[Resensi Buku] Kecenderungan Simbolik Masyarakat Indonesia

2 min read

Judul Buku: Islam & Sistem Perbankan di Timur Tengah dan Indonesia

Penulis: Sumanto Al Qurtuby, Dkk

Penerbit: eLSA Press

Tebal Buku: 338 halaman

Cetakan: Februari, 2020

ISBN: 978-602-6418-57-9

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam Forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 17 tahun lamanya, tepat pada tanggal 24 Januari 2004 telah menetapkan fatwa haram tentang bunga bank (konvensional). Kendati Ketua MUI, Ma’ruf Amin (sekarang Wapres RI) mengungkapkan bahwa fatwa ini tidak mengikat adanya (20/12/03), tetapi di level akar rumput fatwa ini mampu menggiring spirit publik (baca; muslim) untuk resign dari bank konvensional yang dinilainya sebagai pusat riba.

Di beberapa sudut Kota Pekanbaru Provinsi Riau, terpampang baliho raksasa bertuliskan bahaya riba dan bermuatan ajakan untuk meninggalkan bank-bank konvensional. Berita yang dilansir oleh datariau.com (10/02/18) ini bukan saja mengakuisisi sejumlah karyawan bank konvensional yang hendak resign, tetapi justru cenderung menganjurkan. Berita senada juga dinaikkan oleh CNN Indonesia (08/07/19) yang mengisahkan dua orang laki-laki, Ikbal (29) dan Dayat (38), yang rela berhenti bekerja di salah satu bank konvensional usai mengikuti kajian ‘hijrah’ Khalid Basalamah, ustaz salafi yang sedang digandrungi oleh sebagian muslim/ah Indonesia itu.

Fenomena keagamaan semacam itu yang dipotret Sumanto Al Qurtuby Dkk. dalam bukunya ini. Penting digarisbawahi, buku ini bukan merupakan ‘buku ajar’ mengenai seluk-beluk dunia perbankan. Akan tetapi lebih merupakan buah dari kegelisahan intelektual Sumanto terhadap tafsir subjektif-simbolik sebagian muslim Indonesia atas perbankan syariah dan konvensional; bank konvensional dianggapnya tidak syar’i, sedangkan bank syariah sebagai yang paling islami.

Pemilihan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi (yang disinyalir sebagai bumi kelahiran Islam) sebagai objek penelitian Sumanto bukan tanpa alasan. Banyaknya masyarakat Indonesia yang mengira bahwa negara-negara dengan populasi muslim terbesar di Timur Tengah menerapkan sistem perbankan yang berbasis pada doktrin normatif hukum Islam, adalah salah satu alasan mendasarnya.

Baca Juga  Tentang Korelasionisme: Catatan Kecil untuk Goenawan Mohamad

Padahal, faktanya tidak demikian. Bahwa sebagaimana negara-negara lain yang mayoritas berpenduduk muslim, negara-negara di Timur Tengah memiliki aneka ragam jenis bank dan sistem perbankan. Ada bank central, bank komersial, bank sekuler-konvensional, bank pemerintah, bank swasta, bank Islam, dlsb (hlm. 118). Fakta empiris ini menampik pandangan sebagian masyarakat Indonesia yang, setiap mendengar istilah Timur Tengah, selalu mengidentikkannya dengan Islam. Padahal, Timur Tengah tidak berarti Islam.

Semangat simbolisme keagamaan (atau formalisasi syariat Islam) masyarakat Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak proses perjuangan mencapai kemerdekaan pada abad ke-20, setelah empat pimpinan Islam berhasil merumuskan Piagam Jakarta yang terproyeksi menjadi Mukaddimah UUD 1945. Dalam konteks ini, bank syariah yang telah mendapatkan izin mendirikan usaha pasca diberlakukannya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, wajib mencantumkan dengan jelas kata ‘syariah’ setelah kata ‘bank’. Inilah antara lain, yang membedakan perbankan syariah di Indonesia dengan perbankan Islam di Arab Saudi yang relatif tidak mengedepankankan ‘simbol’ khususnya dalam urusan perbankan (hlm. 290).

Dalam orasinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta belasan tahun yang lalu, Abdullah Ahmad an-Na’im, cendekiawan muslim asal Sudan, menyatakan pendapat yang cukup menggugah. Bahwa formalisasi syariat Islam dalam konteks nation-state bukan saja tidak mungkin, bahkan menurutnya tidak perlu. Sebab, negara modern bersifat netral dan karenanya tidak boleh didominasi oleh salah satu golongan yang hanya akan menjerumuskan suatu negara pada eksklusivitas bermazhab.

Jika ‘simbolisme’ disejajarkan dengan ‘formalisme’ dalam makna umum, maka orasi an-Na’im sebetulnya mendukung penuh apa yang dibangun Sumanto dalam buku ini. Untuk mengidentifikasi ke-syariahan lembaga keuangan sebagai roda perekonomian umat, tidak perlu bergantung pada kata ‘islami’ yang melabelinya, melainkan pada sejauh mana sebuah lembaga keuangan dapat menjamin kesejahteraan umat lintas stratifikasi sosial.

Baca Juga  [Resensi] Wahabi, Sufisme, dan Penghancuran Budaya

Hukum haram bunga bank yang belakangan menguat sejalan dengan naiknya konservatisme muslim Indonesia, misalnya, masih kontroversial dan problematis. Nurul H. Maarif di bab 3 (hlm. 79) menguraikannya dengan cukup lugas dan jelas. Status hukum bunga bank tidak tunggal. Putusan hukumnya mestinya berangkat dari pertanyaan; apakah bunga bank sama dengan riba? Jawaban atas pertanyaan ini berada dalam domain fikih (bukan syariat) yang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapaat; antara halal dan haram.

Intinya, selama bunga bank tidak ekploitatif dan semakin menindas, maka tidak termasuk kategori riba, dan karenanya sah-sah saja. Sebaliknya, jika bunga bank berpotensi ekploitatif, maka itulah riba yang diharamkan.

Melalui kajian-kajian akademik, telaah terhadap berbagai pustaka yang otoritatif, pendapat para ahli yang concern dalam bidang perbankan dan isu-isu keislaman, serta presentasi etnografi mahasiswa/inya (hlm. 202) yang hampir semuanya beretnis Arab, Sumanto hendak menegaskan bahwa persoalan perbankan secara normatif sama sekali tidak berkaitan dengan syariat Islam.

Dengan ungkapan lain, alih-alih Islam secara tegas memerintahkan pendirian sebuah perbankan, ‘istilah’ perbankan atau rumusan definitif tentang perbankan sendiri tidak satu pun termaktub dalam kitab suci Alquran. Eksistensi perbankan tak lebih dan tak kurang merupakan produk modernisasi-industrialisasi global guna mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang kian maju dan tak menentu.

Karenanya, semestinya kita mulai menilai sistem dan praktik sebuah perbankan tidak sekadar secara simbolik, melainkan secara realistis-kontekstual yang lebih jelas pijakan ilmiah dan kebenarannya. Lepas dari semua itu, muslim Indonesia memiliki hak prerogatif untuk memilih bank syariah atau bank konvensional, sesuai kondisi sosial dan keyakinannya masing-masing, tanpa harus menonjolkan klaim-klaim spritualitas atas benda sekuler bernama ‘bank’. [MZ]