Prof. KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya; Pengarang Buku Best Seller Terapi Shalat Bahagia, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, dll.

[Jumat] Petunjuk ke Surga Tanpa Dihisab

2 min read

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن  اَشْهَدُاَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ  وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ اَمَّابَعْدُ فَيَا عِبَادَاللهِ اُوْصِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ  قَالَ اللهُ تَعَالَى يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hadirin Yth.

Dalam Al Qur’an surat Az Zalzalah ayat 7-8, Allah berfirman:

”Siapapun yang mengerjakan kebaikan sebesar atom, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan siapapun yang mengerjakan kejelekan sebesar atom, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah [99]: 7-8).

Firman Allah di atas memberi kegembiraan yang besar bagi kita, bahwa sekecil apapun perbuatan baik yang kita lakukan, bahkan tak diketahui oleh seorangpun pasti mendapat balasan pahala dari Allah. Ketika kebaikan kita dilupakan orang atau bahkan dituduh hanya pamer dan pencitraan belaka, kita tak perlu marah atau gelisah, sebab Allah sudah mempersiapkan balasan terbaik untuk kita. Ayat itu juga amat menakutkan, sebab, sekecil apapun dosa yang kita lakukan pasti diketahui Allah dan akan mendapat hukuman karenanya. Satu keping kerupuk yang lupa belum terbayar ketika kita makan di sebuah warung bisa menjadi penghalang kita untuk melangkah ke surga, jika penjualnya tidak merelakannya.

Dalam kisah klasik, ada seorang murid yang bermimpi jumpa guru spiritualnya, lalu bertanya, ”Adakah sesuatu yang menyusahkan tuan guru di dalam kubur?” dan dijawab, ”Ya, ada. Saya pernah mengambil robekan kayu kecil di pagar tetangga untuk tusuk gigi tanpa meminta ijin kepadanya.” Umar bin Khattab r.a pernah bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud, ”Wahai Ibnu Mas’ud, ayat apakah yang paling lengkap untuk pegangan hidup?” Ia menjawab, ”Ayat 7-8 yang menjadi penutup surat Az Zalzalah.”

Baca Juga  [Idul Fitri] Hari Raya Idul Fitri dalam Konteks Kemanusiaan

Allah sekali lagi meyakinkan kita, ”Bukankah Allah hakim yang paling adil? (QS. At Tin [95]: 8). Oleh sebab itu, di akhirat kelak, tidak akan ada vonis pengadilan yang keliru, seperti yang pernah dialami oleh Sengkon dan Karta. Atau yang dialami oleh suami isteri, Risman Lakoro dan Rostin Wahaji di propinsi Gorontalo pada tahun 2007. Setelah 3,5 tahun mendekam di penjara dengan tuduhan membunuh anak tirinya, ternyata anak tiri yang diduga telah dibunuh itu masih hidup dan menjenguk mereka di rumah tahanan. Anak itu baru mengetahui bahwa selama ia meninggalkan rumah tanpa pamit itu, orang tua mereka mendekam di penjara.

Hadirin Yth.

Dalam proses pengadilan yang amat teliti itu, ternyata ada beberapa orang yang diistimewakan Allah, bahkan diminta langsung memasuki surga tanpa pemeriksaan, sebagaimana dikatakan Allah kepada Nabi Musa a.s:

يَا مٌوْسَى اِنَّهُ لَنْ يَلْقَانِى عَبْدِى فِى حَاضِرِ الْقِيَامَةِ اِلَّا فَتَّشْتُ عَمَّا فِى يَدِهِ اِلَّا الْوَرِعِيْنَ فَاِنِّى أْسْتَحْيِيْهِمْ وَأُجِلُّهُمْ وَأٌدْخِلُهُمٌ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ رواه الحاكم والترمذي

”Wahai Musa, sungguh siapapun dari hamba-Ku pasti berjumpa dengan-Ku di meja pengadilan kiamat untuk Aku periksa dengan teliti apa saja perbuatan yang pernah dilakukannya kecuali ”ahlul wara’.” Sungguh, Aku segan dan sangat menghormati mereka, dan Aku masukkan ke dalam surga tanpa pemeriksaan” (HQR. Al Hakim, At Turmudzi dalam kitabnya Nawaadirul-Ushuul yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.).

