Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina

Demokrasi dan Sayup Isu Populisme Islam: Sebuah Refleksi (2)

2 min read

Sebelumnya: Demokrasi dan Sayup Isu Populisme Islam…(1)

Populisme dan Kesuraman

Beberapa tahun lalu, maraknya Populisme Islam dan keinginan mencari pemimpin dari kalangan Islam tidak lepas dari situasi perekonomian yang  merosot dan tidak menguntungkan rakyat, pemerintah dan masyarakat madani (civil society). Populisme Islam, kesuraman ekonomi, dan ketidakadilan pembangunan saling bertautan dan saling berhimpitan, yang dengan mudah menjelma menjadi benih prasangka, stigmatisasi, dan potensial anarki.

Sebagai ilustrasi, Bank Dunia mencatat, selama lebih dari 50 tahun modernisasi dan pembangunan, Indonesia hanya mampu mencapai PDB/Kapita sebesar $3800, sedangkan Singapura dapat mencapai $51,400 (hampir 15 kali lipat dari kita), Korea Selatan $25,500 (7 kali lipat jumlah kita), Taiwan $ 22.500 (6,25 kali kita) dan bahkan Malaysia bisa mencapai $11.000 (3 kali kita). Selain itu Gini gap rasio di Indonesia trennya mendekati 0,4  dan Indonesia hanya menempati peringkat 113 dunia dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Pada tahun 2017, pers menggarisbawahi bahwa Presiden Jokowi melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya kepada para menteri perekonomian karena stagnasi ekonomi, defisit transaksi berjalan yang meningkat, pertumbuhan ekonomi yang hanya 5% dan lain sebagainya. Agenda dan  program Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Darmin Nasution serta tim ekonomi waktu itu  ternyata hanya “verbalisme belaka”. Perekonomian stagnan, daya beli masyarakat merosot tajam dan korupsi masih merajalela serta harapan masyarakat terhadap kehidupan ekonomi yang lebih baik terbukti semakin kabur, kian menipis dan tidak baik-baik saja.

Pada 2017, misalnya, Jokowi menantang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) agar pertumbuhan ekonomi 2017 bisa mencapai 5,3 hingga 5,5%, bahkan Jokowi mentargetkan pertumbuhannya sesuai Nawacita (Sembilan Program) adalah 7%. Namun Sri Mulyani mengelak dan hanya mampu mencapai 5,1 persen, padahal prediksi Bank Pembangunan Asia bisa tumbuh hingga 5,3 persen dan Bank Dunia memperkirakan bisa tumbuh 5,2 persen.  Ketidakmampuan Sri Mulyani waktu itu dipertanyakan dan disinggung oleh Jokowi di media massa, namun Jokowi sendiri tak punya kapasitas dan solusi, malah lebih buruk dari Menkeu Sri Mulyani. Ironis dan paradoks (Rizal Ramli, 2017).

Baca Juga  Berakhlak dengan Asmaulhusna dan Sifat Allah menurut Syekh Izzuddin bin Abdissalam (2)

Secara obyektif, kondisi perekonomian yang melemah ini sangat mengecewakan ummat Islam sehingga mendorong ummat mencari jalan sendiri untuk mencari inteligensia Muslim sebagai pemimpin bangsa, dengan semangat Populisme Islam di dalamnya.

Namun tak dinyana, di luar sayap Prabowo-Gibran,  kini munculnya duet Anies-Muhaimin (Amin) dan Ganjar-Mahfud  relative menyejukkan dan mendinginkan Populisme Islam. Anies Baswedan adalah tipikal Islam kota dan Muhaimin Iskandar tipikal Islam desa, berduet politik di kancah demokrasi Indonesia .  Ganjar Pranowo nasionalis yang beristri santeri, dan Mahfud MD adalah sosok santeri Madura. Dengan tiga pasangan capres-cawapres situasi relatif cair dan tidak sepanas 2019.

Betapa tidak ! Survei-survei  dan analis sering menyebut, kaum Muslim secara sosio-kultural semakin mengelompok dan cenderung menjadi  masyarakat insuler,  sementara partai politik Islam di Indonesia masih sibuk dengan politik pragmatis  dan patronase hingga stagnan dan menjadi ‘’liabilitas atau beban’’ bagi ummat itu sendiri. Sehingga tampilnya Anies-Muhaimin (Amin)  dan Ganjar-Mahfud  mencairkan kebekuan itu, seperti pucuk dicinta ulam pun tiba? Sejauh ini duet Prabowo Gibran, Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud  masih saling berkejaran dan  rada berhimpitan meraih elektabilitas-popularitas yang fluktuatif.

Hemat penulis,  dengan munculnya ‘’Anies-Muhamini (Amin) dan Ganjar-Mahfud ’’, politik identitas (Islam) dalam partisipasi demokrasi dan partisipasi bernegara semakin mereda atau cair. Suasana ini harus terus dikembangtumbuhkan, karena justru  bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan pembangunan demokrasi konstitusional di tengah bangsa kita yang multicultural, sangat majemuk dan plural.

Bagaimanapun, duet Anies-Muhaimin (Amin), Prabowo-Gibran  dan Ganjar-Mahfud  telah membawa politik Islam pada  isu-isu prioritas yang relevan dengan masyarakat, seperti keadilan, perekonomian, pendidikan, kesejahteraan sosial, kesetaraan,  HAM,  masalah lingkungan hidup dan masalah-masalah yang memiliki dampak nyata pada kehidupan sehari-hari rakyat. Bukan pada isu partikularisme, sektarianisme atau primordialisme.

Baca Juga  Law of Attraction dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis

Kubu Islam politik harus kita dorong untuk membawa politik Islam di Indonesia guna memainkan peran yang konstruktif, memperjuangkan keadilan dan mendukung proses demokrasi, dimana pemilu berlangsung dengan integritas, bersih dan memberikan hasil yang mencerminkan keinginan rakyat banyak. Kalau visi-misi ini dilakukan, hal itu sudah memperkuat  bagian integral dari proses politik Islam dalam kerangka demokrasi Indonesia modern yang diamanatkan oleh Reformasi 1998 sehingga politik Islam menjadi asset bangsa yang sungguh bernilai dan bermakna. Semoga. ***

Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina