Hoerunnisa Alumni UIN SGD Bandung dan tergabung dalam komunitas Puan Menulis.

Kelompok Muda Rentan Terpapar Paham Radikalisme, Beginilah Cara Mencegahnya!

2 min read

Kemajuan teknologi, salah satunya internet dan media sosial tidak bisa dipisahkan dari masyarakat khususnya kelompok muda. Di samping kemajuan teknologi tersebut memberi kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses apapun, namun ternyata menjadi sasaran empuk juga bagi kelompok terorisme untuk mempermudah penyebaran paham-paham mereka.

Konteks sekarang, kelompok terorisme tidak perlu terjun kelapangan untuk bertemu orang dan menyebarkan pahamnya, cukup menyebarkannya dengan jari lewat media sosial. Seperti halnya kisah Nurshadrina Khaira Dhania, seorang gadis berusia 16 tahun yang bertekad hidup dalam naungan ISIS, lalu membujuk keluarganya untuk pergi ke Suriah pada 2015 lalu.

Nur mengaku pertama kali mengenal ISIS melalui pamannya yaitu Iman Santoso. Ternyata rasa penasarannya tidak berhenti disana, ia mencari informasi ISIS melalui internet dan media sosial. Nur merasa perjuangan ISIS ini seperti perjuangan zaman Nabi dan khalifah, dimana jaminan kesejahteraan dan keadilan masyarakat selalu bernada atas nama al-Qur’an dan Sunnah.

Selain itu Nur juga mendapat informasi lain terkait ISIS dari Tumblr, dan kanal Diary of Muhajirah (Catatan Harian Kaum Perempuan yang Berhijrah) yang berisi pengalaman orang-orang ‘yang berhijrah’ ke Suriah. Setelah itu dia pun mulai berkomunikasi intens dengan pendukung ISIS di Suriah.

Dari situ Nur mulai yakin dengan kebenaran propaganda ISIS bahwa ‘untuk menjadi muslim yang sejati harus hijrah ke Suriah’. Setelah itu, kemudian dia aktif melakukan propaganda mengenai ISIS dan kehidupan di Suriah kepada keluarganya.

Akhirnya Nur berhasil melakukan propaganda kepada keluarganya, lalu Ia dan keluarganya bergabung dalam rombongan berjumlah 26 orang, termasuk dirinya sendiri, untuk berangkat ke Suriah melalui Istanbul Turki, sekitar Agustus 2015 lalu.

Kisah Nur adalah sebagian kecil dari banyaknya kisah kelompok pemuda yang terpapar paham ekstremisme melalui media sosial. Karena media sosial yang kini telah dikuasi oleh kelompok Islam konservatif, hal ini terbukti dari informasi Kominfo yang menyatakan per 3 April 2021, terdapat 20.543 konten terindikasi terorisme di media sosial.

Baca Juga  Hegemoni Nilai Poskolonial Iklan Di Media Massa Indonesia

Selain itu pada tahun 2019 lalu, Kominfo melakukan pemblokiran konten internet yang memuat radikalisme dan terorisme sebanyak 11.803 konten mulai dari tahun 2009 sampai tahun 2019. Konten yang terbanyak diblokir berada di facebook dan instagram, yakni sebanyak 8.131 konten. Sementara di twitter sebanyak 8.131 konten, platform telegram sebnayak 614 konten, filesharing sebanyak 502 konten, dan di situs web sebanyak 494 konten.

Pemuda Merupakan Kelompok Paling Banyak Menggunakan Internet

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) baru-baru ini merilis laporan “Profil Pengguna Internet 2022”. Berdasrkan informasi tersebut, penggunan internet anak-anak berusia 5-12 tahun sebesar 62,43% kelompok usia 13-18 tahun sebesar 99,16%, kelompok usia 19-34 sebesar 98,64%, Kelompok 35-54 tahun lalu sebesar 87,3%, kelompok umur 55 tahun ke atas sebesar 51,73%.

Bisa dilihat kelompok usia 13-19 merupakan kelompok tertinggi pengguna internet sebanyak 99,16%, dan disusul oleh kelompok usia 19-35 sebanyak 98,64%. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan selama pandemi Covid 19 mengharuskan melakukan pembelajaran dengan jarak jauh, sehingga menyebabkan penggunaan internet di kelompok usia 13-18 tahun meningkat sebanyak 76,63% responden.

Tidak heran jika pemuda menjadi sasaran kelompok radikal di media sosial, selain karakteristiknya yang ‘khas’ dari kelompok lain, dimana ‘kelompok pemuda’ selalu menggebu-gebu dan memiliki penasaran yang tinggi, ia juga menjadi kelompok pengguna aktif internet terbanyak.

Dan pemuda yang menjadi sasaran kelompok radikal adalah pemuda yang secara ilmu keagamaan masig ‘kosong’, sehingga ia perlu mengisinya dan menggali lebih dalam lagi. Nah hal tersebut dilakukan melalui internet. Berdasarkan hasil penelitian PPIM tahun 2018 menunjukan sebanyak 58% yang mengakses pembelajaran agama secara online. Hal ini karena dirasa mudah dan instan, dibandingkan harus bertanya kepada guru, membaca buku atau ikut pengajian.

Baca Juga  Mertua yang Gila Harta dan Pujian

Begini Cara Mencegah Pemuda dari Paparan Paham Radikalisme

Menurut Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari menyebutkan bahwa pentingnya peran keluarga sebagai unit terkecil masyarakat sebagai garda terdepan dalam menghadang radikalisasi dan terorisme terinternalisasi dalam keluarga.

Lalu negara pun ikut hadir dalam upaya meningkatkan kapasitas keluarga melalui layanan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang saat ini jumlahnya 189 PUSPAGA dengan psikolog yang tersebar di seluruh Indonesia.

Selain itu peran pendidikan formal juga sangat penting, dimana guru harus mentransformasikan dirinya menjadi pendidik yang benar-benar mendidik, dimana pendidik yang tidak lepas dari misi kebangsaan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kepala sekolah atau ketua yayasan juga berperan penting melakukan pembinaan kepada guru yang terkesan intoleran bahkan sudah radikal. Artinya kepala sekolah harus memetakan pemahaman “ideologis” para guru.

Meski di satu sisi kelompok muda termasuk kelompok rentan dalam kancah ekstremisme kekerasan, namun di sisi lain mereka juga merupakan sumber daya potensial dan strategis dalam pembangunan keamanan dan perdamaian. Dengan cara menjadikan pemuda sebagai aktor perdamaian itu sendiri melalu gerakan kolektif berupa komunitas atau organisasi.

Misalnya seperti komunitas Peace Leader Indonesia yang bergerak ke sekolah-sekolah menyebar pesan damai, komunitas Cadar Garis Lucu yang menghidupkan keberagaman melalui Cadar, komunitas Puan Menulis yang aktif menuarakan isu perdamaian lewat tulisan, komunitas Jalan Merawat Perdamaian (JMP) Ambon yang merawat perdamaian di timur Indonesia dan lain-lain.

Sedangkan menurut tenaga Ahli Utama Kominfo Lathifa Al Anshori mengatakan, ada delapan cara milenial dan Gen-Z melawan radikalisme yaitu say no to hoax, bekali diri dengan banyak referensi, jadilah anak muda yang kreatif dan inovatif dalam berkarya, aktif menyebarkan pesan damai, open your mind, kuatkan literasi media, hindari kelompok intoleran dengan cara berkumpul dengan orang-orang yang sukses serta terakhir implementasikan makna Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Hoerunnisa Alumni UIN SGD Bandung dan tergabung dalam komunitas Puan Menulis.