Artikel ini ditulis untuk mencurahkan kegelisahan-kegelisahan penulis setelah membaca karya Mun’im Sirry (Kemunculan Islam Awal dalam Kesarjanaan Revisionis) dan karya Quraish Shihab (Membaca Sirah Nabi Muhammad). Dua karya yang ditulis dengan motivasi dan konten yang berbeda. Mun’im, menulis karyanya untuk mendemonstrasikan gagasan-gagasan kesarjanaan revisionis tentang kemunculan Islam awal—salah satunya sirah Nabawiyah—yang banyak mempertanyakan keabsahan warisan sejarah Islam kesarjanaan tradisionalis. Sementara Quraish Shihab menulis karyanya murni untuk memperkenalkan sejarah Nabi Muhammad yang disadur dari berbagai kitab sumber dan direformulasi dalam bahasa yang lebih sederhana.
Agaknya tidak berlebihan untuk mengatakan, jenis ‘curhatan’ yang penulis ingin uraikan ini semacam ‘culture shock teologis-akademis’. Diksi ini rasa-rasanya cukup representative untuk menggambarkan perasaan penulis setelah membaca kedua karya tersebut. Bagaimana tidak, penulis yang dari ‘mumayyiz’ meyakini bahwa, “apa pun yang ditulis oleh para ulama terdahulu kebenarannya tidak diragukan lagi”, lantas bertemu dengan buku Mun’im yang justru bertolak belakang dengan keyakinan tersebut. Kepadatan data dan bukti yang dihadirkan oleh Mun’im untuk mempertanyakan keabsahan beberapa warisan sejarah tradisionalis berhasil mendobrak keyakinan penulis. Diambang goyahnya keyakinan itu, penulis malah kembali bertemu dengan narasi Quraish Shihab dalam muqaddimah karyanya yang cukup kental dengan nuansa sufistik.
Dua kondisi di atas, cukup rumit bagi penulis hingga muncul niat untuk ‘curhat’ lewat tulisan ini dengan tajuk dilematis dalam membaca sirah; antara kekangan teologis dan tuntutan akademik. Sebelum lanjut, penulis hendak disclaimer dua hal. Pertama, tulisan ini bukan bermaksud untuk membandingkan kedua karya tersebut, namun murni hanya sebatas ingin ‘curhat’ apa yang penulis rasa setelah membaca keduanya. Olehnya, jangan berharap ada narasi yang serius dan argumentatif. Kedua, diksi ‘kekangan teologis’ dan ‘tuntutan akademik’ ini bukan untuk menilai kedua karya ini bahwa, karya Quraish Shihab’ identik dengan kekangan teologis dan Mun’im identik dengan tuntutan akademik, atau sebaliknya—sama sekali tidak—apa lagi dengan posisi penulis yang hanya berstatus sebagai mahasiswa yang ‘baru lahir kemarin’.
Kedua diksi tersebut dipilih hanya untuk menunjukkan kebimbangan penulis, antara tetap berada dalam kekangan teologis dalam membaca sirah atau mengambil posisi sebagai akademisi—jika boleh disebut dengan itu—yang sah-sah saja mempertanyakan berbagai hal. Kekangan teologis yang penulis maksud ialah mendasarkan pembacaan warisan sejarah dengan iman—sami’na wa atho’na. Sedangkan tuntutan akademik dalam hal ini mendasarkan pembacaan dengan prinsip skeptisisme—berangkat dari keraguan untuk kemudian dibuktikan keabsahannya dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Awalnya, penulis cukup legowo setelah mengkhatamkan karya Mun’im dengan argumen dan data-data yang dihadirkan, meski pada satu sisi juga lumayan kaget ketika Mun’im mempertanyakan keabsahan hal-hal yang sudah diyakini oleh mainstream akan validitasnya. Misal, pada sub ‘masalah sumber dan sumber masalah’, Mun’im dengan mengutip pandangan kesarjanaan revisionis banyak mempertanyakan keabsahan warisan sejarah Islam yang terangkum dalam sumber tradisionalis seperti halnya sirah Ibnu Ishaq dan Ibn Hisyam.
