Muhammad Bakhru Thohir Penggerak Komuitas Gusdurian Jogja

Menggunakan Perspektif Sufi untuk Bertahan di Tengah Pandemi 

3 min read

Salah satu ajaran sufistik yang juga termuat dalam karya besar Ibnu ‘Atha’illah, Al-Hikam, menyebutkan bahwa tatkala manusia hanya fokus pada sesuatu yang sudah dijamin untuknya, sementara kontras, untuk hal-hal yang belum dijamin malah dilalaikan, itu adalah pertanda tertutupnya mata batin.

Ijtihaaduka fiimaa dhumina laka wa taqshiiruka fiimaa thuliba minka daliinun ‘alaa inthimaasil bashiirati minka.

Aforisme di atas menunjukan pada kita tentang pembagian peran yang perlu kita perjelas dan pertegas. Di dunia ini ada sesuatu yang belum dijamin untuk kita, sesuatu yang menjadi tanggung jawab, dan perlu ditelateni. Sementara itu, ada hal-hal lain yang sudah dijamin, kita juga tak menanggung tanggung jawab atas itu dan muaranya kita tidak perlu terlalu fokus ke sana.

Dari aforisme itu juga kita diajari untuk menjadi manusia yang eling lan waspada, begitu kalau kata Kiai Ulil Abshar Abdalla dalam buku menjadi manusia rohani. Ketika kita jeli memilah mana yang menjadi tanggung jawab kita/hal-hal yang belum ada kepastiannya, lalu kita hanya fokus pada hal itu, kita adalah manusia yang eling lan waspada.

Kita tahu mana yang perlu diperhatikan dan mana yang cukup diabaikan. Kalau dalam bahasa kebatinan, ketika kita eling lan waspada kita adalah manusia yang terbuka mata batinnya.

Ada beberapa benefit yang bersifat lahiriah ketika kita bisa menjadi manusia yang eling lan waspada, diantaranya paling minimal kita tidak akan capek sendiri dan juga tidak mudah panik.

Misalnya seorang intelejen, orang yang diidentikkan memiliki kemampuan intelegensi yang tinggi atau orang yang selalu waspada. Seorang “intel” tidak mungkin memantau semua orang, tetapi hanya memantau orang yang menjadi sasaran. Mereka hanya fokus pada orang yang menjadi “tanggung jawab” mereka. Begitulah intel yang profesional.

Baca Juga  Islam Melarang Umatnya untuk Ingkar Janji

Nah, dalam urusan kerohaniaan, apa sih yang menjadi tanggung jawab kita dan apa yang tidak menjadi tanggung jawab kita? Kita sering menemukan contoh begini, berdoa dengan tulus adalah tugas kita, sementara mengabulkan adalah tugas Allah. Kita jangan overlapping tugas.

Ketika kita ingin menjadi “intel” yang baik, tentu fokus kita adalah meneliti kualitas doa kita. Apakah selama ini doa kita sudah benar dan juga sudah tulus memohon. Kita tidak perlu ikut campur perihal kapan doa itu dikabulkan. Pertama karena mengabulkan doa dengan cara apa, kapan, dan dalam bentuk apa bukan tanggung jawab kita. Yang kedua, “menyuruh-nyuruh” Tuhan segera mengabulkan doa itu sangat tidak sopan.

Menjadi manusia yang eling dan waspada menuntut kita untuk perlu tahu apa saja tugas, tanggung jawab, dan bagian Tuhan. Serta tahu apa saja tugas, tanggung jawab dan bagian kita sebagai makhluk. Sehingga kita tidak kemrungsung ingin menggantikan peran Tuhan.

Semisal, salah satu nama Tuhan yang sangat terkenal adalah Maha Pemberi Rahmat. Atas nama itu, tercermin “tugas” dari Allah yakni selalu menjatah rezeki semua makhluknya di dunia ini. Pikiran kita jangan dikerdilkan kalau Allah hanya memberi rezeki manusia saja, karena Allah itu memberi rezeki pada semua makhluk yang ada di dunia, bahkan pada apa-apa yang, mungkin, tidak pernah kita pikirkan.

