Kemarin bertepatan Asyuro, hari kesepuluh bukan Muharram. Hari mulia di bulan mulia. Namun, kemuliaan dan kesucian hari Asyura tercoreng oleh peristiwa yang meninggalkan luka mendalam. Hingga kini memicu konflik berkepanjangan antara Muslim Sunni dan Syiah. Perselisihan semakin meruncing setiap kali hari Asyura datang.
Di saat mayoritas Muslim penganut Ahlussunnah wal Jamaah memperingati hari Asyura sebagai hari kesyukuran atas kemenangan dengan mengabadikan ingatan sejarah kemenangan Nabi Musa atas tirani kekuasaan Firaun, kaum Syiah memperingatinya sebagai hari kesedihan.
Bahkan, dalam ritualnya ada yang sampai melukai diri agar bisa merasakan apa yang dialami oleh Sayyidunal Husain. Di hari itu, tepatnya pada tahun 61 H, Imam Husein beserta pengikutnya sebanyak 72 orang dibunuh dibunuh di Karbala Irak, oleh Yazid bin Muawiyah, penguasa saat itu.
Peristiwa itu pada mulanya bermotifkan politik, tetapi memberi pengaruh psikologis dan teologis yang sangat mendalam. Hingga kini kebencian dan kecurigaan menyelimuti hubungan antara dua tradisi keislaman; Sunni dan Syiah. Bahkan dengan mudahnya antara satu dengan lainnya saling mangkafirkan. Isu inilah yang berperan memecah belah persatuan umat seperti yang terjadi di beberapa negara Islam.
Tidak sepatutnya umat Islam terus tersandera oleh beban sejarah kelam di masa lalu. Sampai kapan peritiwa itu akan terus menghalangi persatuan umat? Lalu, apa dosa generasi belakangan yang tidak terlibat dalam peristiwa itu, bahkan mengingkarinya, sehingga harus menanggung beban sejarah masa lalu?
Umat Islam, Sunni dan Syiah, bersepakat tentang kedudukan Ahlul Bayt di hati kaum muslimin. Cinta kepada Nabi dan keluarganya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Bahkan, Imam Syafii menyatakan wajib hukumnya membaca shalawat (doa) untuk Ahlul bayt dalam shalat.
Hubungan antara para Sahabat dengan Ahlul Bayt terjalin dengan baik penuh kecintaan dan kasih sayang. Imam Ali menikahkan putrinya Ummi Kultsum kepada Umar bin Khattab, dan menamakan anak-anaknya dengan nama Abu bakar, Umar dan Usman. Imam Musa al-Kazhim, putra Imam Ja’far al-Shadiq, menamakan salah seorang putranya dengan nama Abu Bakar dan putrinya bernama Aisyah. Lalu, mengapa cacian dan laknat terhadap para sahabat yang sangat dihormati oleh Muslim Sunni masih terdengar hingga kini?
Tentu, sebagai manusia mereka tak luput dari kesalahan. Tetapi, itu tidak berarti kita boleh merendahkan, apalagi mencaci dan melaknat mereka, wal ‘iyādzu billāh. Kalaupun pernah terjadi konflik politik di masa lalu, biarlah itu bagian dari masa lalu yang harus menjadi pelajaran bagi generasi mendatang untuk menatap masa depan bersama yang lebih baik.
Teladani Imam Syafii yang menyikapi persitiwa itu dengan mengatakan, “itu semua adalah peristiwa yang Allah telah jauhkan kita darinya, maka jangan kotori lisanmu dengannya” (hādzihi ahdātsun ab’ada Allah aydīnā ‘anhā, falā nulawwitsu alsinatana bihā). Atau, Khalifah Umar bin Abdil Aziz yang pernah mengatakan, “Itu adalah (peristiwa ber)darah yang Allah bebaskan aku darinya, maka aku tidak suka mengotori lisanku dengannya”.
Mari kita muliakan hari Asyura dan bulan mulia ini dengan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah dan menyatukan barisan. Tidak dengan membangkitkan emosi dan narasi kebencian yang akan mempertajam jurang perpecahan.
Tabiat kolonialisme, kapan dan di mana pun sama, yaitu mengadu domba dan memecah belah kekuatan (devide et impera). Jika saat ini beberapa negara Muslim telah berhasil dipecah dengan isu Sunnah-Syiah, tidak mustahil ke depan perpecahan akan terjadi antara sesama pengikut Sunni, dan antara sesama pengikut Syiah.
Kita harus selalu ingat pesan Allah Swt yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurât: 10).
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, (QS. Ali Imran: 103).
Editor: MZ