Dengan narasi yang argumentatif, Mun’im merangkum problem-problem yang melingkupi warisan sejarah Islam dalam tiga klasifikasi besar yakni; (1) kebanyakan dari sumber tersebut ditulis belakangan, dengan kata lain terdapat rentan waktu yang sangat jauh antara peristiwa sejarah dengan penulisan sejarah. (2) Banyak memuat narasi-narasi yang kontradiktif, pada bagian ini Mun’im membandingkan suatu peristiwa sejarah yang termuat dalam beberapa kitab sumber dan secara eksplisit ditemukan banyak perbedaan rekaman sejarah. (3) Narasi-narasi yang terdapat dalam sumber tradisionalis lebih mencerminkan kejadian belakangan yang kemudian diproyeksikan ke belakang untuk mendapat legitimasi. Untuk lebih lengkapnya, baca karya Mun’im.
Tiga klasifikasi di atas yang oleh Mun’im diuraikan dengan data-data yang kuat, kurang lebihnya berhasil memunculkan rasa ‘skeptis’ dalam benak penulis dengan pertanyaan-pertanyaan kecil; apa iya adanya rentan waktu yang cukup jauh antara penulisan dan peristiwa sejarah dapat diterima secara ilmiah? Apa iya rentan waktu itu tidak rawan disusupi kepentingan-kepentingan individualis atau kolektif? Dan pertanyaan-pertanyaan kecil lainnya.
Di penghujung rasa skeptis itu, penulis bertemu dengan karya Quraish Shihab yang lembarannya cukup tebal untuk dibaca dalam satu pekan atau bahkan satu bulan. Pada malam itu, kebetulan penulis memang harus membaca beberapa lembar dari karya tersebut untuk persiapan materi kajian kecil-kecilan di suatu komunitas. Hal yang membuat penulis juga cukup kaget ialah ketika Quraish Shihab menguraikan proses penulisan karyanya di bagian muqaddimah.
Ungkap Quraish Shihab dalam karyanya, “di Makkah, awal Ramadhan 1431 H/12 Agustus 2010 M penulis mulai menulis sambil mengumpulkan aneka buku rujukan, lalu setiap hari di tanah air, rata-rata enam sampai tujuh jam sehari, penulis menulis dan menulis, lalu akhirnya di Madinah pada tanggal 24 Jumadil al-‘Ala 1432 H/ 28 Maret 2011 dekat Makam Nabi penulis menyelesaikan uraian tentang wafatnya beliau dan beberapa jam sebelum meninggalkan Madinah menuju tanah air, penulis sempat pamit kepada Rasulullah sambil membawa USB flash disk naskah awal dari buku ini sambil melaporkan penyelesaiannya kepada beliau”.
Bagi penulis ungkapan di atas sangat dalam, betapa tidak, awal mula penulisan karyanya di mulai di kota Makkah dan diakhiri di Madinah dengan izin langsung kepada sosok yang hendak diperkenalkan lewat karyanya. Dalam posisi ini, hal yang muncul dalam benak penulis “betapa luar bisa kehati-hatian beliau dalam menulis tentang sosok Nabi Muhammad saw, lantas apa ia ulama yang dikenal seantero dunia seperti Ibn Ishaq dan Ibnu Hisyam tidak demikian?
Jika hanya mendasarkan pada kekangan teologis, maka jawaban dari pertanyaan di atas, “tidak mungkin sekelas Ibn Ishaq dan Ibnu Hisyam juga tidak demikian, pasti keduanya akan lebih berhati-hati dalam menulis sejarah tentang Nabi”. Namun, jika iman dibarengi dengan kode etik akademik maka jawabnya tidak langsung ‘hitam putih’ harus ada upaya pembuktian data secara ilmiah. Layaknya Quraish Shihab dan Mun’im yang juga banyak menyeleksi data-data sebelum dikutip dalam penulisan karyanya.
Sederhananya, antara iman—kekangan teologis—dan tuntutan akademik tidak selayaknya diposisikan secara dikotomis, dalam artian iman bukanlah penghalang kesarjanaan untuk dapat bersikap objektif dalam menilai suatu peristiwa sejarah. Harus ada proses integrasi antara keduanya untuk menjadi kesarjanaan yang kredibel dan memiliki kapabilitas.
Mengakhiri tulisan ini, penulis tertarik mengutip pandangan Mun’im dalam karyanya yang sekaligus telah menjadi penawar dari kebimbangan di atas bahwa, “Tugas kesarjanaan bukan untuk menghakimi suatu pandangan sebagai salah atau benar melainkan menguji kekuatan dan kelemahannya. Penghakiman adalah bentuk arogansi intelektual yang mengindikasikan ketidakmampuan berdialog secara konstruktif”. Wallahu a’lam bi al-Shawab.