Monyet di dalam hutan, itu siapa yang menjamin rezekinya? Yang menghadirkan pisang dan beragam buah-buahan agar ia tetap bisa melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Ikan di laut itu siapa yang menjamin rezekinya? Yang menghadirkan alga dan plankton yang membuatnya tetap bisa berenang dengan bebas. Sampai, siapa yang menjamin rezeki virus corona?

Baca Juga  Belajar Toleransi dari Nepal van Java Magelang (2)

Setelah kita sedikit mengulik soal apa saja tanggung jawab Allah, sekarang kita perlu tahu apa saja sebenarnya tanggung jawab makhluk. Dalam sebuah ayat disebutkan kalau tanggung jawab jin dan manusia di dunia adalah untuk beribadah. Selanjutnya kita juga mengenal bahwa tanggung jawab manusia adalah sebagai khalifah di dunia. Untuk menjadi manusia yang eling lan waspada, kita perlu menyelami dan mengamalkan dua hal itu.

Sayangnya, kita sebagai manusia sering berperilaku melawan tugas sebagai khalifah di dunia, menyalahi hukum alam. Ketika kita tahu bahwa tugas manusia salah satunya adalah khalifah di bumi, kita malah merusak hutan dan membuat hewan-hewan seperti monyet kehabisan makanan.

Kita juga merilis sampah plastik yang membuat ikan tidak hanya makan alga, tetapi menelan sampah plastik juga. Dan, saat corona perlu dihentikan karena sifatnya yang patogen dengan tidak menghadirkan inang baru, kita malah keluar dan melalaikan protokol kesehatan. Kok jadi terbolak-balik gini.

Manusia yang eling lan waspada tahu bahwa salah satu faktor yang diperlukan dalam mengemban amanat menjadi makhluk yang selalu beribadah dan menjadi khalifah adalah kesehatan. Sehingga menjaga kesehatan secara tidak langsung adalah bertujuan untuk mengemban amanat manusia. Apalagi ketika dilihat dari kacamata khalifah di dunia, manusia juga memiliki tanggung jawab atas kesehatan bumi, mulai dari kesehatan alam sampai kesehatan dirinya sendiri.

Sehingga, dari perspektif ini, para sufi pun sepakat dengan usaha-usaha menjaga kesehatan selama masa pandemi. Kita menjaga jarak, sering cuci tangan, membersihkan lingkungan dengan desinfektan, memakai masker, sampai tinggal di rumah aja, terlihat seperti kegiatan yang biasa-biasa saja. Tetapi, kalau ditinjau dari perspektif sufi, kita sadar bahwa menjaga kesehatan adalah senarai bentuk tanggung jawab kita, sejatinya kita telah berusaha menerapkan ajaran sufi.

Baca Juga  Argumentum Ad Hominem: Kesalahan Berlogika Merusak Diskusi Sehat

Barulah saat kita sudah menjaga kesehatan dan eh ternyata masih terjangkit virus corona, kita masih dituntun oleh para sufi dengan kaidah “Kehendak kuatmu yang sudah engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan bisa melubangkan atau menembus tembok-tembok kepastian (takdir) yang sudah ditentukan Tuhan”.

Artinya, memang Tuhan masih memberikan “rezeki” pada virus. Ada unsur eksternal yang berperan di sana. Namun ingat, ini kaidah yang keluar setelah kita berusaha bertanggung jawab pada apa yang menjadi tanggung jawab kita terlebih dahulu.

Jadi seorang sufi bukanlah ia yang klewas-klewes, yang apa-apa serba terserah Allah. Kiai Ulil pun tidak setuju ketika menerjemahkan seorang sufi menjadi pasifis mutlak dan bersifat pasrah fatalistik. Para sufi adalah seorang yang hidupnya senada dengan hukum alam. Mereka menjaga lingkungan dan kesehatannya, begitu.  [AA]

Muhammad Bakhru Thohir Penggerak Komuitas Gusdurian Jogja