Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina

Demokrasi dan Sayup Isu Populisme Islam: Sebuah Refleksi (1)

3 min read

Indonesia memasuki dua dekade era demokrasi sejak Reformasi 1998, namun dilihat dari sisi peradaban dan kebudayaan, bangsa kita tampak masih terpuruk dan tertinggal, dimana krisis moral/akhlak, bahkan  krisis multi dimensi terus menyeruak. Korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) terus merajalela, politik identitas masih potensial mencemaskan, pelanggaran etika berat melanda Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan cawapres Gibran Rakabuming, lolosnya UU Cipta Kerja -Omnibus Law, UU Minerba dan abuse of power lainnya, mengkonfirmasikan ketertinggalan dan keterpurukan peradaban dan kultur kita dewasa ini, kalau dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Filipina.

Para akademisi, intelektual dan budayawan kini menyadari bahwa Indonesia tak cukup hanya memiliki  elite dan teknokrat yang punya keahlian di bidang ekonomi dan pembangunan, namun justru sangat membutuhkan para pakar peradaban dan strategi kebudayaan. Persoalan negara kini tidak hanya bisa diselesaikan dengan sains, agama, dan ekonomi, persoalan negara tidak bisa diselesaikan hanya  dengan perbaikan etika, yurisprudensi, kiprah santeri dan nasionalis.  Para akademisi, intelektual dan budayawan  mengingatkan bahwa dimensi kultural, nilai-nilai, ideologi dan peradaban harus lebih ditanamkan, dipribumisasikan,dan diinstitusionalisasikan pada masyarakat agar demokrasi yang substansial dapat diwujudkan.

Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) menekankan, demokrasi  substansial mutlak membutuhkan adanya rule of law,  checks and balances antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan memerlukan suasana di mana pemerintah mampu menyelenggarakan good governance, yaitu kerja sama yang dinamis dan sehat antara aparatur pemerintah termasuk birokrasi, masyarakat sipil, dan kekuatan dunia usaha/ekonomi. Demokrasi  substansial memerlukan penopang utama yaitu negara hukum dan negara berdaulat, karena tanpa negara hukum dan negara yang berdaulat, maka tidak akan ada demokrasi substantif.

Dan untuk itu,  menurut Lucian W. Pye (Democracy and Its Enemies,2000)  di dalamnya harus ada nilai-nilai, ideologi, kultur yang baik dan etika-peradaban yang kuat dan terlembagakan, terinstitusionalisasikan.

Mendiang Profesor Azyumardi Azra  kepada penulis mengungkapkan, keterlibatan ulama jelang Pilpres 2019 tak lepas dari ” residu ketegangan’ politik identitas dengan SARA (suku, agama, ras, antargolongan) pada Pilpres 2014 yang terus berlanjut hingga pemilu 2017. Sejumlah ulama disebut-sebut sebagai calon wapres potensial pada waktu itu. Ketika Jokowi-Maruf Amin terpilih menjadi Presiden/Wapres pada tahun 2019, nyatanya Jokowi tidak membubarkan kelompok relawan, gugus tugas, dan sel pendukungnya yang berlambang nasionalis.

Baca Juga  Pluralisme Sebagai Sikap Keagamaan dan Keberagamaan

Begitu pula kubu yang di berbeda, yang menggunakan lambang agama (Islam) sebagai identitasnya juga tidak membubarkan diri. Artinya, pergerakan kedua kubu sama, sehingga secara paralel masih ada benang merah tegangan di tengah situasi perekonomian yang sedang dilanda  Covid-19 dan tidak menentu 2020-2022 waktu itu.

Waktu itu Jokowi terus membiarkan terus hadirnya kelompok relawan, gugus tugas, dan sel pendukung dalam jumlah yang sangat besar, yang ternyata kelak dimanfaatkan untuk mendukung pencalonan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres yang diloloskan Mahkamah Konstitusi meski dengan melanggar berat etika. Publik membaca hal itu sebagai suatu rekayasa munculnya fenomena dinasti politik yang kasat mata. Situasi ini memicu pro-kontra di kalangan publik, mencuatkan gesekan aspirasi, kepentingan, benturan ide, wacana, dan emosi yang semakin tak terelakkan.

Sementara itu, agenda pembangunan Jokowi dalam program Nawacita sejauh ini relative tak efektif dalam memberantas korupsi-kolusi-nepotisme, ketidakadilan dan ketimpangan struktural secara meyakinkan, dan celakanya bertemu dengan aliran aspirasi Muslim yang belum sepenuhnya terakomodasi oleh negara. Berbagai kalangan pun khawatir, kekecewaan kelompok umat Islam yang semakin mengental, menjadi lahan subur lahirnya Populisme Islam seperti yang kita saksikan beberapa tahun terakhir ini menyusul gelombang Aksi 212 yang terus mencari ruang-ruang ekonomi politik alokatif dan akomodatif.

