Beberapa bulan yang lalu saya membeli buku yang berjudul Berislam dengan Akal Sehat karya Edi AH Iyubenu pria asal MATARAM (Madura Tanah Garam) Sumenep. Dalam buku tersebut banyak sekali pembahasan menarik yang disajikan dengan bahasa dan nalar khazanah Keislaman kontemporer saat ini.
Salah satu dari subbab yang menurut saya paling menarik untuk dibahas saat ini adalah pada subbab yang berjudul “Pantaskah Kita Kembali Langsung kepada Alquran dan Sunnah Nabi Saw dengan Meninggalkan Khazanah Para Leluhur/al-salaf al-sālih?” Yah begitu bunyi redaksi yang ditulis oleh Edi. Namun dalam tulisan ini bukan bermaksud untuk merepetisi tulisan Edi tersebut. Lebih tepatnya tulisan ini hanya menambahi saja sedikit agar terkesan lebih menukik dan tajam.
Dalam era yang serba digital seperti sekarang ini, yang ditandai dengan mudahnya akses informasi, dakwah, diskusi online seperti webinar dan lain-lain. Di satu sisi memang memudahkan kita dalam mengakses ilmu pengetahuan di tengah-tengah pagebluk Corona hari ini. Namun di sisi lain, hal ini menyisakan kekhawatiran, karena media sosial yang demikian itu jika tidak disaring sebelum sharing—meminjam diksi Nadirsyah Hosen—akan menimbulkan sebuah kekacauan yang luar biasa.
Kekacauan tersebut dapat dilihat misalnya di YouTube, Instagram, Twitter dan media-media sosial sejenis yang tidak sedikit dari narasi dakwah yang dibangun dengan jargon “mari kita semua “umat Islam” kembali kepada Alquran dan Sunnah”. Memang, jika dilihat atau didengar secara sekilas, jargon yang demikian itu tampak memukau hati dan selera “umat muslim”, walaupun tidak secara keseluruhan semua terpesona dengan jargon tersebut.
Selanjutnya, mari kita bongkar pelan-pelan problem dari jargon “kembali kepada Alquran dan Sunnah” yang biasa disuarakan oleh para ustaz dan dai dadakan di media sosial, bahkan tak jarang dai atau ustaz yang usia keislamannya masih seumur jagung sudah sangat getol sekali menyuarakan jargon tersebut tanpa melihat secara holistik bagaimana metodologi yang otororitatif untuk bisa kembali dengan selamat kepada kedua sumber primer Islam itu.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa Alquran merupakan mukjizat Allah yang paling luar biasa yang diturunkan kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) sekaligus sebagai sumber primer umat Islam yang mana didalamnya banyak mengandung rahasia-rahasia, lebih-lebih kandungan bahasanya yang syarat ribuan makna dipakai dalam Alquran yang tidak semua dari kita dapat dengan mudah memahaminya tanpa bantuan para ulama.
Bagaimana mungkin setiap kita “umat Islam” dengan latar pendidikan dan subkultur yang bermacam-macam serta dengan tingkat pemahaman keislaman yang beragam dipaksa terus-menerus untuk “kembali kepada Alquran dan Sunnah” yang menurut para pegiatnya dianggap sebagai jalan utama untuk bisa disebut sebagai umat Islam yang kafah, dan jika tidak kembali kepada keduanya dianggap tidak sesuai dengan Islam lalu melayanglah tuduhan kafir keluar dari lisannya.
Artinya, problem pertama yang harus diperhatikan adalah perihal kebahasaan yang digunakan dalam Alquran yang tidak semua orang dapat dengan mudah memahaminya selonggar logikanya sendiri. Kata orang Jawa “angger metu ae lek ngomong”. Tidak cukup hanya disitu, katakanlah dari 6.236 total ayat Alquran, hanya berjumlah 8% atau sekitar 500 ayat yang masuk dalam kategori ayat muhkamāt (jelas dan terang). Sisanya diisi dengan ayat-ayat mustasyabihāt.
Yang mengundang pemaknaan multi-interpretatif, dan sudah barang tentu meniscayakan adanya sebuah perbedaan-perbedaan aksidental, dan itu sah hukumnya selama hal tersebut ditempuh dengan cara atau metodologi yang benar sebagaimana yang telah diajarkan oleh ulama-ulama otoritatif dahulu. Adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal apabila kita kembali kepada Alquran dan Sunnah secara sendiri-sendiri dan letterlijk (secara harfiah).
Betapa angkuh dan egoisnya kita dengan gagahnya berdalih “kita pengikut Rasulullah wajib kembali kepada Alquran dan Sunnah”. Siapa kita? Sudah berapa tahun kita bertapa untuk memahami kandungan ayat-ayat Alquran? Sudah berapa lama kita meneduh di pondok pesantren untuk belajar khazanah dasar keislamanan? Sudah berapa kitab kuning yang telah kita pelajari untuk memahami pendapat-pendapat ulama tentang tafsir Alquran dan disiplin ilmu lain?
Jawabannya? Sementara kita masih awam dengan seluk-beluk Alquran, masih belum cukup ilmu untuk menyerap makna dari ribuan ayat Alquran. Masih belum sempurna akal dan logika kita untuk menyingkap hikmah di balik ayat-ayat Alquran. Oleh karena itu kita butuh jembatan untuk bisa kita gunakan sebagai jalan menuju Alquran dan Sunnah. Karena menurut hemat saya Alquran itu tak ubahnya seperti samudera yang luasnya membentang sejauh mata memandang.
Di dalamnya menyediakan apa saja yang dibutuhkan oleh umat manusia, utamanya umat Islam. Kita mau bicara apa? Semua ada dalam Alquran. Bicara perang ada, bicara sains ada, bicara langit ada, bicara bumi dan seisinya juga ada, bicara kedamaian apalagi, tambah gak karu-karuan banyaknya. Oleh karena semuanya ada, kita butuh semacam tour guide untuk menuntun kita menyelami samudera yang luas itu.
Bukan ujuk-ujuk berenang sendiri, alih-alih mendapat makna ayat-ayat Alquran yang ada bisa-bisa kita hanyut terbawa gelombang lalu kesasar dan karam ke jurang samudera yang dalam tanpa bisa kembali lagi ke daratan. Dengan kata lain, kembali pada Alquran dan Sunnah itu bukan lagi kewajiban tapi sebuah keniscayaan bagi umat Islam. Namun ada yang lebih penting darinya, apa itu? Berangkat dari Alquran dan Sunnah untuk berlayar dalam kemajuan dunia ke depan. [MZ]
-Bersambung-