Yang dimaksud ”ahlul wara’” dalam hadis di atas adalah orang yang menahan diri dari semua larangan Allah, bahkan terhadap sesuatu yang masih remang-remang halal-haramnya. Abu Bakar As Shiddiq r.a adalah salah satu contoh ahlul wara’, amat berhati-hati terutama dalam hal makanan dan pakaian. Ia tidak segan-segan bertanya, dari mana makanan itu dan bagaimana cara memperolehnya. Jika jawabannya tidak meyakinkan, Abu Bakar r.a memohon maaf untuk meninggalkan jamuan makan.

Baca Juga  Peran Penting Seorang Ayah dalam Urusan Anak

Pada waktu yang lain, Abu Bakar r.a langsung memakan hidangan tanpa banyak bertanya seperti biasanya, karena sangat lapar. Beberapa saat kemudian, ia hentikan makannya dan bertanya kepada pemberi hidangan. Setelah menyimpulkan bahwa makanan itu masih remang-remang halalnya, ia lari keluar sambil mencolokkan telunjukknya ke dalam kerongkongan untuk memuntahkan makanan. Orang di sampingnya bertanya, ”Wahai sahabat Rasulullah, mengapa sampai demikian, toh hanya sesuap makanan?” Ia menjawab, ”Demi Allah, jika makanan itu tidak mau keluar melainkan dengan nyawaku, niscaya akan aku keluarkan juga, sebab Nabi SAW pernah bersabda, ”Seberapapun daging dalam tubuh yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka adalah tempat paling layak untuknya.”

Mengenai syubhat ini, Nabi bersabda, ”Sungguh yang halal itu jelas, dan yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada beberapa hal yang reman-remang halal-haramnya (musytabih atau syubhat), dan tidak diketahui kejelasan hukumnya oleh kebanyakan orang. Barang siapa yang menahan diri dari hal-hal yang samar-samar hukumnya itu, maka ia benar-benar berhasil menjaga kesucian imannya dan nama baiknya. Barang siapa yang terhanyut dalam hal-hal yang syubhat, maka ia telah benar-benar masuk ke dalam wilayah yang haram, laksana pengembala yang membiarkan ternaknya di sekitar lahan yang terlarang, (sesekali) hewan itu  memasuki lahan terlarang itu”  (H.R. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir r.a).

Hadirin Yth.

Saya sama sekali belum termasuk ahlul wara’. Saya yakin banyak di antara hadirin yang lebih mendekati predikat itu daripada saya. Tapi, saya tetap menyampaikan khutbah ini untuk menguatkan diri sendiri dan hadirin agar lebih berhati-hati dalam mencari nafkah. Anda pernah mendengar perkataan orang, ”Yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Jangan ikuti dia. Kasihanilah dia, sebab terlalu berat risiko yang harus ditanggungnya kelak.  Semoga khutbah ini mendekatkan kita ke predikat ahlul wara’, sangat hati-hati dalam mencari nafkah, jangan ada sedikitpun tercampur hak-hak orang lain, dan jangan ada sesuap nasipun yang tidak jelas halalnya. Dengan cara hidup ekstra hati-hati yang demikian, kita berharap diselamatkan dari siksa kubur dan neraka, serta dipersilakan Allah SWT memasuki surga tanpa diperiksa oleh-Nya. Amin YRA.

Baca Juga  [Khutbah Jumat] Halal Bi Halal: Rahmat Allah di Balik Pandemi

                                اَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِى وَلَكُمْ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Sumber: (1) Al Qur’an Al Karim (2)  Ali Usman dkk, Hadits Qudsi, Penerbit CV Diponegoro,  Bandung, 1979, p. 298, (3) Hepi Andi Bastomi, 101 Sahabat Nabi, Pustaka Al Kautsar, Jakarta Timur, 2004.

Prof. KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya; Pengarang Buku Best Seller Terapi Shalat Bahagia, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, dll.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *