anderson tak memiliki penyakit khusus saat meninggal. “Usianya sudah lanjut, capek saja, kelelahan,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, Anderson berada di Jawa Timur untuk berjalan-jalan, bernostalgia di tempat-tempat yang pernah dia kunjungi sebelumnya, seperti Museum Mpu Tantular di Sidoarjo atau Candi Belahan di Mojokerto. Minggu pagi, jenazah Anderson dibawa ke Surabaya dari Malang, dan, sesuai permintaannya, Anderson dikremasi dan abunya disebarkan di Laut Jawa.
‘Demikianlah kenangan Pak Ben Anderson yang membuka pintu dan mengundang kami yang kalah dan marginal, ke Cornell 1994, kami sangat berterimakasih atas kebaikan dan ketulusannya. Kami amat berduka dan kami doakan beliau diterima di sisi terbaikNya. (lahu Al-Fatahah).
Kami kehilangan, dan kami menulis dan bekerja dengan sikap kritis sebagai komitmen meneruskan pesannya pada bangsa kita agar cita-cita Proklamasi 1945 bisa kita wujudkan bersama.
Pak Ben adalah sosok yang egaliter, tidak suka formalisme dan tentu, dia sangat tahu kalau kami kaum muda proletar dan keok, dan dia terbahak kalau kami menyebut hal itu. ‘’Ora opo, ora popo,’’katanya tertawa.
Kesan saya mengenang Benedict Anderson, dia telah menjadikan Indonesia sebagai Tanah Airnya yang kedua. Hidupnya untuk anak-anak manusia, anak muda dan ilmu pengetahuan yang didedikasikannya, yang seyogianya layak diteladani, kita syukuri dan salut. Semoga catatan kecil ini bermakna. Wallahualam.
Serpih Memori Ithaca 1994-Paramadina 2021