Prof. KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya; Pengarang Buku Best Seller Terapi Shalat Bahagia, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, dll.

[Jumat] Dakwah dengan Kelembutan

4 min read

Foto: www.yassine.net

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْد ُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن اَشْهَدُ اَنْ لا اله اِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ فَيَا عباد الله اُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Kaum muslimin yang berbahagia.

Saya akan menyampaikan tiga kisah yang saya anggap dapat mewakili tiga generasi, yaitu generasi Rasulullah, generasi sahabat, dan generasi moderen. Tiga kisah ini tidak terjadi secara kronologis akan tetapi memiliki pesan yang sama dan pesan itu dapat disarikan pada akhir khutbah ini.

Pertama, kisah yang terjadi pada zaman Rasulullah. Suatu saat Nabi duduk bersama para sahabat senior di sebuah masjid. Tiba-tiba mereka dikejutkan adanya unta yang masuk masjid beserta penunggangnya, seorang Badui dari sebuah daerah pegunungan.. Umar hampir menghunus pedang untuk memberikan ganjaran orang yang tidak tahu sopan santun itu, .namun Nabi mencegahnya.

Badui itu, sambil berkacak pinggang di punggung untanya, bertanya dengan kasar, “Hai. Siapa di antara kalian yang bernama Muhammad?

Umar kian marah. Begitu pula Ali. Juga para sahabat yang lain. Mereka ingin meringkus Badui degil itu tapi Nabi tetap melarangnya, bahkan dengan sopan beliau menjawab, “Sayalah yang bernama Muhammad.”

Badui itu mendengus. “Oh, jadi orang macam begini yang bernama Muhammad ? Apakah engkau yang mengajarkan agar bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah ?
Betul, saya,” jawab Nabi tetap ramah. Para sahabat mendongkol.
“Apakah engkau yang memerintahkan manusia untuk salat lima kali sehari semalam?” ejek Yahudi tadi.
“Betul, saya”.
“Apa engkau yang menyuruh agar berpuasa, membayar zakat, dan ibadah haji?” hardik orang Badui itu melengking, membikin yang melihat ulahnya jadi kian sebal.
Nabi tetap tenang tatkala menyahut, “Betul, saya.”

Badui itu lalu secara mengagetkan membalikkan untanya. Tanpa permisi ia menerjang keluar. Di pintu masjid ia berkata, “Kalau begitu saya akan masuk Islam, dan akan saya anjurkan seluruh warga saya untuk memeluk agama Islam.”

Baca Juga  Khutbah Jumat: Hebatnya Indonesia

Kedua, kisah yang terjadi pada masa Pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ketika menjadi kepala negara, baju besi beliau hilang dan ternyata baju itu di tangan orang Nasrani. Persoalannya sampai ke pengadilan. Ketika hakim memanggil Sayyidina Ali dengan panggilan “Ya Amiral Mukminin ( Pepimpin kaum mukminin yang terhormat), Sayyidina Ali keberatan dengan panggilan demikian sebab setiap orang sama di depan hukum.

Dalam pengadilan tersebut ternyata Sayyidina Ali tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan baju besi itu. Karenanya pengadilan dimenangkan oleh orang Nasrani tersebut dan baju besi dinyatakan sebagai hak miliknya.

Aku kagum dengan sikap Sayyidina Ali dan saya menyatakan masuk Islam” kata orang Nasrani itu. Karena ia merasa sebenarnya pemilik baju tersebut adalah Sayyidina Ali maka baju itu ia kembalikan kepada beliau tapi beliau dengan ikhlas memberikan baju tersebut kepadanya sebagai kenang-kenangan ia telah masuk Islam.

Ketiga, peristiwa ini terjadi pada Dr. Abdul Karim Germanus, Guru Besar ahli Ketimuran (orientalis) dari Budapest University Hongaria. Beliau menceritakan pengalamannya sebagai berikut: “Pada waktu liburan musim panas, saya pergi ke Bosnia, suatu negeri Timur yang terdekat dari negeri saya. Saya tinggal di sebuah hotel, dari mana saya dapat segera pergi untuk menyaksikan kenyataan hidup kaum Muslimin di sana. Akan bahasa Turki mereka menyulitkan saya, karena saya mulai mengetahuinya dari celah-celah tulisan Arab dalam kitab-kitab ilmu Nahwu (Grammar)”.
Pada suatu malam, saya turun ke jalan-jalan yang diterangi lampu remang-remang.

Segera saya sampai di sebuah warung kopi sederhana, di mana dua orang pribumi sedang duduk-duduk di kursi yang agak tinggi sambil memegang kayf. Kedua orang itu mengenakan celana adat yang lebar dan di tengahnya diikat dengan sebuah sabuk lebar yang diselipi sebuah golok, sehingga dengan pakaian yang aneh semacam itu mereka nampaknya galak dan kasar.

Baca Juga  Bulan Kemerdekaan; Momentum Bersatu Terbebas dari Perseteruan

Dengan hati-hati yang berdebar-debar saya masuk ke dalam kahwekhame (kefe) itu dan duduk bersandar di sebuah sudut. Kedua orang itu melihat kepada saya dengan pandangan yang aneh. Ketika itu teringatlah saya kepada cerita-cerita pertumpahan darah yang saya baca dalam buku-buku yang tidak benar tentang kefanatikan kaum Muslimin.

