Lely Shofa Imama Dosen IAIN Madura

Mengenal Empat Tahapan al-Qur’an dalam Mengharamkan Riba

3 min read

sumber: www.mresco.com

Al-Qur’an bertutur tentang riba dalam 4 kelompok atau tahapan ayat. Hal ini disimpulkan sebagai bagian dari kebijaksanaan Allah dalam menghadirkan pijakan hukum secara bertahap, sesuai dengan karakter kebanyakan manusia yang rentan kaget dan memberontak jika diberi peringatan secara tiba-tiba.

Tahapan pertama pelarangan riba adalah ayat berikut.

وَمَاۤ ءَاتَیۡتُم مِّن رِّبࣰا لِّیَرۡبُوَا۟ فِیۤ أَمۡوَ ٰ⁠لِ ٱلنَّاسِ فَلَا یَرۡبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَاۤ ءَاتَیۡتُم مِّن زَكَوٰةࣲ تُرِیدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS. al-Rūm [30]: 39)

Dalam ayat ini kita tidak akan menemukan kata, kalimat, maupun redaksi yang mencerminkan pelarangan riba. Kenapa? Karena ayat ini tidak diturunkan dalam rangka melarang riba (secara langsung), tapi riba disebutkan sebagai pembanding bagi perilaku bersedekah. Riba adalah kesia-siaan, sedangkan zakat/sedekah adalah perilaku terpuji yang jika dilakukan semata-mata mengharap ridha Allah. Allah mengapresiasinya dengan melipatgandakan rizki (tidak melulu harta) seseorang (yang bersedekah).

Ya, sedekah lebih berkah. Sedekah amatlah mudah. Ia dapat berwujud pemberian hak (nafkah) keluarga, (bantuan) untuk orang-orang tak berpunya, (sumbangan) untuk mereka yang kehabisan bekal.

Sedekah berbeda dengan riba? Tentu. Jika sedekah diberikan kepada orang yang berkekurangan, riba (seringkali) ditujukan pada orang yang berkelebihan dan (cenderung) menguasai harta orang lain dalam upaya memperbanyak hartanya.

Membaca QS. al-Rūm: 39 ini akan lebih teresapi maknanya ketika dibaca sebagai sebuah kesatuan dengan tiga ayat sebelumnya. Dimulai dari ayat ke-36 yang menggambarkan kebiasaan manusia yang mudah gembira saat mendapat kenyamanan dan mudah putus asa saat ditimpa kesusahan yang (bahkan) disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Dilanjutkan dengan ayat ke-37 yang menegaskan bahwa Allah Sang Penentu lapang sempitnya rizki seseorang, sehingga hendaknya setiap diri menyadari kewajiban yang menyandingi haknya dengan selalu mengembalikan tujuan hanya kepada Allah sebagaimana kandungan ayat ke-38.

Baca Juga  Bagaimana Sih Agama-agama di Indonesia Memaknai Moderasi Beragama? [Bag 2]

Ayat-ayat tersebut adalah runtutan yang indah, di mana yang satu menjelaskan yang lain, satu menegaskan yang lain.

وَإِذَاۤ أَذَقۡنَا ٱلنَّاسَ رَحۡمَةࣰ فَرِحُوا۟ بِهَاۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَیِّئَةُۢ بِمَا قَدَّمَتۡ أَیۡدِیهِمۡ إِذَا هُمۡ یَقۡنَطُونَ (٣٦) أَوَلَمۡ یَرَوۡا۟ أَنَّ ٱللَّهَ یَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن یَشَاۤءُ وَیَقۡدِرُۚ إِنَّ فِی ذَ ٰ⁠لِكَ لَـَٔایَـٰتࣲ لِّقَوۡمࣲ یُؤۡمِنُونَ (٣٧) فَـَٔاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِینَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِیلِۚ ذَ ٰ⁠لِكَ خَیۡرࣱ لِّلَّذِینَ یُرِیدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِۖ وَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (٣٨)

“Dan apabila Kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. Tetapi apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) karena kesalahan mereka sendiri, seketika itu mereka berputus asa; Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia (pula) yang membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang beriman; Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Surat Ar-Rum [30]: 36-38)

Tahap kedua pelarangan riba adalah ayat di bawah ini.

وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدۡ نُهُوا۟ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَ ٰ⁠لَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَـٰطِلِۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَـٰفِرِینَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِیمࣰا
“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS. al-Nisā’ [4]: 161)

Ketika ayat di atas dibaca tersendiri (hanya satu ayat itu saja), rentan menimbulkan pertanyaan karena dimulai dengan kata sambung و dan kata ganti هم yang memerlukan pengembalian pada sekelompok orang yang dibicarakan (orang ketiga jamak). maka untuk memudahkan pemahaman, ada baiknya kita membaca ayat ini secara bergandengan dengan ayat sebelumnya.

Baca Juga  Sang Dewi Surga

فَبِظُلۡمࣲ مِّنَ ٱلَّذِینَ هَادُوا۟ حَرَّمۡنَا عَلَیۡهِمۡ طَیِّبَـٰتٍ أُحِلَّتۡ لَهُمۡ وَبِصَدِّهِمۡ عَن سَبِیلِ ٱللَّهِ كَثِیرࣰا (١٦٠) وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَقَدۡ نُهُوا۟ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَ ٰ⁠لَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَـٰطِلِۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَـٰفِرِینَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِیمࣰا (١٦١)
“Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah; dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS. al-Nisā’ [4]: 160-161).

Dua ayat di atas merupakan sebuah kesatuan kalimat, bercerita tentang orang-orang Yahudi yang berbuat zalim, di mana kezaliman mereka menjadi musabab diharamkannya segala hal (termasuk makanan) yang baik setelah sebelumnya (makanan tersebut) pernah dihalalkan bagi mereka. Tak sekedar perbuatan zalim saja yang menjadi alasan, tapi juga perbuatan mereka menghalangi orang lain dari jalan Allah, menjalankan riba, dan perilaku mereka dalam memakan (mengambil) harta orang lain secara tidak terpuji.

Riba adalah perbuatan tercela, sarat kemudaratan. Ia dilarang melalui setiap risalah kenabian, jauh sebelum Rasulullah diutus. Namun, begitulah manusia, yang seringkali ingkar dan lupa, terutama jika berurusan dengan fitnah dunia, harta benda. Lalu al-Qur’an pun menceritakannya.

Al-qur’an tidak semata berisi panduan hukum berupa perintah dan larangan, tapi di dalamnya banyak (bahkan dominan) dituturkan kisah-kisah orang terdahulu dengan segala dinamika dan problematikanya, tak lain untuk dapat menjadi pelajaran bagi kita, umat Muhammad.

Di dalam ayat ke-161 surah al-Nisā’ ini, riba disampaikan sebagai perilaku yang dilarang. Lebih tegas dari penuturan riba di ayat ke-39 surah al-Rūm. Ini merupakan salah satu karakter pembeda antara surah Makkiyah dan Madaniyah. Redaksi “hukum” di ayat-ayat Makkiyah cenderung luwes, berbasis kisah dan perumpamaan, sedangkan ayat-ayat Madaniyah cenderung lugas dan spesifik.

Baca Juga  [Cerbung] Bukan Cinta Cleopatra - Bagian Pertama

Riba merupakan satu di antara al-sab’ al-mūbiqāt, tujuh hal yang membinasakan. Ada yang menyebutnya sebagai (dosa) yang menghancurkan. Hadis ini oleh beberapa mufassir dihubungkan dengan kedua ayat di atas.

قال النبي صلى الله عليه وسلم : اجتنبوا السبع الموبقات. قالوا: يارسول الله وما هن. قال: الشرك بالله, والسحر, وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق, وأكل الربا, وأكل مال اليتيم, والتولي يوم الزحف, وقذف المحسنات المؤمنات الغافلات

Rasulullah saw bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Mereka (para sahabat) bertanya. “Wahai Rasulullah, apa sajakah gerangan itu?” Kata Rasulullah, “Menyekutukan Allah; Sihir; Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang haq; Memakan Riba; Memakan harta anak yatim; Lari dari medan pertempuran; serta Menuduh berzina wanita mukminah yang lengah (tidak terlintas olehnya untuk melakukan itu).” (HR. Bukhari).

Hadis di atas tidak hanya berhubungan dengan dua ayat Yahudi dan riba saja, tapi juga selaras dengan runtutan beberapa ayat sebelumnya. Kita bisa menghayati makna ayat riba (fase kedua) ini sebagai bagian dari al-sab’ al-mūbiqāt secara lebih sempurna dengan memulai membacanya dari ayat 155. []

Bersambung.

Lely Shofa Imama Dosen IAIN Madura