M. Husnul Abid Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Tadarus Litapdimas (20): Gerakan Tarbiyah di Jambi, Dari Halaqah Masjid Ke Bisnis Pendidikan Ideologis

3 min read

Sumber: http://islami.co

Kejatuhan pemerintahan otoriter Orde Baru pada 1998 membawa perubahan lanskap sosial-politik-kegamaan di Indonesia. Jika di rezim sebelumya, pembungkaman, pembatasan, kanalisasi, dst menjadi kata kunci, kebijakan liberal setelahnya membuat banyak ekspresi, termasuk keislaman. Julie Chernov Hwang (2009) menyebut fenomena ini dengan “membuka tutup panci yang mendidih (removing the lid on a boiling pot).”

Ekspresi keislaman ini terbukti dengan girah syariatisasi di banyak daerah. Kegetolan ini datang dari organisasi-organisasi radikal yang sedang menunjukkan eksistensinya pasca Reformasi. Tak jarang mereka mengambil cara kekerasan dan teror untuk mencapai agenda ideologis mereka. Di politik, partai-partai Islam menyeruak dengan isu yang sama. Media-media “islam” pun mereka ciptakan sebagai alat propaganda.

Salah satu organisasi atau gerakan sosial Islam yang paling berkembang pasca Reformasi adalah Tarbiyah. Martin van Bruinessen (via Hwang, 1999: 82-83) mencirikan empat hal pada gerakan ini:

Pertama, sangat kritis terhadap pemerintah sekuler dan percaya hanya negara berdasarkan syariat yang bisa adil. Kedua, beranggotakan individu-individu yang relatif eksklusif. Ketiga, berkeyakinan bahwa Islam adalah jalan hidup dengan ketaatan normatif. Keempat, terdapat kontrol yang ketat terhadap anggota-anggotanya agar menerapkan standar tinggi moralitas Islam.

Ada banyak riset tentang gerakan ini dalam skala nasional, seperti Damanik (2001), Furkon (2004), Macmudi (2005), Rahmat (2008), Permata (2008), Nurdin (2009), Noor (2011), dan Hasan (2012). Namun masih jarang riset yang mengambil lokus lokal atau regional untuk gerakan Tarbiyah ini. Untuk itu, tulisan singkat ini akan melihat gerakan mereka dalam skala regional di Jambi.

Kemunculan Gerakan

Gerakan Tarbiyah di Jambi awalnya muncul di Universitas Jambi. Bermula dari kelompok-kelompok kajian, gerakan ini kemudian mendirikan unit-unit kecil belajar Islam yang disebut usrah dan bertemu secara rutin dalam forum-forum liqa’ atau halaqah di masjid atau musala kampus.

Baca Juga  Ramadan dan Lebaran di Brunei Darussalam: Open House Bisa Berlangsung Sebulan Penuh!

Sejak awal pola gerakan mereka terkesan non formal dan tertutup. Tidak ada informasi pasti kapan gerakan Tarbiyah muncul pertama kali. Yang jelas, pada 1980-an gerakan ini sudah cukup mengakar di kalangan mahasiswa dan sudah memanfaatkan masjid kampus sebagai pusat gerakan. Pada April 1991, gerakan ini menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bernama UKM Rohis ar-Rahman, sesui nama masjid tempat mereka beraktivitas. Dari UKM ini kemudian banyak aktivis mereka menduduki jabatan startegis di organisasi intra kampus, bahkan setelah lulus banyak yang menjadi tenaga pendidik di kampus.

Pada awal-awal Reformasi, gerakan ini tampak tidak begitu kuat. Saat Pemilu 2014, Partai Keadilan (Sejahtera), selaku sayap politik gerakan ini hanya memeroleh suara di bawah 4 persen di Provinsi Jambi. Namun, saat Pemilu 2019, suara PKS meningkat tajam dengan perolehan 7,35 persen atau hampir dua kali lipat dari pemilu sebelumnya. Apa yang terjadi?

Basis Kemelayuan

Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat mereka adalah Islam. Islam dan adat adalah dua hal yang tidak terpisah. Sebuah seloko yang sering diulang-ulang adalah “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato adat memakai”. Seloko ini berarti bahwa adat atau kebiasaan masyarakat Melayu Jambi didasarkan pada syariat yang berasal dari kitab suci; apa yang dititahkan syariat, akan dipakai oleh adat.

Basis kultural di atas yang dimanfaatkan gerakan Trabiyah. Meskipun sebenarnya pemahaman syariat Islam dari gerakan ini tidak sepenuhnya sama dengan yang sudah berlaku di masyarakat Jambi. Seperti sanksi perzinahan, menurut adat pelakunya wajib melakukan cuci kampung dengan menyembelih binatang tertentu. Tentu ini berlawanan dengan ideologi puritan mereka. Begitu juga dalam adat perkawinan, praktik-praktik adat yang ditampilkan masyarakat Melayu juga ditolak.

Baca Juga  Kitab Basyāir al-Ikhwān: Risalah tentang Tasawuf-Tarekat Pertama Karya KH. Achmad Asrori al-Ishaqi

Gerakan Tarbiyah tentu saja tidak monolitik. Di samping yang menolak, ada juga yang melihat peluang di dalam adat. Beberapa dari mereka melongok ke dalam sejarah Jambi dan mendapati bahwa pemerintahan tradisional kerapatan adat yang disebut tigo tali sepilin, yang terdiri atas kepala pemerintahan, pemangku adat, dan pegawai syarak, perlu untuk direvitalisasi terutama di era Reformasi yang bersemangatkan otonomi daerah.

Beberapa eksponen yang bergiat dalam penulisan kreatif juga menulis karya-karya baik cerpen maupun novel bergenre fiksi sejarah yang banyak dibumbui dengan hal-hal terkait Islam. Upaya-upaya tersebut ingin menegaskan bahwa Islam telah demikian menyatu dalam kehidupan sosial-politik masyarakat Jambi, yang berguna sebagai basis legitimasi historis bagi pembingkaian ide-ide Islamisme mereka.

Propaganda Taaruf

Penolakan terhadap sebagian tata perkawinan adat, membuat mereka mereformulasi suatu konsepsi baru, yakni taaruf. Kata kunci yang penting tentu saja adalah taaruf atau perkenalan dua anggota yang diperantarai oleh mentor atau murabbi/yah (upline) mereka. Taaruf ini perlahan menggeser kebiasaan khalwat dan praktik pacaran yang populer di kalangan anak muda. Melalui taaruf perjodohan menuju pernikahan diharapkan lebih “Islam”.

Unit yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan taaruf di dalam gerakan Tarbiyah adalah Lajnah Munakahat. Bagian dari Deputi Pengkaderan, tepatnya berada di bawah program tarbiyah āliyah (pendidikan keluarga). Unit ini beserta murabbi/yah aktif dalam penjodohan, peminangan, hingga pernikahan dan gelaran pesta. Secara perlahan hal ini menggantikan peran keluarga dalam perkawinan tradisional. Bagi anggota gerakan ini, keluarga di dalam Tarbiyah, yang disebut usrah, jauh lebih penting ketimbang keluarga sesungguhnya.

Di samping diharuskan bagi anggota Tarbiyah, taaruf juga dipromosikan masyarakat luas. Media propaganda mereka adalah publikasi buku mengenai taaruf, yang digiatkan organisasi sayap mereka, Forum Lingkar Pena (FLP). Buku-buku bergenre fiksi yang laris kemudian difilmkan, beberapa film produksi mereka sukses mendapatkan antusias penonton. Selain itu, gerakan Tarbiyah juga aktif menggelar seminar-seminar pranikah, yang berujung pembentukan Komunitas Siap Nikah melalui taaruf.

Baca Juga  Idzotun Nasyi’in, Ikhtiar Revolusi Budaya dan Pesantren

Islamisasi Pendidikan

Setelah berhasil dengan taaruf, gerakan Tarbiyah mulai menyasar dunia pendidikan. Sejak 1989, gerakan ini telah mendirikan beberapa lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan mereka popular dengan sebutan Sekolah Islam Terpadu (SIT) di bawah pengorganisasian Jaringan Islam Terpadu (JSIT). Mereka menggabungkan kurikulum pemerintah dengan kurikulum JSIT, yang berisi materi-materi keislaman seperti baca-tulis dan hafalan Alquran, hadis, fikih, akidah, praktik ibadah, sirah nabawiyah, dan bahasa Arab. Pendirian SIT untuk memastikan transmisi ideologi Tarbiyah kepada generasi muda.

Di Jambi, terdapat lebih dari lima SIT yang melayani pendidikan dari taman kanak-kanak hingga menengah atas. Meskipun biaya pendidikannya tidak murah dengan model pendidikan sehari-penuh (full-day school), tetapi cukup menarik minat kalangan kelas menengah Melayu menyekolahkan anak-anak mereka di sana. Pertimbangannya sederhana, supaya anak-anak mereka terkontrol dan terawasi seharian selama mereka bekerja.

Selain mendirikan lembaga pendidikan sendiri, gerakan Tarbiyah juga menyasar sekolah-sekolah yang sudah ada di masyarakat. Mereka mendirikan unit-unit dakwah yang disebut kerohanian Islam atau rohis di sekolah-sekolah tersebut. Guna memastikan kegiatan rohis di sekolah-sekolah itu agar sesuai dengan agenda Tarbiyah, mereka mendirikan Forum Peduli Remaja Jambi (FPRJ) dan Forum Rohis Sekolah Kota Jambi (FORSKA-J) sebagai organisasi pemayung. Keduanya kemudian mengemas kegiatan-kegiatan rohis untuk remaja menjadi menyenangkan (fun) dan mengikut tren, namun harus tetap sejalan dengan ideologi Tarbiyahyang mereka usung. [FM]

M. Husnul Abid Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *