Muhammad Nur Salim Seorang diplomat, pernah bertugas di KBRI Kairo dan Beirut. Kini bertugas di Bangkok, Thailand.

Azan Magrib Berkumandang Dua Kali di Lebanon

2 min read

Sore itu, di wilayah selatan Lebanon, langit mulai redup. Matahari perlahan-lahan lenyap dari pandangan, tanda waktu magrib mulai menjelang. Waktunya berbuka puasa telah tiba. Kami yang menjadi “tamu kehormatan” seorang pengusaha Lebanon, importer ban produk Indonesia, duduk di halaman rumahnya yang megah, bercengkrama penuh keakraban: membicarakan kondisi perpolitikan dan perekonomian di kedua negara.

Karena azan magrib sudah berkumandang, kami berempat dari Kedutaan Besar Republik Indonesia Beirut dipersilakan untuk menyantap hidangan yang telah disediakan. Anehnya, hanya kami yang mendekati hidangan buka puasa. Tuan rumah beserta orang-orang lain masih duduk di kursi, seolah tidak menghiraukan waktu magrib. Mereka tidak bergegas untuk menyantap buka puasa. Apakah mereka tidak puasa?

Saya dan teman-teman dari KBRI hanya berputar-putar di sekeliling makanan yang tertata dengan indah dan menggiurkan selera orang puasa. Namun, rasa malu menahan tangan kami untuk menyentuh makanan, karena tuan rumah tidak basa-basi menyodorkan makanan itu kepada kami.

Sepuluh menit kemudian, terdengar lagi azan berkumandang.

Oh, ternyata ini penyebabnya. Ternyata waktu magrib bagi kami yang Muslim Sunni dengan pengusaha Lebanon yang Muslim Syiah itu berbeda. Terpaut sekitar 10 menit. Azan Sunni berkumandang lebih dulu, kemudian disusul azan untuk Muslim Syiah. Setelah azan kedua berkumandang, barulah tuan rumah dan undangan warga Lebanon lainnya mendekati hidangan dan melahap menu berbuka.

Saya penasaran mengapa waktu magrib antara Sunni dan Syiah di Lebanon berbeda. Salah seorang Muslim Syiah warga Lebanon yang menjadi staf KBRI Beirut menjelaskan bahwa waktu magrib dalam pandangan Syiah tidak cukup hanya dengan hilangnya matahari dari pandangan mata—sebagaimana pendapat Muslim Sunni. Dalam Syiah, terbenamnya matahari ditandai dengan hilangnya warna merah di langit, yang merupakan sisa dari sinar matahari yang masih menyorot.

Baca Juga  Dialog Imajiner antara Habib Jafar dan Priska tentang Musik

Lebanon adalah negara yang mungil dan unik. Jumlah penduduknya hanya sekitar 4,5 juta orang. Separuh penduduknya Muslim dan sisanya mayoritas Kristen. Umat Muslim terbagi menjadi beberapa sekte: Sunni, Syiah, Druze, dan Alawite. Sementara umat Kristen terdiri dari 12 sekte keagamaan di mana mayoritasnya adalah Kristen Maronite.

Jumlah WNI di Lebanon tidak banyak, hanya sekitar 200 orang sipil dan 1300 anggota TNI yang sedang bertugas di UNIFIL. Salah satu aktivitas unik yang dilakukan oleh staf KBRI dan WNI di Beirut adalah melakukan tarawih keliling dari masjid ke masjid di sekitar Beirut. Masjid yang paling besar adalah Masjid al-Amin. Yang menjadi imam reguler di masjid ini adalah Sekjen Darul Fatwa Lebanon, Syeikh Amin al-Kurdy. Setiap malam beliau membaca satu juz dari Alquran atau lebih.

Di malam ke-27 Ramadan, jemaah tarawih membludak, karena pada malam tersebut Imam menyelesaikan bacaan juz ke-30, dilanjutkan dengan doa bersama. Suasana doa inilah yang menjadi momentum indah Ramadan di Beirut. Listrik dimatikan dan para jamaah berkerumun mengelilingi sang Imam yang membaca doa sekitar 30 menit. Air mata jemaah tumpah ruah saat doa-doa dikumandangkan.

Di masjid-masjid lain suara imam tarawih tidak kalah menarik dan syahdu. Di Lebanon, rata-rata para imam tarawih adalah seorang fiz al-Qur’ān yang bersuara merdu. Salah satu imam bersuara merdu itu bisa kita temukan di Masjid al-Majidiyyah yang berada di pusat kota. Masjid yang tampak unik ini terletak bersebelahan dengan kafe. Sementara jemaah tarawih menjalankan salatanya dengan khusyu’, orang-orang yang ada di kafe juga tetap duduk santai, ngopi dan ngobrol. Satu sama lain tidak saling mengusik.

Baca Juga  Pemikiran Imam al-Ghazālī tentang Klasifikasi non-Muslim

Biasanya, seminggu sekali KBRI Beirut menyelenggarakan buka bersama mengundang para WNI, dilanjutkan dengan tarawih bersama. Kegiatan seperti ini menjadi momen mengesankan bagi WNI yang berada di Lebanon. Berkumpul dan bertatap muka dengan sesama orang Indonesia adalah sesuatu yang spesial, karena banyak dari mereka tinggal jauh dari keluarga, terutama para mahasiswa dan pekerja di Lebanon. Berbincang, bercanda ria, mendengar ceramah Ramadan, dan menyantap makanan Indonesia di Lebanon menjadi momentum istimewa bagi mereka.

Kisah Ramadan tahun ini sungguh berbeda. Saya dan keluarga berpindah tugas ke Bangkok, Thailand, sebuah negara di mana Muslim menjadi minoritas. Di negeri ini syiar Ramadan tidak terasa. Apalagi saat ini kita dilanda pandemi covid-19. Dari cerita teman-teman yang sudah tinggal lama di Thailand, biasanya ada salat tarawih bersama di Masjid as-Safir, tidak jauh dari KBRI Bangkok.

Sedihnya, Masjid as-Safir yang beberapa bagian bangunannya sudah direnovasi untuk menyambut Ramadan, ternyata harus tutup. Sepi. Di Ramadan tahun ini, kita dihimbau untuk berkegiatan dan melakukan ibadah di rumah.

Muhammad Nur Salim Seorang diplomat, pernah bertugas di KBRI Kairo dan Beirut. Kini bertugas di Bangkok, Thailand.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *