Apa Kabar Ibadah Kita Setelah Ramadhan?

Ramadhan telah berlalu, lebaran juga sudah selesai. Kemudian, ngapain kita? Apa yang seharusnya kita lakukan?

Beberapa hari yang lalu kita menyaksikan bagaimana masjid itu penuh dengan orang untuk berjamaah. Kita bisa melihat bagaimana di kala subuh terdapat pemandangan aneh yang menakjubkan tidak seperti biasa di mana shaf-shaf di masjid itu penuh dengan orang-orang yang memakmurkan rumah Allah Azza wa Jalla. Kita pun bisa menyimak di mana-mana orang-orang melantunkan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Selain daripada itu, di berbagai tempat, kita menyaksikan begitu ramai orang bersedekah. Banyak orang saling berbagi dengan saudara-saudaranya. Mereka berbagi semata karena ingin membantu satu sama lain. Akan tetapi, dengan tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan, setan-setan kembali bebas dari belenggu, apa kabarnya semua yang tadi itu?

Tatkala setan atau iblis diusir oleh Allah Azza wa Jalla, dijelaskan dalam QS. Al-Hijr ayat 39:

‎قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ

Artinya: “Ia (Iblis) berkata,“Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya,”

Iblis dan pasukannya yaitu setan yang awalnya dibelenggu, pintu neraka yang awalnya ditutup kembali dibuka; atas janji yang iblis buat itu, dia akan mengindahkan kembali kemaksiatan di bumi. Dia akan menggambarkan ketaatan itu sebagai suatu hal yang berat untuk dikerjakan, sehingga jiwa manusia sulit untuk diajak menuju kepada Allah Azza wa Jalla setelah Ramadan.

Kenapa di bulan Ramadan rasanya mudah sekali, kita bisa shalat malam, kita bisa baca Al-Qur’an, kita bisa puasa, kita bisa banyak berbuat kebaikan tapi setelah itu berat? Hal itu memang karena iblis mulai kembali melakukan aktivitas sebagaimana biasanya, yakni menyesatkan umat manusia. Tapi apakah dengan puasa sebulan penuh lamanya kita dididik untuk menjadi pribadi yang lemah dan menyerah begitu saja?

Allah mengingatkan dalam QS. An-Nahl ayat 92:

‎وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ

Artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.

Puasa mendidik kita supaya menjadi pribadi yang tangguh. Ramadhan menjadi momen bagi kita menempa diri untuk bersiap menghadapi godaan setan dan hawa nafsu kita sendiri. Ketika habis masa training, maka tibalah saat kita kembali berjuang yang sesungguhnya dengan istiqomah dalam ketaatan dan kebaikan, bukan yang sebaliknya seperti orang dungu bak perempuan pemintal benang sebagaimana yang diibaratkan.

Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bagaimana menjadi hamba Allah yang istiqomah. Beribadah itu bukan hanya di waktu tertentu, bukan hanya di musim tertentu. Allah dengan Rahman Rahim-nya, dia tahu manusia diciptakan lemah, maka Allah sediakan musim-musim kebaikan di mana dia di situ bisa menempa diri, berbekal untuk masa yang akan datang.

Sebulan penuh Allah beri kesempatan kita untuk menghadapi bulan Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah. Kemudian Allah kasih lagi momen untuk berbekal yaitu sepuluh hari awal Dzulhijjah, maka orang berangkat haji beribadah ke Mekah. Allah tahu kita makhluk yang lemah, maka untuk perjuangan kita tatkala bala tentara setan kita hadapi di mana saja kita berada, kita disediakan momen untuk menempa diri demi menjadi pribadi yang kuat dan tangguh.

Oleh itu, bekal itu perlu terus kita kembangkan, jangan berhenti di momen ‘pelatihan’. Yang baca Al-Qur’an, dibuka lagi. Mungkin kalau di bulan Ramadan 1 hari 1 juz, selesai Ramadan setengah juz atau satu halaman-satu halaman saja tapi Istiqomah tiap hari itu lebih dari cukup.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‎أَحَبَُ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Artinya: “Amal (kebaikan) yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meski sedikit.

Keberlanjutan sebuah amal kebaikan penting karena itu menunjukkan konsistensi dari niat dan keteguhan dalam berbuat. Di sini kaulitas sebuah perbuatan tidak dinilai dari jenis kebaikannya tapi kesinambungannya. Amal baik akan melahirkan amal baik berikutnya. Amalan yang besar namun berhenti di tengah jalan tak lebih baik dari amalan kecil namun berlangsung terus-menerus. Karena yang kecil tapi lestaris suatu saat akan menjadi besar, sementara yang besar tapi stagnan bisa terkikis pelan-pelan.

Kemudian, yang kedua puasa, kita mampu puasa sebulan penuh, masa tidak mampu puasa senin-kamis, masa tidak mampu puasa cukup enam hari di bulan Syawal? Kembali pada tugasnya iblis, memang dia menggambarkan puasa itu sulit, puasa itu berat dan capek; tapi kembali pada diri kita sendiri, apa iya kita sepayah itu? Apa mungkin hidup yang baik, tempat yang baik, apa-apa yang baik sebagaimana yang kita impikan itu diberikan pada orang-orang yang payah? Begitupun dengan shalat malam, bersedekah, dan berbagai amal kebaikan lainnya.

Ketika Ramadhan telah berlalu, lebaran juga sudah selesai; kemudian yang seharusnya kita lakukan ialah mencoba, berjuang dan terus berusaha untuk istiqomah dalam ketaatan dan kebaikan. Yang bisa kita kuasai adalah proses, bukan hasil, dan Allah tahu itu. Maka, sudah seharusnya kita berproses semaksimal mungkin dan seoptimal mungkin. Allah adalah sebaik-baik hakim di jagad raya semesta ini. Allah menilai sesuatu bukan atas dasar seberapa banyak hasil yang diperoleh, melainkan seberapa besar daya dan upaya yang dikerahkan dalam berjuang dan berusaha.

Jadi, apa kabar ibadah kita setelah Ramadhan?

7

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.