Dalam kitab al-Risalahnya Imam al-Qusyairi berkata:
“Ketahuilah bahwa perjalanan dibagi menjadi dua; pertama, perjalanan badan yaitu pindahnya badan dari satu tempat ke tempat yang lain. Kedua, perjalanan hati yaitu peningkatan sifat (karakter) ke sifat yang lebih baik. Namun, yang dilihat banyak orang-orang yang melakukan perjalanan dengan jasad dan hanya sedikit orang-orang yang melakukan perjalanan meningkatkan karakter”
Terkait perjalanan yang kedua, kisah hamba Allah, Luqman Hakim, yang diabadikan dalam surat ke 21 dalam Alquran (Q.S. al-Luqman) patut dijadikan sebagai sebuah bahan renungan. Dalam pada ayat 12 dkisahkan bahwa Allah telah memberikan hikmah kepada Luqman.
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, ‘Bersyukurlah pada Allah! Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah) maka, sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji” (Q.S al-Luqman [21]: 12)
Dalam kitab “Taysir al-Karim al-Rahman” sang pengarang kitab ini, al-Sa`di, menyebutkan bahwa Allah telah menganugrahi Luqman Hakim dengan ilmu hikmah, yaitu mengetahui kebenaran (al-‘Ilmu bi al-Haq) yang berupa hukum-hukum dan rahasia dibaliknya serta kebijaksanaan.
Kebijaksanaan ini merupakan hal penting karena tidak sedikit manusia yang mempunyai ilmu namun tidak memiliki sikap yang bijaksana.
Sehingga, kata “al-Hikmah” pada ayat di atas ditafsiri dengan ilmu yang manfa`at dan amal saleh. Selanjutnya, setelah Allah swt memberikan anugerah yang agung, Allah swt memberikan perintah kepada Luqman agar bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah padanya. Dengan bersyukur, Allah akan memberkahi dan menambahnya dengan anugrah keutamaan.
Bahkan, dalam kitab “Tafsir al-Wasit” disebutkan bahwa seseorang bersyukur sebenarnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Maksudnya, ia akan mendapatkan manfa’at dan pahala serta menjauhkannya dari api neraka.
Pada ayat selanjutnya, Luqman Hakim digambarkan memberikan wasiat kepada putranya yang berupa perintah dan larangan.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata pada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Q.S al-Luqman [21]: 13)
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya “Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syaria’at wa al-Minhaj” menjelaskan bahwa pada ayat tersebut Allah sebenarnya memerintahkan umat Islam agar mengingat kisah Luqman tatkala memberi wasiat kepada anaknya.
Luqman berkata pada anaknya “Wahai anakku! Sembahlah Allah dan janganlah berbuat kemusyrikan (menyamakan Allah dengan lainnya). Sesungguhnya perbuatan syirik ialah paling besarnya perbuatan dzalim dikarenakan berhubungan dengan pokok akidah dan menyamakan antara Khaliq dengan makhluk”.
Sedangkan pada ayat ke-14, surah ini menjelaskan tentang perintah untuk taat dan berbuat baik kepada orang tua.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسانَ بِوالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلى وَهْنٍ وَفِصالُهُ فِي عامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu. Hanya kepa Aku kembalimu” (Q.S al-Luqman [21]: 14)
Dalam hal ini, syaikh Wahbah Zuhaili memberi batasan tentang ta’at, yakni hanya pada perkara kebaikan bukan ta’at untuk melakukan maksiat kepada Allah, seperti ketika keduanya menyuruh untuk berbuat kemusyrikan.
Lalu, bagaimana sikap kita jika kedua orang tua kita tidak seiman dengan kita? Syaikh Wahbah Zuhaili juga menjelaskan agar kita tetap berbuat baik kepada mereka seperti memberi bekal (harta), memberi obat ketika sakit dan lemah-lembut ketika berucap, tanpa mengikuti kekufurannya.
Selanjutnya pada potongan ayat “’anisykur lii” sebagai penjelas bagi wasiat sebelumnya agar kita bersyukur kepada Allah atas nikmatNya dan bersyukur kepada kedua orang tua sebab keduanyalah yang menjadi penyebab adanya kita. Wallahu a’lam [AA]