Mereka berbisik-bisik, dan apa yang mereka bisikkan itu jelas tentang kehadiran saya yang mungkin tidak mereka inginkan. Bayangan kekanak-kenakan saya menunjukkan akan adanya tindakan kekerasan; kedua orang itu pasti akan menghunjamkan goloknya masing-masing atas dada saya yang kafir ini. Kalau bisa, saya ingin keluar dari tempat ini dan bebas dari ketakutan, akan tetapi badan saya menjadi lemas dan tidak dapat bergerak.

Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang menghidangkan secangkir kopi yang berbau harum sambil menoleh kepada kedua orang yang menakutkan itu. Sayapun menoleh kepada mereka dengan muka ketakutan. Akan tetapi ternyata mereka mengucapkan salam kepada saya dengan suara yang ramah dan tersenyum tipis.

Dengan sikap ragu-ragu, saya mencoba berpura-pura mesem, dan kedua orang “musuh” itupun berdiri mendekati saya, sehingga jantung saya terasa brdebar lebih keras, membayangkan kemungkinan orang-orang itu akan mengusir saya. Akan tetapi ternyata bahwa kedua orang itu mengucapkan salam kepada saya untuk kedua kalinya dan mereka duduk di dekat saya. Seorang di antaranya, menyodorkan rokok kepada saya dan menyulutkannya sekali.

Ternyata bahwa di balik lahiriahnya yang kasar dan menakutkan itu terdapat jiwa yang halus dan mulia. Saya kumpulkan kembali keberanian saya dan saya bercerita kepada mereka dengan bahasa Turki yang patah-patah. Kata-kata saya itu ternyata telah menarik perhatian mereka dan tampak dalam kehidupan mereka jiwa persahabatan dan cinta kasih.

Kedua orang itu mengundang saya supaya berkunjung ke rumah mereka, kebalikan dari permusuhan yang saya duga semula. Mereka telah menunjukkan kasih sayang kepada saya, kebalikan dari penghunjaman golok yang saya bayangkan semula.

Itulah perjumpaan saya yang pertama dengan orang-orang Islam. Sejak itulah rasa tertarik saya kepada Islam semakin kuat. Sampai saya bermimpi ajaib bertemu dengan Nabi dengan jubahnya yang harum dan jenggotnya yang panjang. Akhirnya saya memeluk Islam.

Baca Juga  Khutbah Jumat: Keutamaan 'Basmalah' dan 'Hamdalah' untuk Menghindarkan Diri dari Kemaksiatan

Para jamaah yang saya hormati.

Kisah-kisah di atas memberi tauladan kepada kita bagaimana kita harus bergaul dengan non-Muslim. Bahkan kisah-kisah tersebut diperkuat dengan pesan Allah kepada Nabi Ibrahim dalam sebuah hadits Rasulullah:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْحَى اللهُ تَعَالَى إِلىَ إِبْرَاهِيْمَ يَا خَلِيْلِي حَسِّنْ خُلُقَكَ وَلَوْ مَعَ الْكُفَّارِ تَدْخُلُ مَدَاخِلَ اْلأَبْرَارِ–رواه الحاكم عن أبي هريرة

Nabi bersabda: Allah telah memberi wahyu kepada Nabi Ibrahim “Hai kekasih-Ku, tunjukkan budi pekerti yang baik walaupun terhadap orang kafir, engkau akan masuk sorga bersama orang-orang yang baik” (HR al-Hakim dari Abu Hurairah)

Kita memang mengemban tugas untuk berdakwah menyebarkan kebenaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Untuk tugas suci ini tidak harus selalu dengan teriak-teriak di atas mimbar, walaupun itu juga perlu. Tidak harus juga dengan perhelatan dengan biaya besar, sekalipun ini kadang-kadang juga dibutuhkan untuk syiar Islam. Tidak pula harus selalu dengan bom dan pedang samurai yang seringkali membuat mereka ketakutan mendekati dan bersahabat dengan kita, walaupun dalam keadaan terpaksa kadang-kadang ini harus kita lakukan untuk pembelaan diri.

Dalam tiga kisah juga dapat disimpulkan bahwa andaikan Nabi dan para sahabat menggunakan kekerasan dalam menyikapi orang yang diduga melecehkan Islam, tentu pelakunya telah mati sebelum masuk Islam dan orang sekampungnya juga tidak menjadi Muslim.

Dalam sejarah justru amat banyak orang yang masuk Islam bukan karena pidato ataupun pedang melainkan karena akhlak dan budi pekerti orang Islam yang bergaul denganya. Oleh karena itu akhlak yang kita tampilkan dalam kehidupan sehari-hari lebih berkesan bagi orang-orang non-Muslim daripada ceramah kita apalagi dengan kekerasan.

Senyum tidak berarti kita lemah, kelembutan tidak berarti kita tak berdaya.. Sungguh, kejujuran, keadilan, senyum dan kelembutan justru menjadi daya tarik bagi mereka untuk bersahabat dan berdialog yang mengantarkan mereka kepada kebenaran ilahiah.

اَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهُ لِى وَلَكُمْ اِنَّهُ هُوَاالْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

[HM, MZ]

Prof. KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya; Pengarang Buku Best Seller Terapi Shalat Bahagia, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, dll.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *