Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ia memiliki posisi strategis dalam membahas wacana keagamaan, termasuk yang terkait dengan isu lingkungan. Apalagi fenomena ini telah menjadi tema perbincangan publik yang sangat populer baik dalam skala nasional maupun global.
Nahdliyin sebagai bagian besar dari masyarakat Indonesia tentunya memiliki peran penting untuk mengupayakan pelestarian lingkungan sebagai tanggung jawab moral dalam menjalankan kehidupan sosioreligius dan sosioekologis. Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dan menjaganya melalui nilai-nilai agama, karenanya, menemukan relevansinya.
Isu Lingkungan di Bahtsul Masail: Produk Fatwa Ekologi
Secara historis, gagasan untuk merespons fenomena krisis lingkungan telah muncul sejak Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Oleh karena itu, kongres yang diselenggarakan pada tahun 1994 ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal fiqh al-bi‘ah (fikih lingkungan) dari NU. Dalam kongres itu bahkan telah ditetapkan undang-undang pencemaran lingkungan dan dikategorikan sebagai tindak pidana (yarimah). Melalui Bahtsul Masail, NU memutuskan aksi pencemaran lingkungan sebagai bentuk kejahatan.
Tiga tahun kemudian, dalam Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Halaqah atau Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup, mereka disuruh menanam dan merawat pohon, melestarikan hutan, tanah, air, serta keanekaragaman hayati, memperbaiki wilayah pertambangan, membantu penanggulangan bencana, membangun ketahanan pangan serta energi nasional, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, menetralisir penetrasi pasar global, dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Keputusan kongres Cipasung (1994) dan PBNU Halaqah menjadi titik tolak kesadaran NU dalam mengawal kebijakan politik lingkungan di Indonesia. Literasi dari warga nahdliyin mengenai pentingnya menjaga lingkungan merupakan kontribusi nyata dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, khususnya pada aspek ekologi.
Sebagai ormas yang berhasil membangun masyarakat madani, masuk akal jika NU juga ingin berhasil membangun kesadaran ekologis melalui pembangunan masyarakat ramah lingkungan untuk kepentingan pelestarian lingkungan.
Selanjutnya, pada Kongres NU di Makassar, Bahtsul Masail kembali membahas beberapa isu di bidang isu lingkungan, seperti hukum ilegal fishing. Muktamar di Jombang, Jawa Timur, isu lingkungan kembali mengemuka dan menjadi tema diskusi dalam forum tersebut. Forum tersebut mengkaji beberapa isu kekinian terkait masalah lingkungan, antara lain hukum membakar dan menenggelamkan kapal asing, hukum eksploitasi alam yang berlebihan, dan hukum konversi lahan.
Fatwa Illegal Fishing
Praktek ilegal fishing merupakan salah satu permasalahan pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia. Sumber daya perikanan Indonesia sering dieksploitasi oleh nelayan dari negara tetangga. Di sisi lain, terkadang nelayan Indonesia juga melakukan hal yang sama di perbatasan negara tetangga.
Oleh karena itu, forum Bahtsul Masail merasa mendesak untuk membahas status hukum praktik tersebut. Setidaknya ada tiga isu yang dibahas. Pertama, apakah praktik tersebut dikategorikan sebagai tindakan pencurian (sariqah dalam studi tentang fikih). Kedua, apakah hukum batas negara secara otomatis menjadi hukum hak milik. Ketiga, tentang status hukum ikan yang dicuri.
Menjawab masalah ini, hasil Bahtsul Masail menyimpulkan bahwa pencurian ikan adalah keluar dari sariqah, sebuah konsep dalam disiplin fikih. Namun, dianggap terlarang karena melanggar perjanjian internasional.
Hal ini berkaitan erat dengan hasil pembahasan masalah kedua bahwa batas negara tidak dapat menjadi ketentuan hukum tentang kepemilikan meskipun mungkin menjadi ketentuan hukum dalam hak kekuasaan negara. Dalam konteks ini, ikan yang dicuri dapat disita oleh negara sebagai pemilik aslinya (dalam konteks kekuasaan negara).
Fatwa Eksploitasi Alam yang Disproporsional
Muktamar NU ke-33 di Jombang juga membahas isu eksploitasi sumber daya alam. Hal ini mengacu pada eksploitasi yang tidak ramah lingkungan yang menjadi masalah serius di Indonesia. Eksploitasi sumber daya alam diyakini menyebabkan kerusakan lingkungan yang tak terelakkan lantaran ruang lingkupnya seringkali merusak, berlebihan, bahkan tidak terbatas.
Pembahasan tentang masalah ini menghasilkan keputusan fatwa sebagai berikut: Pertama, dilarang dan haram hukumnya melakukan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
Kedua, pemerintah juga dilarang dengan sengaja—tanpa mempertimbangkan persyaratan administratif dan prosedural—memberikan izin kepada korporasi atau perusahaan tambang yang menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki.
Ketiga, wajib dilakukan amar makruf nahi mugkar oleh umat Islams esuai dengan kemampuannya. Bersamaan dengan ketiga fatwa tersebut, PBNU juga menganjurkan umat Islam untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Fatwa Konversi Lahan
Isu alih fungsi lahan menjadi tema lain yang diangkat Bahtsul Masail pada kongres NU di Jombang. Pada saat itu menghasilkan dua fatwa berikut: Pertama, bahwa konversi lahan produktif, seperti lahan pertanian atau ladang, menjadi perumahan, perkantoran, atau pabrik diyakini memberikan dampak negatif pada aspek ekonomi dan lingkungan, sehingga hukumnya adalah haram (dilarang).
Kedua, membeli tanah produktif untuk mengubahnya menjadi infrastruktur adalah halal. Namun, ketika nyatanya di kemudian hari memberikan dampak negatif, pemerintah wajib melarangnya.
Kesimpulannya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki peran strategis dalam mengatasi isu lingkungan melalui Bahtsul Masail dan fatwa-fatwanya. Kesadaran ini mencerminkan ijtihad NU untuk membangun masyarakat madani dan ekologis guna pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.