Renungan untuk Perubahan atas Pelanggaran HAM Masih Sering Terjadi

Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia menjadi pengingat pahit bahwa perjuangan terhadap keadilan dan kesetaraan masih jauh dari selesai. Ambil contoh kasus diskriminasi yang dialami komunitas Ahmadiyah. Mereka kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif bahkan diusir dari rumah mereka sendiri hanya karena keyakinan yang berbeda.

Sementara itu, perempuan dan anak-anak terus menjadi korban kekerasan domestik, pelecehan seksual, bahkan perdagangan manusia. Semua ini mencerminkan realitas yang menyakitkan bahwa HAM di Indonesia masih rentan terjadi pelanggaran, baik oleh individu maupun institusi negara.

Pelanggaran-pelanggaran ini tidak hanya melukai individu secara fisik atau psikologis tetapi juga mengganggu fondasi nilai-nilai keadilan yang seharusnya menjadi landasan hidup bersama. Ketika hak-hak dasar diabaikan, masyarakat kehilangan rasa percaya terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka.

Akibatnya, konflik sosial kerap muncul, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Dengan menyadari betapa seriusnya dampak ini, kita perlu menelaah akar permasalahan HAM di Indonesia, serta merenungkan solusi yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.

Di Indonesia, salah satu penyebab masih terjadinya pelanggaran HAM adalah lemahnya penegakan hukum. Banyak kasus pelanggaran HAM tidak ditangani dengan serius.

Pelaku kekerasan terhadap minoritas agama, misalnya, sering kali lolos dari hukuman, sementara korban dibiarkan tanpa perlindungan. Hal ini menciptakan budaya impunitas yang memperburuk situasi. Ditambah lagi, stigma sosial terhadap kelompok minortias tertentu juga semakin memperparah diskriminasi yang mereka alami.

Secara filosofis, HAM bertumpu pada pengakuan akan martabat manusia yang universal. Hak ini tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, termasuk negara. Namun, di Indonesia, prinsip ini agaknya tidak jarang berbenturan dengan norma-norma sosial yang diskriminatif. Masyarakat cenderung menghakimi individu berdasarkan perbedaan agama, etnis, atau orientasi seksual.

Adapun dalam tradisi Islam, HAM sebenarnya mendapat tempat yang kuat. Al-Qur’an menyebutkan, “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh seluruh manusia” (QS. Al-Maidah: 32). Ayat ini menegaskan betapa berharga nyawa dan hak setiap individu, tanpa terkecuali.

Namun, meskipun ajaran agama dan filosofi kemanusiaan mendukung HAM, praktik di lapangan sering jauh dari kata ideal. Selain lemahnya penegakan hukum, kebijakan pemerintah terkadang justru memperkuat diskriminasi. Misalnya, penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang membatasi aktivitas Ahmadiyah, sebuah kebijakan yang dianggap melanggar kebebasan beragama. Kebijakan semacam ini menunjukkan bahwa HAM masih sering dipandang sebelah mata ketika berhadapan dengan tekanan politik atau mayoritas sosial.

Pendekatan Islam pun menawarkan perspektif yang menarik untuk menghadapi tantangan ini. Islam menekankan keadilan sebagai landasan kehidupan bermasyarakat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya manusia itu sama, bagaikan gigi-gigi sisir,” (HR. Ahmad dan Abu al-Zubair).

Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan di antara manusia adalah prinsip utama yang harus dijaga. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa semua warga negara, tanpa kecuali, mendapatkan perlindungan hukum yang adil.

Maka, untuk mewujudkan hal ini, pendidikan tentang HAM harus ditingkatkan. Pendidikan adalah kunci atas segenap problem kemanusiaan. Banyak pelanggaran terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya menghormati hak orang lain.

Sekolah dan media massa dapat memainkan peran besar dalam menyebarkan kesadaran ini. Selain itu, organisasi masyarakat sipil (LSM) harus terus mendorong pemerintah agar lebih serius menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. LSM juga dapat memberikan pendampingan kepada korban, baik dari segi hukum maupun psikologis.

Dalam konteks dunia pendidikan, nilai-nilai HAM harus diajarkan sejak usia dini. Kurikulum sekolah perlu memasukkan pembahasan tentang penghormatan terhadap perbedaan, pentingnya empati, dan cara-cara hidup berdampingan secara damai. Pendidikan seperti ini tidak hanya akan mencegah pelanggaran HAM di masa depan, tetapi juga menciptakan generasi yang lebih peduli terhadap keadilan sosial

Di sisi lain, media massa juga memiliki peran strategis dalam membangun opini publik. Berita dan kampanye yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dapat membantu membentuk pandangan masyarakat yang lebih inklusif.

Sementara itu, pemerintah juga perlu menunjukkan komitmen nyata dengan memperkuat lembaga penegak hukum. Aparat keamanan harus diberi pelatihan khusus untuk memahami dan menghormati HAM. Transparansi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM harus dijamin, agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat dipulihkan. Dan, penting pula untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan HAM, agar kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan berkeadilan.

Di tingkat kebijakan, Indonesia perlu memperbaiki regulasi yang diskriminatif dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Kebijakan seperti SKB terhadap Ahmadiyah atau peraturan daerah yang membatasi kebebasan beragama harus ditinjau ulang. Pemerintah sudah seharusnya memastikan bahwa instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi, seperti Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, benar-benar diimplementasikan di tingkat nasional.

Di sisi lain, peran masyarakat sipil juga tidak kalah penting. Organisasi non-pemerintah harus terus mengadvokasi perlindungan HAM melalui kampanye, lobi, dan bantuan langsung kepada korban. Masyarakat secara umum mesti didorong untuk lebih aktif dalam menyuarakan keprihatinan mereka terhadap pelanggaran HAM. Media sosial, misalnya, bisa menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan kesadaran dan mengorganisasi gerakan solidaritas.

Adapun pendekatan berbasis nilai-nilai Islam dapat memberikan tambahan kekuatan moral dalam upaya ini. Islam menekankan pentingnya menghormati hak-hak setiap individu, baik dalam hubungan antarpribadi maupun dalam tata kelola negara. Prinsip-prinsip seperti keadilan, kasih sayang, dan persaudaraan universal dapat menjadi dasar untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Dalam sejarah Islam, misalnya, Nabi Muhammad SAW memberikan perlindungan kepada kaum Yahudi di Madinah sebagai bagian dari Piagam Madinah. Ini menunjukkan, bahwa penghormatan terhadap keberagaman adalah bagian integral dari ajaran Islam.

Pada akhirnya, pelanggaran HAM di Indonesia adalah persoalan yang kompleks, tetapi bukan tanpa solusi. Dibutuhkan upaya kolektif dari semua pihak—pemerintah, masyarakat, dan individu—untuk menciptakan lingkungan yang lebih menghormati hak asasi. Pendekatan filosofis yang kritis, didukung oleh nilai-nilai Islam, dapat menjadi landasan untuk perubahan ini. Sebagai bangsa, kita harus berkomitmen untuk melindungi HAM, tidak hanya karena kewajiban hukum, tetapi juga sebagai bagian dari nilai kemanusiaan dan keimanan kita. Dengan cara ini, kita dapat membangun Indonesia yang lebih adil, damai, dan bermartabat untuk semua.

1

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.