Meminjam perspektif Profesor Vedi R. Hadiz (Universitas Melbourne), Populisme Islam merupakan upaya membentuk artikulasi untuk mentransformasikan identitas sosial politik Islam menjadi satu identitas semi universal, yaitu ummat. Populisme Islam semakin merasuk dan merasuki ruang-ruang keluarga  di Tanah Air. Di sini, konsep Populisme Islam merupakan batas politik atau batas akhir proses diskursif pembentukan blok hegemonik atas kekuasaan negara, dan di dalamnya  berbagai variasi golongan, ras, suku, identitas menyatu.  Fortunately, Populisme Islam di tanah air terbukti gagal mengendalikan negara dan masyarakat sipil, sementara pembedaan antara kelompok Islam wasatiyah (moderat), skriptural, radikal, dan ‘’liberal’’ semakin mempersulit terbentuknya Populisme Islam di Indonesia secara kuat, dan kenyal.

Baca Juga  Dilematis dalam Membaca Sirah; Antara Kekangan Teologis dan Tuntutan Akademik

Berkaitan dengan hal tersebut, umat Islam dan partai-partai Islam di Indonesia yang merasa kalah di era Jokowi  pada 2014 dan 2019, berusaha membangun revitalisasi melalui Aksi Bela Islam (Aksi 212) yang mewarnai lanskap nasional, dengan segala dinamika dan kompleksitasnya. Meminjam wacana Greg Fealy (2018), situasi itu semua tak terlepas dari merosotnya peran ulama dan politik Islam di kancah nasional dan menurutnya politik Indonesia semakin lama tampak semakin ditentukan oleh ‘’Islamisme’’. Kecenderungan itu menguat sejak aksi-aksi Bela Islam pada 2016 yang turut mengkondisikan pemidanaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), wakil gubernur DKI Jakarta yang juga calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dalam konteks ini, studi Greg Fealy (2018) dan Vedi Hadiz  (2016) mengungkapkan, menguatnya Populisme Islam, melemahnya partai Islam atau partai politik berbasis massa Islam  di Indonesia tidak lepas dari keadaan dimana:

Pertama, di Indonesia, kegiatan amal seperti yang dilakukan Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah ternyata kurang berbobot untuk dijadikan basis dukungan terhadap partai-partai Islam.

 Kedua, upaya partai-partai seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB untuk menarik dukungan buruh, nelayan, dan petani baru setengah hati, setengah jalan. Akibatnya, partai-partai berbasis massa Islam hanya sekedar wadah bagi aktivis agama kelas menengah. Partai politik Islam di Indonesia juga sibuk dengan politik uang dan patronase sehingga perbedaan dengan partai politik lain menjadi tidak jelas.

Ketiga, harus disadari dan diakui bahwa kinerja partai politik Islam di Indonesia sejak demokratisasi tahun 1998 hingga 2019 cenderung masih mengecewakan para pendukungnya. Faktanya, perbaikan pada pemilu 2024 ini pun baru menjadi harapan, rada jauh dari kenyataan. Namun kali ini, partai politik Islam (PKB, PKS) bisa mengusung calon presiden (Anies-Muhaimin) dari kalangan mereka sendiri, yang diprediksi para analis, bisa berpeluang menang dengan dua putaran, berkompetisi dengan duet Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran.

Baca Juga  Pluralisme Gus Dur dan Urgensinya Terhadap Hubungan Antar Agama di Indonesia (2)

Keempat, selama ini partai-partai Islam di Indonesia masih sibuk dengan politik uang dan patronase hingga cenderung mengalami stagnasi. Harus diakui bahwa di Indonesia, gerakan politik Islam telah menjadi korban penindasan negara yang kronis. Namun, berbeda dengan pengalaman Turki, dan pada tingkat tertentu Tunisia, politik Islam di Indonesia cenderung berkutat pada lingkungannya sendiri dan kurang berhasil dalam memperluas basis sosialnya.

Kelima, Penyebab lain gagalnya terbentuknya populisme Islam di Indonesia adalah tidak adanya kelas borjuasi Islam yang besar. Di Tanah Air terdapat kaum borjuis etnis Tionghoa yang diduga membuat iri/cemburu masyarakat bumiputera.

Keenam, Populisme Islam di Indonesia gagal membentuk frontier politik dan identitas hegemonik. Berbeda dengan Turki dan Tunisia. Faktor utama kegagalan ini adalah karena ketidakmampuan mereka untuk  membentuk aliansi sosial yang luas jangkauannya.

Di Indonesia, gerakan politik Islam di masa silam juga telah menjadi korban penindasan era Presiden Soekarno dan Soeharto. Namun, berbeda dengan pengalaman Turki dan Tunisia, misalnya, politik Islam di Indonesia sampai kini cenderung berkutat pada lingkungannya sendiri dan kurang berhasil dalam memperluas basis sosialnya.

Selanjutnya: Demokrasi dan Sayup Isu Populisme Islam…(2)

Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina