Santri yang sempat ketemu aku, dan santri yang tidak sempat ketemu aku, besok di akhirat saya cari, saya panggil semua. Asalkan mengamalkan istighatsah ini, tidak bakal rugi kalau mengamalkan istighatsah ini (KH. Romly Tamim).
Muhammad Romly Tamim bin Tamim bin Irsyad adalah penyusun wirid istighatsah yang banyak diamalkan oleh kaum Nahdliyyin. Ulama sekaligus mursyid Qadariyah wa Naqsabandiyah dari Rejoso Peterongan Jombang ini akrab dipanggil dengan panggilan Kiai Romly.
Kiai Romly lahir di Bangkalan tahun 1888 M. dan merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Semenjak kecil beliau diboyong oleh orang tuanya Kiai Tamim Irsyad ke Jombang. Di masa kecilnya, beliau belajar ilmu agama dan Alqur’an kepada ayahnya sendiri, dan kakak iparnya yakni KH. Kholil yang juga merupakan mursyid tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyyah)
Saat dewasa, Kiai Romly muda dikirim orangtuanya belajar ke KH. Muhammad Kholil Bangkalan. Suatu ketika beliau pernah mendapat tugas untuk membantu KH. Hasyim Asy’ari mengajar di Pesantren Tebuireng. Namun, karena permintaan orangtuannya untuk pulang, beliau akhirnya pulang ke tempat orangtuanya di Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan Jombang.
Di pondok itu pula, saya pernah singgahi, mondok di sana. Pada saat itu ada banyak sekali kisah tentang Kiai Romly. Beliau adalah kiai yang masih tertanam namanya di hati para santri pondok Njoso (Rejoso). Nama Kiai Romly bisadikatakan sebagai sebuah patron bagi santri di pondok di sana karena setiap segala suatu yang dilakukan para santri terinspirasi dari nasihat atau kalam hikmah beliau.
Kiai Romly dikenal banyak orang sebagai pencetus jemaah istighatsah yang banyak pengikutnya, yakni melalui Thariqat Qadariyah wa Naqsabandiyah. Ternyata bukan hanya itu saja, Kiai Romly ini juga mempunyai banyak karamah.
Diceritakan, sebelum membuat wirid istighatsah ini, Kiai Romly melaksanakan riyaddloh (tirakat) puasa selama 3 tahun. Selama masa tirakat itulah beliau memperoleh ijazah wirid-wirid istighatsah dari para waliyulloh.
Wirid pertama yang beliau terima adalah wirid berupa istighfar, dan karena itulah istighfar beliau letakkan di urutan pertama dalam istighatsah. Demikian juga urutan berikutnya adalah sesuai dengan urutan beliau menerima ijazah dari para waliyyullah lainnya.
Konon, semasa beliau hidup, ada bioskop di sekitar pasar Peterongan. Keberadaan bioskop itu menjadi ajang maksiat hingga banyak orang yang mengadukan hal itu kepada Kiai Romly. Lalu, beliau pun menyuruh mereka yang mengadu dengan mengatakan “uncalono watu nak halaman bioskope” (lemparlah batu ke halaman bioskop itu). Dan, beberapa hari setelah Kiai Romly bilang seperti itu, bioskop itu bangkrut dan tutup dengan sendirinya.
Selain itu, ada karamah lainnya yang disaksika oleh santri beliau. Alkisah, ada seorang santri perempuan yang nyantri dan mengabdi ke Kiai Romly, tetapi merasa belum yakin kepada Kiai Romly. Sebab, dia mengabdi kepada beliau dengan tujuan agar rumah tangganya bisa berkecukupan, karena memang selama ini rumah tangganya serba kekurangan.
Namun, setelah kurang lebih setahun dia berkhidmah, ternyata keluarganya tetap begitu-begitu saja, tidak ada perubahan. Kiai Romly pun tahu perihal tujuan santri ini. Lalu, dipanggillah santri tersebut, beliau mengatakan “Rupanya kamu belum yakin ya kepada saya, sekarang pergilah kamu dengan jalan kaki kemana saja yang kau mau, dan jangan kembali jika kamu belum benar-benar yakin kepada saya”
Maka pergilah perempuan itu ke arah timur dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan, setiap ia merasa lapar dan haus ada saja yang menyapa dia sembari berkata “Kamu santrinya Kiai Romly ya? Mari singgah di rumahku walau sebentar.” Kemudian orang tersebut memberinya makanan dan minuman. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang sampai seminggu kemudian.
Setalah genap seminggu ia berjalan, ia merasa capek dan akhirnya dia tidur dibawah pohon. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan orang berpakaian putih seraya berkata “Hai santrinya Kiai Romly, jika kamu hanya menginginkan harta dunia maka terimalah ini, tetapi jika kamu menginginkan keberkahan dalam hidupmu, maka segeralah kamu kembali kepada gurumu.”
Saat terbangun, tiba-tiba ia mendapati bongkahan emas di pangkuannya. Ia terkejut bukan main melihat bongkahan besar emas yang andaikan dijual maka rumah tangganya akan terpenuhi dan tidak akan kekurangan sama sekali.
Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali menemui Kiai Romly sambal membawa bongkahan emas yang didapatnya melalui mimpi. Saat dia telah sampai, Kiai Romly pun berkata “Lho, kok kamu sudah kembali?” Santri itu menjawab: “Iya kiai, saya sudah yakin dan Insya Allah saya ikhlas berkhidmah pada kiai. Ini batu emas yang semalam saya terima.” sembari menunjukkan sesuatu yang ada di tangannya.
Kiai Romly pun berkata “Ambil saja batu itu, itu milikmu”. “Tidak Kiai, saya hanya ingin hidupku dan keluargaku penuh berkah” jawab si santri. “Kalau begitu, taruh batu itu di atas meja sana” jawab Kiai Romly.
Maka segera ditaruhlah batu itu di atas meja, dan si santri kembali melaksanakan tugasnya sebagai khadam (santri yang ikut dan mengabdi ke kiai). Kemudian, setelah genap dua tahun ia berkhidmah, ia disuruh pulang oleh Kiai Romly.
Setelah ia pulang dan kembali bersama keluarganya, ia benar-benar merasakan keberkahan dalam hidupnya. Ilmunya yang walau sedikit ternyata mendatangkan berkah dan manfaat baik untuk diri, keluarganya, maupun masyarakat luas. Hampir setiap hari, rumahnya tidak pernah sepi dari tamu dari berbagai daerah.
Itulah beberapa karamah yang dimiliki oleh KH. Muhammad Romly Tamim yang dikisahkan oleh orang terdekat beliau. KH. Muhammad Romly Tamim wafat di Rejoso Peterongan Jombang pada 16 Ramadlan 1377 H/6 April 1958 M. Lahu al-Fātihah… (AA)